Ritual “Ngisis Wayang” di Luar Weton Anggara Kasih, Digelar Dua Kali Sebulan

  • Post author:
  • Post published:October 26, 2023
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Ritual “Ngisis Wayang” di Luar Weton Anggara Kasih, Digelar Dua Kali Sebulan
WAYANG "GUNUNGAN" : "Tindhih" abdi-dalem RT Suluh Juniarsah bersama beberapa abdi-dalem yang bertugas pada ritual "Ngisis Wayang" di gedong Sasana Handrawina, Kamis siang tadi, menjelaskan kepada GRAy Dewi Lelyana Dewi tentang keunikan isi kotak Kiai Sri Wibawa, misalnya wayang "Gunungan" Sekaten. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Perpustakaan Sasana Pustaka Belum Bisa Layani Keperluan Publik

SURAKARTA, iMNews.id – Upacara adat “Ngisis Wayang” yang sejak momentum 17 Desember 2022 digelar tiap hari “weton” Anggara Kasih atau Selasa Kliwon ditambah tiap Kamis atau empat kali dalam sebulan, dalam sembilan bulan sampai akhir September sudah bisa merotasi 18 kotak wayang yang dikeluarkan untuk mendapatkan udara bebas dan menghindari jamur atau debu. Rotasi perawatan secara adat agar benda budaya bersejarah itu berumur lebih panjang, selanjutnya akan dilakukan tiap “weton” Selasa Kliwon untuk tiga kotak wayang pusaka kategori “Kanjeng Kiai” (KK) dan Kamis kedua serta keempat untuk wayang pusaka “kiai”.

“Karena sudah semua di-‘isis’, seterusnya bisa dikurangi kecepatan perputarannya. Intinya, 18 kotak wayang pusaka-dalem sudah dikeluarkan semua, baik pada upacara adat ngisis Anggara Kasih (Selasa Kliwon-Red) maupun tiap Kamis, sampai empat kali sebulan itu. Mulai Oktober ini, selain weton Anggara kasih, upacara ngisis yang Kamis dikurangi tinggal dua kali, Kamis minggu kedua dan keempat. Intinya, semua bisa diselamatkan terutama dari jamur, setelah 5 tahun tidak pernah dikeluarkan. kalau ada kerusakan kecil-kecil, bisa dilakukan sambil jalan tiap ngisis,” jelas Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id.

SOSOK DEWA : GRAy Devi Lelyana Dewi Sosok sedang mencermati sosok Dewa Bathara Narada dari kotak wayang Kiai Sri Wibawa yang dikeluarkan dalam ritual “ngisis wayang” di gedong Sasana Handrawina, Kamis siang tadi, karena termasuk unik komposisi warna catnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Berbincang-bincang santai dengan iMNews.id dan beberapa abdi-dalem sebelum berpamitan untuk suatu keperluan di luar kraton, Kamis (26/10) siang tadi, Gusti Moeng sempat membahas tradisi “ngisis wayang” yang dilakukan dengan intensitas tinggi lebih enam bulan, sejak dirinya kembali bekerja penuh sebagai Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat. Peningkatan intensitas upacara adat tiap Kamis atau empat kali sebulan selain “weton” Anggara Kasih atau 35 hari sekali, karena untuk menghindari potensi kerusakan semua koleksi anak wayang pusaka-dalem dalam berbagai jenis itu.

Selain itu, Gusti Moeng juga memberi penjelasan soal perpustakaan Sasana Pustaka yang pernah ditutup sama sekali selama lima tahun (April 2017-Desember 2022), hingga kini baru bisa dibersihkan, ditata-ulang, disusun SDM pengelolanya dan dibenahi kembali jaringan peralatan digitalnya. Oleh sebab itu, hingga kini disebutkan belum bisa melayani keperluan studi terutama masyarakat umum. Bahkan ditegaskan, karena koleksi naskah-naskahnya sangat penting dan riskan terhadap kerusakan, maka operasionalnya nanti akan sangat dibatasi hanya pihak tertentu yang membawa izin untuk tujuan studi yang bisa dilayani.

MASIH BAGUS : “Sunggingan” atau pewarnaan koleksi wayang “Gedhog” dari kotak Kiai Sri Wibawa yang dikeluarkan dalam ritual “ngisis”, Kamis siang tadi, termasuk sangat berkualitas dan rata-rata masih bagus, walau dibuat pada tahun 1839 sesuai tulisan aksara Jawa pada anak wayang itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Itupun, hanya bisa mengakses dari layar digital. Karena objek fisik naskahnya tidak boleh disentuh sama sekali. Walau sentana-dalem, juga tidak gampang diizinkan masuk apabila tanpa melalui tatacara mekanisme prosedur yang benar. Ini semua untuk menjaga agar dokumen bersejarah itu tetap bisa terjaga dengan baik, terhindar dari potensi kerusakan apalagi lenyap, dan data-data sejarah yang berkait dengan banyak hal yang menyangkut peradaban Jawa di masa lalu, bisa berumur makin panjang. Generasi anak-cucu kita nanti pasti akan terus memerlukan, karena pengin tahu asal-usulnya,” ujar Gusti Moeng.

Sebelum meninggalkan teras gedhong Sasana Handrawina tempat menunggui ritual “Ngisis Wayang” Kiai Sri Wibawa, Kamis siang tadi, Gusti Moeng sempat menyinggung soal perkembangan terakhir setelah insiden aksi penolakan eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) No : 87/Pdt.G/2019/PN Skt, Jo No : 545/Pdt/2020/PT Smg dan Jo No : 1950 K/Pdt/2022 tertanggal 29 Agustus 2022 yang baru akan dilakukan PN Surakarta Senin, 9/10/2023. Perkembangan itu adalah pengangkatan KGPH Puger sebagai “Kondang” atau “Plt” Sinuhun PB XIII yang rekaman videonya disebar melalui medsos, dua minggu terakhir, yang membuat pihak Sinuhun “berang”.

KOLEKSI LANGKA : Sekotak anak wayang “Gedhog” Kiai Sri Wibawa walau baru dibuat tahun 1839 atau awal Sinuhun PB X jumeneng nata, tetapi menjadi koleksi seni kriya tatah-sungging wayang kulit yang sangat langka dan sangat berkualitas, ketika dikeluarkan dalam ritual “ngisis wayang”, Kamis siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Meski begitu, Gusti Moeng juga menjelaskan soal kondisi vakum saat Sinuhun Paku Buwana (PB) VI ditangkap Belanda dan dibuang ke Makasar bersama Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo dan Sentot Prawirodirjo. Kepemimpinan Sinuhun PB VI yang dimulai tahun 1823 harus berakhir bersama-sama ketiga tokoh itu di penjara tahun 1830, dan selama 19 tahun antara 1830-1849 “nagari” (Kraton) Mataram Surakarta kosong tanpa pemimpin. Sinuhun PB VI baru wafat dengan luka tembak di kepala tahun 1849, tetapi otoritas di kraton langsung menunjuk adik Sinuhun PB VI, untuk menggantikannya sebagai Sinuhun PB VII (1830-1858).

“Pihak yang punya otoritas di kraton saat itu, pasti tidak mau menunggu kraton kosong tanpa pemimpin. Sementara, semua tidak tahu sampai kapan Sinuhun PB VI dipenjara?. Maka, di tahun 1830 itu, adik beliau (Sinuhun PB VI) yang bernama RMG Malikis Solikin (Abdurrahman VII) jumeneng nata sebagai Sinuhun PB VII (1830-1858). Karena, anak (lelaki) Sinuhun PB VI masih di dalam kandungan. Dan PB VII yang wafat di tahun 1858, juga diganti salah seorang adiknya (GRM Koesen) yang jumeneng sebagai PB VIII (1858-1861), karena anak Sinuhun PB VI belum memenuhi syarat (usia) untuk bertahta,” jelas Dr Purwadi di tempat terpisah.

ADA TATACARA : Perawatan anak wayang pusaka di kraton, punya tatacara khusus dalam ritual mulai dari metode pembersihan, mengangin-anginkan, bongkar-susun maupun pengangkutannya, baik ketika dikeluarkan atau hendak dimasukkan ke ruang penyimpanan gedhong Lembisana, seperti yang tampak dalam ritual “ngisis wayang”, Kamis siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sementara itu, ritual “ngisis wayang” yang semula ditunggui GRAy Devi Lelyana Dewi tak lama kemudian ditinggal, karena harus segera “ngantor” di Museum Art Gallery Kraton Mataram Surakarta, karena sejak Januari lalu dirinya ditetapkan sebagai Pengageng Museum Kraton Mataram Surakarta. GRAy Devi bersama wayah-dalem Sinuhun PB XIII meninggalkan BRM Judistira bersama sekelompok “crew” dokumentasi digital di tempat ritual “ngisis wayang”, gedhong Sasana Handrawina. Hanya selisih beberapa menit, Gusti Moeng segera datang menggantikan, menunggui RT Suluh Juniarsah dan sejumlah abdi-dalem kelompoknya menjalankan tugas “ngisis wayang”.

Siang itu, anak wayang yang dikeluarkan dalam upacara adat adalah dari kotak Kiai Sri Wibowo, yang merupakan jenis wayang “Gedhog” ketiga koleksi khusus Kraton Mataram Surakarta, setelah kotak Kangjeng Kiai Banjed (kedua) dan kotak Kangjeng Kiai Jayeng Katong (pertama) yang dibawa saat pindah dari Kraton Kartasura ke Surakarta. Menurut RT Suluh Juniarsah, Kiai Sri Wibawa yang dibuat pada zaman Sinuhun PB X, merupakan simbol “kewibawaan raja” (Sri-Red). Ritual “ngisis” siang itu juga ditunggui Wakil Pengageng Mandra Budaya KPP Wijoyo Adiningrat dan Sekretaris Mandra Budaya KP Purwo Taruwinoto. (won-i1).