HAKI Para Leluhur Mataram, Adalah “Hak Atas Rasa Keadilan” yang Harus Dijamin (seri 3 – habis)

  • Post author:
  • Post published:September 4, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:4 mins read
You are currently viewing HAKI Para Leluhur Mataram, Adalah “Hak Atas Rasa Keadilan” yang Harus Dijamin (seri 3 – habis)
GUSTI MOENG "MENGGUGAT" : Dalam penjelasannya sebagai narasumber seminar/sarasehan pencatatan tari "Srimpi Lobong" tang digelar di Sasana Handrawina, beberapa waktu lalu, Gusti Moeng sedikit "menggugat" publik secara luas termasuk pemerintah. Dia mempertanyakan bagaimana nasib HAKI lembaga kraton?. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Perlu Kata Pengantar yang Menyebut Asal-usulnya, Sebagai “Etika Berkesenian”

IMNEWS.ID – BERKESENIAN atau mwencurahkan ekspresi dalam sebuah kesenian yang dipentaskan untuk berbagai keperluan khususnya di depan publik, akan sangat bermartabat dan terhormat bila memberi kata pengantar yang menyebut “asal-mula” karya yang disajikan. Apalagi, jika menggunakan karya orang lain atau karya gubahan pribadi yang berbasis karya orang lain (Budaya Jawa), misal lembaga Kraton Mataram Surakarta.

Cara-cara “berkesenian” demikian, justru akan mendatangkan penghargaan yang proporsional baik unsur pribadi maupun unsur karyanya. Cara-cara beretika dalam berkesenian seperti itu, akan lebih rasional proses “kekaryaannya” sampai tersaji di atas panggung. Dibanding, hanya asal tampil tanpa tahu asal-usul, batasan-batasan etika dan estetikanya, lebih mengedepankan “popularitas dan komersialitas”.

PROFESIONALITAS SENIMAN : Di berbagai kesempatan penyajian seni budaya khas Kraton Mataram Surakarta, Gusti Moeng selalu mencontohnkan bagaimana cara berkesenian yang menjunjung tinggi profesionalitas seniman yang bermartabat. Menguasai bidangnya dan menghormati “hak orang lain”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Cara-cara berkesenian seperti ini adalah potret aktivitas berkesenian dan potret berkesenian di era republik, terlebih ketika kesenian tradisional menjadi “komoditas” industri seni budaya. Situasi dan kondisinya menjadi lebih parah ketika memasuki teknologi informasi digital di dunia maya. Karena ikut mengacak-acak dan mengacaukan eksisteni budaya (Jawa), karya seni/budaya dan status/posisi haknya.

Di antara tiga variabel itu, ada variabel “pemanfaatan/penggunaan” yang semakin membuat rumit status dan posisi hak atas sebuah karya seni/budaya dan eksistensi budaya. Karena, di balik itu semua ada sumber yang berbasis produk lembaga “zaman” atau otoritas kekuasaan atau pemerintah. Karena, karya seni yang berbasis budaya produk lembaga “zaman”, gampang dikenali ciri-ciri bakunya, misalnya makna filosofi.

MENGAJARKAN PROFESIONALITAS : Menampilkan para seniman Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta dalam berbagai kesempatan seperti latihan, adalah bagian dari profesionalitas Gusti Moeng mengajarkan cara-cara berkesenian yang bermartabat. Cirinya, selalu menghormati eksistensi dan hak orang lain. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ketika dunia maya dipenuhi informasi berkonten karya seni dari berbagai aplikasi produk media mainstream pada abad global ini, lembaga masyarakat tradisi atau masyarakat adat seperti Kraton Mataram Surakarta menjadi pihak paling dirugikan. Sudah “dilucuti” kedaulatan politik, wilayah adimninstratif, kedaulatan ekonomi, dirusak kedaulatan adatnya, kini masih dirampas kedaulatan seni budayanya.

Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) lembaga Kraton Mataram Surakarta, tetap menjadi pemilik hak atas semua produk seni Budaya Jawa, meskipun di situ tidak ada petunjuk figur pribadi penciptanya (Hak Cipta). Dalam beberapa karya seni produk Budaya Jawa, tetap melekat HAKI lembaganya walau karya itu diberi label “NN” (no name), yang wajib disebut bagi siapapun yang “memanfaatkanyya”.

DARI GENDHING : Dalam kajian sejarah seni khususnya tari di Kraton Mataram Surakarta, proses terciptanya karya tari yang menjadi aset kraton, selalu didahului dengan penciptaan karya sastra (syair gendhing) karawitan. Proses seperti ini yang bisa melahirkan seniman profesional berkelas, bukan “penjiplak”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Namun, karena fakta banyak karya seni tradisional yang tak menunjukkan kepemilikan hak cipta secara tegas dan jelas, tata-laksana di berbagai jenis aplikasi media maya menjadi tidak tepat. Nama pengunggah karya kali pertama di internet (google), dianggap sebagai “penciptanya” atau pemilik hak ciptanya. Padahal, karya itu memakai “materi baku” karya peradaban masa lalu, dalam otoritas “lembaga” tertentu.

Konten karya yang menggunakan “materi baku”, misalnya karya tari dari rumpun “Bedhayan” (Bedhaya) atau “Srimpen” (Srimpi), semua memiliki gerak baku. Ketika ada konten karya seni di internet yang menggunakan meteri “gerak baku”, bahkan diberi nama yang menjadi identitas dan cirikhas karya aslinya, lalu diklaim sebagai “penciptanya”, itu adalah cara-cara berkesenian yang tidak bermartabat, karena “menjiplak”.

KEPADA PUBLIK : Pentas seni “Sekaten Art Festival” seperti yang digelar rutin sampai tahun 2025 ini, adalah salah satu cara Gusti Moeng mengedukasi publik secara luas, bagaimana menjadi seorang seniman profesional dan bermartabat, termasuk menghormati karya orang lain. Bukan seniman “penjiplak”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Cara-cara berkesenian yang tidak menghargai eksistensi, kehormatan, harkat dan martabat pemilik HAKI-nya, jelas telah melanggar etika dan kini bisa masuk ke ranah hukum. Karena, Kraton Mataram Surakarta yang memiliki HAKI atas karya-karya itu, dilindungi oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) yang punya legal-standing jelas secara hukum nasional. Apalagi, “penjiplakan” itu untuk kepentingan “komersial”.

Berkesenian yang bermartabat, seharusnya tetap mengedepankan estetika sajian dan etika penyajiannya. Termasuk, menjelaskan proses kekaryaannya yang bisa menunjukkan otentisitas hak cipta atau HAKI pribadi dan asal-usul yang mendasari karyanya. Bila itu karya orang lain, seharusnya dengan tegas dan jelas menyebut, agar dihargai “keluhurannya” sebagai seniman yang jujur dan bermartabat. (Won Poerwono – habis/i1)