Tak Ada Peringatan Secara Khusus, Ki Dr Purwadi Mengabadikan dalam “Babad”
IMNEWS.ID – TANGGAL 1 September yang jatuh pada Senin Legi, bulan Mulud Tahun Dal 1959 yang baru saja lewat, genap 80 tahun peristiwa terbitnya “Makloemat Sri Paduka (SP) Paku Buwana XII” (juga Maklumat SP MN VIII-Red). Tetapi, tahun ini tidak ada simbol-simbol yang dipasang sebagai penanda atau pengingat peristiwa penegasan Kraton Mataram Surakarta yang menyatakan berdiri di belakang NKRI itu.
Suasana secara umum, baik nasional maupun global, saat ini memang “sedang tidak baik-baik” saja. Terlebih, Kraton Mataram Surakarta baru bisa bernafas lega dalam tiga tahun berjalan sejak 17 Desember 2022. Karena sudah lepas dari “penindasan” dan keterasingannya akibat peristiwa “insiden mirip operasi militer April 2017. Mungkin karena sebab itu, Bebadan Kabinet 2004 tak menandai dengan simbol apapun.

Walau tak ada simbol penanda atau pengingat apapun untuk mengenang 80 tahun “Makloemat SP atau SISKS Paku Buwana (PB) XII”, tetapi dari pemandangan sekilas yang ada tetap menunjukkan semangat perjuangan. Karena, Bebadan Kabinet 2004 dan Lembaga Dewan Adat bersama segenap elemen masyarakat adatnya, akan terus memperjuangkan isi “Maklumat” itu, yaitu kembalinya status Daerah Istimewa Surakarta (DIS).
Ekspresi berharap dan mendukung kembalinya status DIS yang pernah ada hingga 1946 itu, memang masih sayup-sayup terdengar dari kalangan Pakasa cabang di luar wilayah Surakarta. “Keberanian” berekspresinya terkesan tipis itu wajar, karena mereka generasi yang jauh dari peristiwa 1945. Selain merasa tak punya ikatan moral dengan DIS, mereka kini berKTP atau berada di luar wilayah administrasi Surakarta.

Faktor sikap internal masyarakat wilayah “Daerah Istimewa Surakarta” yang dibekukan dengan Perpres No.16/SD/1946 itu, rupanya menjadi salah satu hambatan/alasan. Beberapa pihak yang menolak dan tokoh-tokoh penentang yang “berkolaborasi” atau “terindikasi” kekuatan PKI di tahun 1946, rupanya masih menjadi konfigurasi profil sosial masyarakat di wilayah eks Karesidenan Surakarta, kini.
Dalam kajian sejarah Dr Purwadi (Ketua Lokantara) dan Dr Julianto Ibrahim (FIB UGM) dalam bukunya “Propinsi Daerah Istimewa Surakarta), di tahun 1946 Kabupaten Klaten banyak menyumbang tokoh penentang eksistensi “Daerah Istimewa Surakarta” (DIS). Tokoh PKI seperti Tan Malaka, Darsono, Semaun dan lainnya memanfaatkan Klaten sebagai basis perjuangan merebut RI, tetapi juga menghadang “DIS”.

Walau banyak pengamat menyebut di abad 21 berbagai kekuatan yang ada di “kiri” (PKI) dan “kanan” (aliran keras) yang sulit dipastikan terjadinya “regenerasi”, tetapi “cek ombak” melalui “judicial review” (uji materi) UU No 10/1950 tentang terbentuknya Provinsi Jateng di MK tahun 2012, ada ekspresi-ekspresi dari konfigurasi kekuatan lama. Pengamat lain menyebut, antara “kanan” dan “kiri” sudah berbaur.
Walau unsur-unsur kekuatan warisan lama masih menjadi potensi ancaman, tetapi banyak yang meyakini pemerintahan Presiden Prabowo akan tetap menjalankan amanat konstitusi secara amanah. Termasuk, mewujudkan pasal 18 ayat 2 UUD 45, sebagai hak konstitusi masyarakat wilayah Surakarta, karena itu merupakan “hak atas rasa keadilan” Kraton Mataram Surakarta dan masyarakat adat di wilayah Surakarta.

Sebagai pimpinan Bebadan Kabinet 2004 dan semua elemen masyarakat adat yang tergabung dalam Lembaga Dewan Adat Kraton Mataram Surakarta, perjuangan untuk mewujudkan isi “Makloemat” 1 September akan terus dilakukan. Walau berada di luar wilayah yang diperjuangkan, kekuatan simpati dan spiritual kalangan abdi-dalem yang tergabung dalam Pakasa cabang, akan menjadi daya dorong untuk mewujudkan cita-cita itu.
Selain daya dorong Pakasa, UU Perlindungan Masyarakat Adat juga perlu segera disyahkan DPR RI. Dua hal itu bisa menjadi kekuatan bersama atau beriringan, untuk mewujudkan DIS. Perjuangan ini akan menjadi tonggak sejarah kraton dan petunjuk generasi 100 tahun mendatang. Termasuk petunjuk yang ditulis dalang “Semi Pro” Ki Dr Purwadi berjudul “Babad Makloemat Pakoe Boewana XII” itu. (Won Poerono – habis/i1)
