“Eksistensi” Masyarakat Adat di Tengah Suasana Arus Informasi Modern (seri 5 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:August 20, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing “Eksistensi” Masyarakat Adat di Tengah Suasana Arus Informasi Modern (seri 5 – bersambung)
DI ATAS SALURAN : Pusara yang sudah rata dengan tanah sekitarnya yang diduga makam Adipati Tirtakusuma, berada di atas saluran yang sudah bersih ditutup lempengan batu granit. Lokasi makam seluas 3x4 meter di belakang kompleks kantor Dinas PUPR Kudus itu, yang bersebelahan dengan makam Kyai Glongsor. (foto : iMNews.id/Dok)

Makam Adipati Tirtakusuma Mertua Sinuhun PB II, “Isu” Terbaru yang Punya Nilai Publikasi

IMNEWS.ID – EKSISTENSI masyarakat adat di tengah suasana arus informasi modern seperti di era digital sekarang ini, benar-benar mendapat tantangan besar kehadiran fenomena baru itu. Sepanjang sejarah peradaban manusia, setiap hadirnya fenomena baru sebelumnya, selalu ada plus dan minusnya. Unsur-unsur yang merugikan (minus/negatif) dan sekaligus menguntungkan (plus/positif) selalu menyertai.

Begitu pula yang dialami dan dihadapi warga Pakasa cabang sebagai salah satu elemen masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta. Pasti dihadapkan pada dua hal yang bertolak-belakang itu, sebagai pilihan dan risiko, ketika memanfaatkan teknologi informasi modern, untuk keperluan pribadi maupun berorganisasi Pakasa cabang. Di sinilah, nilai-nilai kearifan lokal harus dipakai sebagai pemandu.

Nilai-nilai kearifan lokal harus menjadi pemandu, untuk mengarahkan dan memilih menggunakan jenis teknologi yang tepat atau berisiko rendah. Di sinilah, teknologi informasi modern yang kita pilih, bisa berfungsi sebagai filter untuk menyaring, agar informasi yang akan kita sebar memberikan banyak manfaat. Kalaulah ada risikonya, bisa diupayakan serendah mungkin atau sejauh bisa ditoleransi.

Dalam kerangka seperti itulah, Pakasa Cabang Kudus memaknai dan memanfaatkan teknologi informasi modern. Apalagi, didorong oleh pentingnya memperkenalkan diri sebagai Pakasa cabang muda, yang sebelumnya berangkat dari “nol”. Berangkat dari tidak memiliki “potensi” kegiatan handal, karena nyaris tak memiliki modal objek yang bisa “dipromosikan” menjadi ikon dan ciri khas kegiatan rutin.

RUMPUN POHON : Pusara yang diduga makam Adipati Tirtakusuma ketika tertutup rumpun pohon pisang yang ditunjuk KRRA Panembahan Didik Singonagoro, sebelum dibersihkan dalam kerja bhakti belasan warga Pakasa Cabang Kudus, awal Agustus. Makam itu, bersebelahan dengan makam Kyai Glongsor. (foto : iMNews.id/Dok)

Karena keterbatasan itulah, Pakasa Cabang Kudus di bawah kepemimpinan KRRA Panembahan Didik Alap-alap Gilingwesi Singonagoro sangat bersemangat menggapai “eksistensi”. Keberadaannya ingin ditunjukkan, karena berkait dengan konsekuensi pada dinamika pertumbuhan dan perkembangan organisasi Pakasa cabang itu sendiri. Semangat berpublikasi seperti itulah, yang membuatnya dikenal “well publish”.

Level proaktif melakukan publikasi melalui berbagai platform media dalam perjalanan usia Pakasa Cabang Kudus di tahun ketiga ini, adalah hal yang wajar, tepat dan ideal. Tetapi karena berada di tengah pergaulan Pakasa cabang lain yang jumlahnya 30-an, tentu bisa membuat “iri”. Mengingat cabang-cabang Pakasa itu tidak memiliki tingkat pemahaman yang sama soal “publikasi, promosi dan eksistensi”.

Sifat “iri” memang menjadi sisi buruk manusia, selain kelebihannya. Tetapi, sifat itu bisa datang dari “ketidakmampuannya” melakukan hal-hal penting yang berkait dengan masalah “eksistensi”. Sedangkan, Pakasa Cabang Kudus bisa menempatkan “sifat irinya” pada cita-cita dan tujuan yang positif dan ideal. Yaitu mendorong semangat untuk mengatasi keterbatasannya, merubah menjadi “kelebihan” dan “sukses”.

Upaya “memahami” potensi “isu” nama besar Kyai Glongsor (KRT Prana Kusumadjati) beserta terompet pusaka peninggalannya, adalah hasil positif dari “sifat iri” Pakasa Cabang Kudus. “Iri” karena tidak memiliki modal lokasi makam tokoh leluhur Dinasti Mataram yang begitu banyak, seperti yang ada di Kabupaten Pati, Grobogan, Ponorogo, Jepara dan beberapa kabupaten lain yang sering menggelar ritual “khol”.

TERSEKAT DINDING : KRRA Panembahan Didik Singonagoro (Ketua Pakasa Cabang Kudus) meniup terompet pusaka peninggalan Kyai Glongsor, saat berziarah bersama warga Pakasa, beberapa waktu lalu. Dinding tembok di belakangnya, adalah pagar pembatas dengan lahan yang diduga lokasi makam Adipati Tirtakusuma. (foto : iMNews.id/Dok)

Walau hanya punya modal makam Kyai Glongsor dan pusaka terompet serta beberapa keris peninggalannya, tetapi Pakasa Cabang Kudus mampu mengelola empat Majlis Taklim. Karena, ratusan warga Majlis Taklim itu bisa “potensi kekuatan” legitimasi Pakasa di bawah kepemimpinan KRRA Panembahan Didik Singonagoro selaku ketua. Berbagai “isu” yang dimiliki, bisa “dikemas” dan “dikembangkan” menjadi event “handal”.

Keberhasilan “memobilisasi” para santri 4 Majlis Taklim menjadi warga Pakasa cabang, menjadi daya dukung luar biasa untuk pengembangan “isu” tentang Kyai Glongor, beberapa pusaka peninggalan dan makam kecil di kampung Rendeng Ekapraya, Desa Rendeng, Kecamatan Kota. Namun sayang, 4 kali kirab budaya yang berhasil diinisiasi Pakasa, terpaksa batal digelar di ajang 17-an tahun 2025 akibat “beberapa masalah”.

Walau kirab “terompet” yang hendak di jadikan paket event dengan khol Kyai Glongsor dan peringatan 17-an tahun 2025 ini menjumpai kegagalan, tetapi ke depan masih bisa dirunut letak “sumber masalahnya”, diatasi dan kembali bisa tampil di tahun 2026. Karena, “isu” tentang kemeriahan kirab budaya menandai datangnya bulan Ramadhan atau “siyam” (puasa) yang diinisiasi, sudah mulai dikenal luas.

Dua “isu” yang berhasil dikemas Pakasa Cabang Kudus menjadi event menarik itu, merupakan hasil positif dari sikap “iri” gaya atau versi Pakasa Kudus. Artinya, sifat “iri” itu menjadi semangat untuk menemukan solusi yang positif dan produktif dan bermanfaat bagi khalayak luas. Bahkan mengundang perhatian warga trah Sunan Kudus yang berada di wilayah luas, seperti diekspresikan melalui WA grup trahnya.

ANGGOTA MAJELIS : Para santri anggota salah satu Majelis Taklim milik KRRA Panembahan Didik Singonagoro (Ketua Pakasa Cabang Kudus) yang juga dipimpinnya, adalah para abdi-dalem yang selama ini menjadi daya dukung Pakasa Cabang Kudus dan semua kegiatan adat yang menjadi “isu” positif dan “well publish”. (foto : iMNews.id/Dok)

Kini, Pakasa Cabang Kudus memiliki “dua isu” baru hasil pengembangan salah satu “isu” sebelumnya. Yaitu “isu” tentang KRRA Panembahan Didik Singanagoro yang ditetapkan Yayasan Pamong Makam Pangeran Puger dan Kraton Mataram Surakarta sebagai Juru-Kunci 2 makam pangeran Puger, dan diketemukannya makam yang diyakini berisi jasad Adipati Tirtakusuma, di lahan separo makam Kyai Glongsor di Desa Rendeng.

Makam yang diduga Bupati Kudus yang bergerlar “Adipati Tirtakusuma ing Kudus”, mertua Sinuhun Amangkurat Jawi (1719-1727) itu, tak berselang lama setelah diketahui langsung diberishkan dalam kerja-bhakti yang dilakukan belasan warga Pakasa Kudus, awal Agustus 2025 lalu. Lahan makam yang tadinya tak terurus, bahkan rata dengan tanah di dekatnya, hanya berukuran 3×4 meter dan ditumbuhi aneka tanaman liar.

“Saya mendengar kabar soal makam itu sudah lama. Tetapi, karena lahan makam itu menjadi bagian lahan kompleks kantor Dinas PUPR Kabupaten Kudus, maka kami harus minta izin untuk membersihkan. Dan baru kemarin itu diizinkan dibersihkan. Kondisinya sudah rata dengan tanah di sekitarnya. Tapi kami meyakini, itu makam Adipati Tirtakusuma. Karena, sebenarnya menjadi satu lahan dengan makam Mbah (Kyai) Glongsor”.

“Sekarang sudah bersih, sebenarnya kami sudah punya rencana lanjutan untuk memuliakan. Karena yang ‘sumare’ di makam itu adalah mertua Sinuhun Amangkurat Jawi. Tetapi, tidak ada akses jalan khusus ke makam ini. Karena, untuk menuju makam itu harus melalui pintu depan halaman kantor Dinas PUPR. Jadi, harus izin untuk berziarah misalnya. Beda kalau dibuatkan jalan khusus,” ujar KRRA Panembahan Didik.

KIRAB TEROMPET : Saat terompet pusaka Kyai Glongsor “ketelisut”, kirab budaya yang membawa nama besar tokoh itu, malah menjadi “isu” yang sukses diapresiasi warga Desa Rendeng pada peringatan 17-an 2024. Warga Pakasa Cabang Kudus peserta kirab, bersiap di gang sempit sebelah makam Kyai Glongsor. (foto : iMNews.id/Dok)

Disebutkan, lahan makam Adipati Tirtakusuma yang luasnya tinggal sekitar 3×4 meter, diyakini dulunya berasal dari satu lahan dengan makam Kyai Glongsor yang juga luasnya hanya sekitar 3×4 meter. Sementara, diperkirakan hanya dua pusara di belakang kantor DPUPR dan empat pusara di makam Kyai Glongsor. Antara keduanya, terpisah tembok yang menyantu dengan pekaran milik Nyonya Gofur.

Antara Adipati Tirtakusuma dan Kyai Glongsor, sangat rasional jika berada dalam satu kompleks makam, bila mengingat kajian sejarah Dr Purwadi dari Serat Cebolek yang ditulis Kyai Jasadipoera I (1746). Dari situ diketahui, Kyai Glongsor adalah prajurit pengawal Kanjeng Ratu Kentjana (putri Bupati Kudus), hingga puteranya, Sinuhun PB II bertahta. “Isu” ini jelas “well publish”, sangat menarik. (Won Poerwono – bersambung/i1)