LDA Ibarat “Investasi” Untuk “Sinuhun PB XIV”, Wajar Banyak yang Tidak Suka
IMNEWS.ID – DALAM beberapa tema dan judul artikel/berita sebelumnya, sudah pernah disinggung mengenai eksistensi Lembaga Dewan Adat (LDA) sebagai “lembaga” baru yang lahir di Kraton Mataram Surakarta di tahun 2004. Kelahirannya, bersamaan dengan terbentuknya “Bebadan Kabinet 2004”, karena LDA adalah representasi trah keturunan Sinuhun PB I hingga PB XIII yang berhimpun.
Para figur kerabat perwakilan trah darah-dalem Sinuhun PB I hingga PB XIII itu, “berserikat” menjadi sebuah lembaga yang disebut LDA dan dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah. Para perwakilan trah yang berserikat itu, saat itu melakukan kesepakatan dan kesepahaman untuk mendukung GPH Suryo Partono yang berubah nama menjadi KGPH Hangabehi, untuk jumeneng nata sebagai Sinuhun PB XIII.
Dari sini bisa dicermati dan ditelaah lebih dalam, bahwa KGPH Hangabehi sebagai putra tertua dari 35 putra/putri-dalem Sinuhun PB XII, telah mendapat kepercayaan dari”semua adiknya” dan didukung untuk menggantikan “tahta” ayahandanya Sinuhun PB XII yang wafat di bulan Juni 2004. LDA “harus” melakukan kesepakatan dan kesepahaman, untuk menjamin dan melindungi PB XIII menjalankan tugasnya.
Eksistensi LDA yang semula hanya semacam perkumpulan representasi trah darah-dalem “Dinasti PB”, dalam perkembangan berupaya memperkuat posisi legal standingnya. Karena, potensi friksi sebagai bentuk lain “campur-tangan” pihak eksternal yang “padat” agenda dan kepentingan “di” dan “untuk” kraton, sudah muncul ke permukaan dengan adanya peristiwa “jumenengan nata” di Sasana Purnama, Agustus 2004.

Seperti diketahui, di tahun 2004 saat Kraton Mataram Surakarta mengalami proses alih kepemimpinan atas wafatnya Sinuhun PB XII, “muncul” peristiwa “Matahari” atau “Raja kembar”. Karena, sebelum KGPH Hangabehi menjalani penobatan sebagai Sinuhun PB XIII yang sesuai paugeran adat 40 hari setelah hari duka-cita, yaitu di bulan September 2004, sudah ada yang mendahului jumeneng di bulan Agustus.
Ada beberapa peristiwa berikutnya yang menjadi ilustrasi, yang melatarbelakangi eksistensi dan makna Lembaga Dewan Adat bagi Kraton Mataram Surakarta. Peristiwa itu di antaranya munculnya suara-suara rekonsiliasi mulai Tahun 2010, yang diinisiasi “kolaborasi” antara beberapa tokoh kerabat dengan pemerintah. Wali Kota Joko Widodo dan Wakilnya (FX Hadi Rudyatmo) yang menjadi “mediatornya”.
Upaya rekonsiliasi yang dinisiasi Wali Kota dan wakilnya di tahun 2010 itu gagal-total, dan friksi di dalam “Bebadan Kabinet 2004”-pun semakin menajam. Itu akibat lembaga Sinuhun PB XIII ingin meminta peran “absolut” dalam berbagai hal, yang oleh para leluhur Paku Buwana sebelumnya justru “dihindari”. Contohnya, dia ingin mengurus sendiri hibah dana APBD Jateng.
Gagasan meminta peran “absolut” itu, sangat diyakini datang dari oknum-oknum di sekitar Sinuhun yang mungkin terjebak pada anggapan yang salah dalam menilai perubahan, modernitas dan keberadan Mataram Surakarta di dalam wadah NKRI. Tidak menutup kemungkinan, gagasan itu datang dari eksternal kraton yang sangat mungkin oknum dari lembaga penguasa di tingkat apapun.

“Tuntutan” dari lembaga Sinuhun yang meminta peran absolut itu, bila dicermati dan ditelaah kemudian, jelas menyimpang dari paugeran adat yang menempatkan seorang Sinuhun (raja-Red) sebagai simbol. Sebagai simbol kepemimpinan adat, agama, pemerintahan, negara dan budaya, seorang raja atau Sinuhun tidak dibenarkan mengurus bidang pekerjaan di semua kelembagaan yang ada di kraton.
Berikut, tuntutan peran “absolut” seorang Sinuhun justru akan melemahkan kelembagaan Kraton Mataram Surakarta. Karena, “atas nama” Sinuhun peran dan fungsi “bebadan-bebadan” yang ada bisa dilemahklan, bahkan dihilangkan. Padahal, “bebadan-bebadan” itulah yang mengurus berbagai aktivitas terutama upacara adat, dan semua simbol-simbol penting yang merepresentasikan eksistensi kraton dan Budaya Jawa.
Potensi “bahaya” terakhir seandainya tuntutan peran “absolut” seorang Sinuhun “diloloskan”, bisa menjadi bumerang bagi tokoh Sinuhun sendiri dan orang-orang di sekitarnya, bahkan bisa menyerat nama lembaga masyarakat adat dan kraton. Mengingat, suasana di alam republik dalam dekade terakhir, semakin menajam gerakan pemberantasan korupsi (KKN) di bawah KPK sebagai “panglimanya”.
Menjadi analisis kritis, seandainya peran “absolut” Sinuhun didapat dan dimanfaatkan orang-orang di sekitarnya untuk menerima dana hibah dari negara di berbagai tingkatan, bagaimana jika terjadi penyelewengan dalam pengelolaannya? Siapa yang akan bertanggung-jawab jika BPK menemukan kerugian negara dalam pengelolaan dana hibah itu? Apakah Sinuhun akan diadili sebagai penanggungjawabnya?

Inilah salah satu kekhawatiran Gusti Moeng dalam kapasitas apapun selain Pengageng Sasana Wilapa dan Panagrsa LDA, juga masyarakat adat berbagai elemen yang selama ini berdiri di belakangnya. Oleh sebab itu, komitmen Gusti Moeng bersama seluruh jajaran Bebadan Kabinet 2004 selalu konsisten memegang teguh paugeran adat, salah satu tujuannya agar nama besar Sinuhun Paku Buwana “tidak ternoda” kasus korupsi.
Dan, dalam rangka memberikan jaminan perlindungan nama besar Paku Buwana, masyarakat adat Mataram Surakarta dan Dinasti Mataram bersama para tokoh leluhurnya, di situlah eksistensi Lembaga Dewan Adat (LDA) dibutuhkan. Karena kebutuhan penting itu pula, maka LDA yang menjadi payung bagi lembaga kraton dan semua produk budayanya, sudah sewajarnya mendapat legal standing secara hukum yang kuat.
Kemarin, tepat 8 Agustus 2024 (iMNews.id, 8/8), genap setahun “Dekrit LDA” atau kembalinya otoritas LDA, yang juga bisa disebut penegasan secara final posisi hukum LDA diperoleh. Legal standing itu didapat, melalui peristiwa eksekusi putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) RI No.1006/PK/Pdt/2022. Penguatan posisi LDA secara hukum, untuk menghindari upaya “absolutisasi” peran Sinuhun.
Jika peran dan fungsi tokoh Sinuhun terjauhkan dari sifat-sifat “absolut”, keagungan “The King can do no wrong” justru bisa diwujudkan. Tetapi Sinuhun PB XIII sudah “lepas kendali”, terlanjut ternoda kasus “human trafficing” yang diadili di PN Sukoharjo, sekitar 2016. “Mrucut saka gendhongan” seakan sudah menjadi keniscayaan, tetapi LDA yang kokoh kuat kini, adalah investasi untuk masa depan.

“Investasi” itu dibutuhkan jajaran Bebadan Kabinet 2004 bersama seluruh masyarakat adat di berbagai elemen yang dipimpin Gusti Moeng, untuk menjawab tuntutan dan kebutuhan zaman. Agar Budaya Jawa tetap lestari dan Kraton Mataram Surakarta tetap terjaga kelangsungannya sampai akhir zaman. Maka, kerja keras sluruh masyarakat adat yang dipimpin Gusti Moeng menyiapkan payung LDA, sudah tepat.
Payung besar bernama LDA, adalah investasi besar untuk jaminan perlindungan Budaya Jawa dan lembaga kraton serta potensi daya dukungnya eksis sepanjang zaman. Termasuk, proses tampilnya tokoh yang akan “jumeneng nata” (Sinuhun PB XIV), menjalankan tugas memimpin adat dan budaya, kelak. Di sinilah salah satu titik penting eksistensi LDA. Maka tidak aneh, kalau banyak “yang tidak menyukainya”. (Won Poerwono – bersambung/i1)