Malam 17 Agustus, Ki Dr Purwadi Gelar Kisah Ramayana Versi “Wayang Madya”

  • Post author:
  • Post published:August 5, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Malam 17 Agustus, Ki Dr Purwadi Gelar Kisah Ramayana Versi “Wayang Madya”
CARA TERSENDIRI : Ki Dr Purwadi punya cara tersendiri untuk "merubah" persepsi negatif publik terhadap kraton. Yaitu melalui pentas wayang kulit yang digelar panitia setempat di sela-sela forum upacara "tetepan" Pakasa Cabang Kabupaten Madiun dan event "Sragen Bersholawat", menjelang Pemilu 2024 lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kalau Menampilkan yang Konvensional, Saya Kalah dari Para Dalang Pro”

JOGJA, iMNews.id – Intelektual kampus yang juga Ketua Lokantara Pusat di Jogja, Ki Dr Purwadi, akan menggelar pentas wayang kulit mengambil lakon tokoh Anoman dari kisah Ramayana. Pentas wayang kulit yang isinya sebagian mengisahkan Raja-raja Kraton Kediri hingga Mataram itu, akan digelar di RW 25 Kentungan, Gang Timor Timur, Kota Jogja, tepat di malam 17 Agustus.

Pentas “ringgit wacucal” (wayang kulit) tidak “sedalu natas” (semalam suntuk-Red) itu, akan didahului dengan sarasehan “kebangsaan” karena momentumnya tepat di malam peringatan HUR RI ke-80, 16 Agustus 2025 mulai pukul 20.00 WIB hingga selesai. Tiga tokoh guru besar UGM masing-masing Prof Dr Soeripto, Prof Dr Panut Mulyono dan Prof Dr Hardiyanto, menjadi narasumber sarasehan itu.

“Pentas itu akan disiarkan secara live streaming melalui channel setempat. Pentas itu akan menjadi momentum yang baik untuk mengedukasi publik dalam banyak hal. Baik soal teknis pentas wayang yang menggunakan struktur secara urut dan lengkap sesuai kaidah seni pedalangan klasik konvensional, maupun soal lakon yang menjadi isi pesannya,” ujar Ki Dr Purwadi menjawab iMNews.id.

Saat dimintai konfirmasi Senin (4/8) malam, intelektual kampus yang pernah merintis profesi dalang secara autodidak sejak tahun 1980-an itu menyebutkan, kisah Ramayana yang akan ditampilkan hanya akan dipinjam sebagai “lokasi jejer”, dari “pathet Enem (6)” hingga “Pathet Manyura”. Tetapi Raden Anoman yang ditonjolkan, dijadikan tokoh sentral saat memasuki Kraton Kediri dan Mataram.

DALANG TELADAN : Ki Panut Darmoko (Nganjuk) yang sampai akhir hayat menjadi dalang profesional teladan karena konsisten pada komitmennya menjaga marwah seni pedalangan sebagai produk budaya adiluhung, sampai diabadikan dalam sebuah buku biografi oleh Ki Dr Purwadi. (foto : iMNews.id/Dok)

“Ini cara saya urun pemikiran di luar struktur Kraton Mataram Surakarta. Untuk membantu mengedukasi publik secara luas mengenai banyak hal. Kebetulan, ada momentum para profesor mengajak saya menggelar pentas wayang kulit. Jadi, saya punya kesempatan untuk menyajikan materi sejarah panjang para leluhur Mataram dari Kediri. Karena, sejarah kraton di Jawa yang panjang itu, utuh”.

“Tetapi, publik selama ini hanya diberikan informasi sejarah perjalanan kerajaan di Jawa terputus-putus. Seakan-akan tidak ada hubungannya antara Kediri (abad 12), Majapahir (abad 14), Demak (abad 15), Pajang abad 16), Mataram (abad 16-17) dan Mataram Surakarta (abad 17) hingga kini. Kalau hanya sepenggal, apalagi yang disajikan selalu perang dan perseteruan saja. Itu tidak baik,” ujar Dr Purwadi.

Memang, sejak Bebadan kabinet 2004 berdiri Dr Purwadi banyak memberi pemikiran inspiratif dan solutif untuk pencerahan dan merubah sudut pandang dan stigma negatif publik yang selama ini diberikan kepada Kraton Mataram Surakarta. Akibat penguasa “punya agenda” khusus terhadap kraton, informasi yang selalu disajikan kepada publik, membuat seakan-akan antara satu sama lain tak ada hubungan.

Publik secara luas bangsa ini, dalam kurun waktu hampir seumur NKRI berdiri, selalu disuguhi informasi sejarah nenek-moyang leluhur bangsa terutama di Jawa tidak utuh dalam satu rangkaian. Informasi sejarah yang diberikan terutama melalui jenjang pendidikan, terpenggal-penggal menjadi potongan tidak utuh dan terkesan tak ada hubungannya, bahkan “dikreasi” saling bertolak-belakang.

“INGIN MERUBAH” : Menulis buku biografi para tokoh pemimpin zaman Mataram Surakarta, termasuk Sinuhun PB II itu, adalah salah satu cara Ki Dr Purwadi merubah stigma buruk dan anggapan negatif publik terhadap sejarah para pemimpin dan kraton di Tanah Jawa. Selain itu, melalui pentas wayang. (foto : iMNews.id/Dok)

Bila dite;aah lebih jauh, sejarah panjang perjalanan kraton-kraton di pulau Jawa terutama sejak Kediri, jelas sekali alur perjalananya kemudian. Setelah keturunannya melahirkan Kraton Majapahit, lalu lahir Kraton Demak, Kraton Pajang, Mataram Islam (awal) di bawah Panembahan Senapati, Mataram Islam (penuh) zaman Sultan Agung, Amangkurat Agung Kartasura dan Sinuhun PB II membawa Mataram ke Surakarta.

Rangkaian hubungan darah semacam itulah yang ingin disampaikan atau setidaknya “diarahkan” melalui sajian seni pakeliran yang akan disajikan Ki Dr Purwadi di Kentungan, Kota Jogja, tepat di malam peringatan “detik-detik” Proklamasi 17 Agustus. Dia menempatkan Raden Anoman “senapati” Kraton Ayodya sebagai tokoh sentral yang “ditugasi momong” para “Ratu Tanah Jawa”, dari Kediri hingga Mataram.

“Itu adalah cara saya mengedukasi banyak hal, terutama membantu mencerahkan anggapan publik yang sudah dicekoki stigma kurang baik terhadap sejarah perjalanan leluhur nenek-moyang bangsa ini. Karena, saya menunggu lama munculnya ide-ide pencerahan lewat penyajian wayang kulit. tetapi, selama ini tidak pernah ada. Padahal, edukasi itu penting sekali. Karena, di sana ada peran besar para Raja Tanah Jawa”.

“Bahkan lebih penting lagi, di sana ada peran besar para tokoh pemimpin Tanah Jawa yang urut, mulai dari Kediri hingga Mataram. Jasa-jasa mereka besar terhadap peradaban, terakhir disajikan Mataram Surakarta selama 200 tahun (1745-1945). Saya masih befikir, bagaimana menggali dan merangkai fakta sejarah dari peran Kraton Demak yang selama ini dirawat Mataram Surakarta,” jelas warga Pakasa Jogja itu.

MELAWAN ARUS : Ki Dr Purwadi mungkin satu-satunya intelektual kampus yang menggunakan segala kemampuannya berjuang “untuk Mataram”, bahkan spesial untuk Mataram Surakarta. Dia mengungkap banyak fakta yang “melawan arus” atas stigma negatif yang selama ini “dipropagandakan” penguasa. (foto : iMNews.id/Dok)

Dalam catatan iMNews.id, abdi-dalem intelektual kampus berpangkat Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) itu sudah beberapa kali menggelar pentas wayang kulit yang mengambil back-ground “locus” kisah Maha Bharata dan Ramayana yang telah diadaptasi para Pujangga Jawa di Surakarta menjadi sejumlah Serat Pustaka Raja. Termasuk yang digelar di Sragen dan Klaten, beberapa waktu lalu.

Di wilayah keluarga besar Pakasa Cabang Klaten, sekitar tiga bulan Ki Dr Purwadi menggelar pentas wayang yang memakai background “locus” dari kisah Maha Bharata. Lakon “Sinuhun Amangkurat” Raja Kraton Mataram yang berIbu Kota di Kartasura disajikan. Lakon ini dipilih untuk mengedukasi publik secara luas, tentang sisi lain para pemimpin dan lembaga kraton yang jauh lebih banyak sisi positifnya.

“Selama ini, sejarah panjang kraton-kraton di Jawa hanya disajikan sisi perselisihan dan perang saja. Ini pasti akan banyak melukiskan sisi negatif dan melahirkan stigma buruk bagi semuanya. Ini yang membuat publik selalu apriori, karena sejarah para leluhur di Tanah Jawa dianggap tak ada yang baik. Selalu negatif. Cara-cara seperti itu merugikan generasi bangsa kita, kelak,” tandasnya.

Peneliti sejarah yang telah banyak membuat kajian dan ditulis di lebih 100 judul buku itu, adalah kelahiran Mojorembun, Nganjuk. Sejak muda sering bergabung dengan karawitan “seni Tayub”, bahkan banyak juga belajar seni pedalangan secara otodidak. Ia termasuk kagum pada kepribadian dan cara-cara Ki Panut Darmoko (Nganjuk) “memperlakukan” seni pedalangan hingga benar-benar punya nilai adiluhung.

MENJADI JALUR : Kegiatan Sanggar Pawiyatan Paes Tata-Busana Penganten “gagrag” Surakarta, menjadi salah satu jalur edukasi dan transfer knowledge mengenai lembaga Kraton Mataram dan para pemimpinnya oleh Dr Purwadi. Maklum, para siswa sanggar ini dalam posisi “nol besar” tentang “kawruh” sejarah Mataram. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam buku biografi dalang “terkenal” dari “gagrag” Surakarta yang dia susun, di situ ada ekspresi kekaguman tentang sosok tokoh yang sangat bersahaja. Dalam telah dan pengamatan iMNews.id terhadap Ki Panut Darmoko di akhir-akhir hayatnya, terkesan sikap santun dan komitmennya memegang erat “cak-cakan” atau praktik seni pedalangan “gagrag” Surakarta yang konsisten pada “sikap hormatnya”.    

Mungkin karena itulah, Dr Purwadi ingin meneladani dan mengedukasi publik tentang seni pedalangan format klasik konvensional yang urut, runtut dan “jangkep”. Dalam beberapa pentas termasuk peringatan “detik-detik Proklamasi”, 16 Agustus nanti, dia akan menggelar wayang kulit dengan struktur urut dan lengkap, jauh dari niat “melacurkan” seni adiluhung itu untuk sesuap nasi, atau memperkaya diri. (Won Poerwono-i1) – Bersambung