Ketika Para Dalang Membawa Masuk Seni Pakeliran ke “Industri Hiburan”
IMNEWA.ID – KETIKA lembaga “negara” (monarki) Kraton Mataram Surakarta diibaratkan sebagai “pusat industri” yang menghasilkan Budaya Jawa sebagai pemandu arah peradaban, maka kesenian tradisional wayang kulit atau seni pakeliran, adalah salah satu jenis produknya. Tetapi, menjadi “pusat industri” bukan berarti “memetik keuntungan” atau “mendapat hidup” dari nilai ekonomis semua produknya.
Faktanya tidak demikian, sangat jauh dari kesan menempatkan nilai ekonomis atau nilai jual semua produk kesenian, apalagi produk budayanya. Sebagai “pusat industri”, Kraton Mataram Surakarta yang meneruskan lembaga “negara” pendahulunya, tanpa lelah terus berproduksi. Karena, yang diproduksi itu sesuatu yang menjadi kebutuhan dasar “kehidupan batiniah” rakyatnya, untuk merawat perjalanan peradabannya.
Termasuk pula produk kesenian wayang kulit atau seni pedalangan, “negara” Mataram yang meneruskan lembaga serupa pendahulunya dari Majapahit (abad 14), bahkan Kediri (abad 12) itu, fungsi dan tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar secara batiniah seluruh “kawula negara”. Oleh sebab itu, sejak “diproduksi” atau “keluar dari pabrik”, kesenian wayang kulit “wajib dikonsumsi” secara gratis insan peradaban.

Sebagai bahan analisis kritis terhadap keberadaan semua produk lembaga peradaban dan produk Budaya Jawa, kira-kira seperti itulah penggambarannya. Karena, nyaris tak pernah ada data dan catatan yang menyebut nilai (tarif/harga) kesenian wayang kulit dan berbagai produk kesenian lainnya, ketika melakukan pentas. Bahkan banyak naskah menunjukkan fakta, hampir semua produk kesenian itu untuk keperluan ritual.
Praktik “komersialisasi” kesenian tradisional dan berbagai produk Budaya Jawa, baru terjadi sejak dunia mengelami perubahan mulai abad 19. Perubahan tatanan kehidupan hampir di semua benua, berakibat berubahnya paradigma esensi produk kesenian, praktik berkesenian dan status/posisi kesenian. Mulai saat itulah, kesenian wayang kulit menjadi salah satu yang ikut berubah paradigmanya menjadi “komersial”.
Kesenian wayang kulit yang semula posisinya sebagai kebutuhan dasar batiniah karena semua “kawula” negara (monarki) wajib memiliki “kawruhnya”, pelan-pelan berubah paradigmanya menjadi “kegiatan usaha jasa”. Istilah atau pengkategorian ini secara terang-terangan diberikan panitia Nikkei Fundation Award, kepada Ki Manteb Soedarsono yang mengundangnya pentas di sebuah kota di Jepang tahun 2014.

“Kelompok Usaha” kesenian wayang kulit yang bermakna kegiatan usaha jasa seni wayang kulit, begitu Nikkei Fundation menyebut kelompok kesenian “Sanggar Bima” yang dipimpin Ki Manteb Soedarsono itu. Penyebutan atau pengelompokan yang dilakukan lembaga yayasan itu bukan tanpa dasar. Karena, di tahun 2014 atau satu dekade lalu dunia sudah memasuki persaingan sengit “industrialisasi kebudayaan”.
Bila dianalisis lebih jauh, Jepang yang termasuk negara maju karena punya teknologi modern hampir di segala bidang kehidupan, bisa menahan erat semua budaya tradisinya tetap eksis seperti asal-mulanya. Mungkin saja, kesenian “Kabuki” yang terkenal itu, tak diberi nilai jual alias tidak dikomersialkan, sehingga bisa mengkategorikan kesenian wayang kulit sebagai “kegiatan usaha jasa”.
Kesenian tradisional wayang kulit dikelompokkan sebagai “kegiatan usaha jasa” di bidang kesenian oleh Jepang, mungkin sekali ada benarnya karena berbagai indikator. Salah satunya, kesenian ini pernah terang-terangan memasuki wilayah industri kebudayaan/kesenian, ketika menjadi tayangan acara di beberapa stasiun TV swasta di tanah air, yang tentu punya standar nilai komersial materi tayangannya.

Kalau beberapa dalang terkenal yang pernah diwawancarai iMNews.id (Suara Merdeka) sering menyebut nilai nominal job (tarif) pentasnya sampai Rp 150 juta/semalam di tahun 2014 untuk jarak lokasi 300 KM, sangat masuk akal ketika nilai itu berubah menjadi sekitar Rp 250-an juta pada satu deka kemudian pada jarak lokasi pentas yang sama. Nilai atau tarif pentas itu, tentu diukur dari nilai komersial industri seni.
Ketika diurutkan dari depan, kesenian wayang kulit “diproduksi” melalui proses kekaryaan “kapujanggan” yang panjang oleh lembaga “negara” (monarki). Kemudian menjadi kebutuhan dasar batiniah warga bangsa, yang bisa diperoleh secara cuma-cuma (gratis), bahkan wajib dimiliki. Untuk intensifikasi pembelajaran untuk penguasaan sisi ketrampilannya, disediakan sanggar pasinaon/pawiyatan dalang.
Sanggar pasinaon/pawiyatan dalang di Kraton Mataram Surakarta dan di Kadipaten Mangkunegaran, seperti saat Ki KRT Panut Darmoko memulai “membangun profesinya”, belum terasa bahkan bebas dari unsur “komersialisasi”. Tetapi begitu tatanan dunia berubah, termasuk kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik, teknologi dan sebagainya, mulai saat itulah wayang kulit menjadi “kegiatan usaha jasa”.

Lahirnya lembaga perguruan tinggi seni seperti yang ada di Surakarta, ikut menyumbang proses komersialisasi kesenian itu, termasuk seni pedalangan yang hingga kini menjadi kesenian favorit dari sisi nilai ekonomisnya. Meskipun, di zaman Ki Panut Darmoko menjadi mahasiswa pertama Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta (kini ISI-Red), kalkulasi “komersialisasinya” masih tipis.
Lembaga perguruan tinggi seni, dalam mata rantai “industri” kesenian secara umum dan khususnya seni pedalangan, ibarat lembaga “assembling”, “finishing”, “packaging” dan “labeling” yang diproduksi lembaga “negara” (monarki). Para dalang yang belajar dan menjadi terkenal secara otodidak, dalam mata rantai itu berada pada posisi mirip fungsi-fungsi itu, walau “labeling”nya berbeda.
Label berbeda itu karena nama besar pribadi dalang bisa menjadi “bungkusnya”, sekaligus “tulisan tarif harganya”. Tarif/harga itu semakin kelihatan jelas saat berdialog langsung dengan figur dalangnya, seperti kalau kita berbelanja di pasar. Fenomena seperti inilah yang terjadi pada sisi lain dunia seni pedalangan, padahal seni pedalangan diciptakan bukan untuk tujuan kepentingan komersial. (Won Poerwono – bersambung/i1).