Disampaikan di Ajang Ritual Khol Sultan Agung, Disaksikan Bebadan Kabinet 2004
SURAKARTA, iMNews.id – Kementerian Kebudayaan RI selalu mendukung setiap upaya pelestarian budaya yang dilakukan masyarakat bangsa Indonesia. Karena, budaya yang menuntun peradaban bangsa hingga kini, adalah nilai-nilai luhur yang ditinggalkan para leluhur bangsa Indonesia, seperti yang dilakukan para kerabat di Kraton (Mataram) Surakarta, kini.
Pernyataan singkat itu, disampaikan Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenbud Fryda Lucyana K SH LLM, dalam sambutannya di depan berbagai elemen masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta di “gedhong” Sasana Handrawina, Minggu (27/7), siang tadi. Sambutan itu diberikan di ajang upacara adat khol (haul) ke-392 tahun wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma yang digelar Bebadan Kabinet 2004.

Meski sedikit terlambat kedatangannya, namun kehadiran Irjen Kemenbud itu masih bisa menyaksikan jalannya upacara, tatacara ritual khol dan pemandangan saat masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta menggelar upacara adat di “gedhong” Sasana Handrawina. Kehadiran pejabat tinggi negara itu menjadi “luar biasa”, karena sangat “langka terjadi” pada dua dekade terakhir.
Seperti diketahui, sejak peristiwa suksesi tahun 2004 yang melahirkan Bebadan Kabinet 2004 yang dipimpin Gusti Moeng, seperti menjadi alasan negara dan pemerintahannya “menjauh” dari Kraton Mataram Surakarta. Sejak tahun 2004, terlebih sejak ada insiden 2017, pemerintahan yang mengelola negara “nyaris” tak pernah hadir di tengah masyarakat adat “representasi” kraton.

Oleh sebab itu, hadirnya Irjen kemenbud yang menjadi tangan panjang pemerintah pusat di ajang ritual khol wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, Minggu (27/7) siang tadi, merupakan perkembangan luar biasa dalam hubungan Kraton Mataram Surakarta dengan pemerintah. Hal-hal yang sangat spesifik dalam ritual itupun, mungkin baru dipahami kali ini.
Hal-hal yang spesifik dalam ritual khol Sultan Agung yang mungkin baru kali ini dipahami “negara” melalui Irjen Kemenbud itu, adalah beberapa hal yang diungkapkan Gusti Moeng ketika memberi sambutan. Di situ ditegaskan lagi soal peran ketokohan Sultan Agung selaku Raja ke-3 dari Dinasti Mataram, bahkan yang “mengislamkan” Kraton Mataram.

Dari riwayat tokoh yang sudah dibacakan KP Siswanto Adiningrat (Wakil Pengageng Sasana Wilapa), Gusti Moeng menandaskan berbagai karya besar Sultan Agung. Selain penanggalan yang berhasil “diakulturasikan” antara kalender Jawa dan Hijriyah, ada karya lain berisi “pitutur” atau “piwulang luhur”, yaitu “Serat Sastra Gendhing”.
Karya sastra yang memulai adanya konstruksi secara jelas tentang unggah-ungguh, tata-krama, udanagara, tata-basa, tata-susila itu itu, telah dikembangkan menjadi lengkap oleh para Pujangga Jawa Surakarta. Selain itu, Serat Sastra Gendhing juga melukiskan bagaimana iringan karawitan untuk tari Bedhaya Ketawang disajikan.

“Dalam cakepan atau syair Bedhaya Ketawang yang disebut dalam Serat Sastra Gendhing, juga dilukiskan halaman Pendapa Sasana Sewana isinya hamparan pasir. Itu bermakna, bahwa seperti itulah gambaran dunia yang harus dihadapi manusia. Di halaman itu, ada tanaman Sawo Kecik yang maknaya ‘sarwo becik’, agar manusia selalu menanam kebaikan”.
“Hanya kebaikan di dunia itulah yang bisa dibawa manusia ketika sudah menghadap Tuhan YME. Maka, pesan Sinuhun Sultan Agung itu sejatinya berharap, agar manusia menggunakan apa yang dimilikinya untuk selalu berbuat baik di dunia. Karena, yang akan dihargai Tuhan YME adalah perbuatan baik manusia saat di dunia,” tunjuk Gusti Moeng dalam Bahasa Jawa “krama”.

Hal yang bisa dicermati lagi, termasuk oleh Irjen Kemenbud, ketika Gusti Moeng menyebut “barikan” yang bisa dipasang di kanan-kiri pintu rumah. “Barikan” atau simbol tolak-bala berupa “Godhong Apa-apa” yang biasa diwujudkan dalam “tuwuhan” yang menjadi uba-rampe ritual pengantin, adalah wujud sikap spiritual kebatinan dan religi dalam Budaya Jawa.
Sambutan Gusti Moeng menjadi penutup ritual yang dihadiri sekitar 800 warga dari berbagai elemen masyarakat adat, terutama Pakasa Cabang di Jateng dan Jatim. Ritual diawali proses membawa masuk uba-rampe upacara oleh masing-masing yang mewakili trah Sinuhun PB I hingga PB XIII, dipandu para prajurit kraton, berjalan dari Pendapa Sitinggil ke Sasana Handrawina. (won-i1)