Antara Tahun 1645-1677, Senjata Jenis Apa yang Bisa Memusnahkan 5 Ribuan orang? (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:July 23, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Antara Tahun 1645-1677, Senjata Jenis Apa yang Bisa Memusnahkan 5 Ribuan orang? (seri 1 – bersambung)
KEAGUNGAN MATARAM : Pemandangan yang tampak saat berakhirnya ritual "jamasan" dan "ganti langse" Astana Pajimatan Tegalarum, Senin (21/7), adalah satu sisi keagungan Mataram Islam Surakarta yang pernah "diperjuangkan" Sinuhun Amangkurat Agung di Kartasura (1645-1677), Ibu Kota lama. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sudah Terlanjur Apriori, Abai Pertimbangan Realistik Rasional

IMNEWS.ID – SENIN Wage, 21 Juli 2025 yang tepat tanggal 25 Sura Tahun Dal 1959, Astana Pajimatan Tegalarum di Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Slawi/Tegal, kedatangan rombongan dari Kraton Mataram Surakarta. Rombongan Bebadan Kabinet 2004 sebanyak 50-an orang itu dipimpin langsung Gusti Moeng, yang di dalamnya ada utusan Pakasa Cabang Ponorogo yang dipimpin KRA Sunarso Suro Agul-agul.

Upacara adat “jamasan” dan “ganti langse” makam Sinuhun Prabu Amangkurat Agung itu, dimulai pukul 11.00 WIB yang berlangsung singkat dan lancar, selesai pukul 13.00 WIB. Di hari upacara adat itu berlangsung, sebuah artikel di akun pribadi face book (FB) seseorang muncul dengan tema makam Raja Mataram Amangkurat Agung. Ulasan pribadi tentang tokoh Kraton Mataram itu mengambil isi buku HJ De Graaf.

Dalam artikel yang lumayan panjang, ada dua hal menonjol yang diungkapkan yaitu mengenai sisi buruk atau negatif Raja Mataram ketiga Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Berikutnya, sisi negatif sang putra penerus Raja Mataram Islam yang bergelar Sinuhun Prabu Amangkurat Agung. Keduanya dilukiskan sama-sama “kejamnya” selian beberapa sisi negatif/buruk yang disebut dalam artikel tersebut.

Dari awal hingga akhir, nyaris tak ada sepenggal kalimatpun yang melukiskan keagungan dan sisi baik serta nilai-nilai positif dua generasi Raja Mataram yang menjadi leluhur dan “pepundhen” bagi semua keturunan Dinasti Mataram itu. Hal yang paling mencolok dilukiskan dari buku HJ De Graaf itu, adalah sisi buruk (keji) Sinuhun Prabu Amangkurat Agung yang disebutnya telah “memusnakan” enam ribu ulama.

SISI POSITIF : Para penyebar isu hoax dan pihak yang selama ini serba apriori terhadap “kebesaran” Mataram itu, tak mungkin bisa melihat sisi positif keberadaan makam Sinuhun Amangkurat Agung di Astana Tegalarum. Makam yang sedang diziarahi Gusti Moeng, Senin (21/7) itu, menjadi kebanggaan warga Kabupaten Slawi/Tegal. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Entah kebetulan atau apapun istilahnya, yang jelas, antara peristiwa upacara adat “jamasan” dan “ganti langse” yang dipimpin Gusti Moeng di Astana Pajimatan Tegalarum, Senin (21/7) siang itu terkesan “sengaja disambut” oleh munculnya artikel di face book itu. Postingan itu terkesan sebagai “black campaign” yang sudah diniatkan untuk “melawan” tradisi budaya masyarakat adat Mataram (Islam) Surakarta .

Dalam kajian sejarah Dr Purwadi (ketua Lokantara Pusat di Jogja), “black campaign” yang memutarbalikkan fakta dan tanpa dasar serta menyudutkan “kebesaran Mataram”, muncul dalam 1 atau 2 dekade belakangan ini. Karena, mereka yang berkuasa setelah era 1945, tidak bisa melebihi atau menyaingi “kebesaran dan keagungan” Mataram. Mereka berusaha meruntuhkan “kebesaran” dan “keagungan” itu dengan cara apapun.

Ketika dianalisis lebih jauh, munculnya ungkapan-ungkapan yang terkesan diatarbelakangi rasa iri atau “tidak suka” itu, seperti ada kemiripan dengan ekspresi sosial di sekitar tahun 1945 dan sekitar 1965. Karena peta dan posisi sosial politik pada dua periode perjalanan NKRI itu, banyak diwarnai pertikaian keras antara pengaruh komunis, sosialis, liberalis, kapitalis, modernitas dan tradisional spritualis di dua sisi terpisah.

Karena peta dan posisi sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya berpindah ke segala arah, menjadikan semuanya tampak “samar-samar” atau “abu-abu” pada beberapa periode kemudian seperti sekarang. Ekspresi-ekspresi itu muncul kembali dalam “warna baru” dan memanfaatkan inovasi modernitas, tetapi narasi-narasinya terasa mewakili “semangat” anti tradisi, adat, budaya, etika, estetika hingga anti spiritual religi yang ramah.

TAK MENGENAL : Pihak-pihak yang selama ini selalu apriori terhadap “kebesaran” Mataram, tidak mungkin mengenal sikap hormat “mikul dhuwur, mendhem jero” kepada para leluhur bangsa, khususnya yang lahir dan hidup di tanah Jawa ini, seperti yang dilakukan Gusti Moeng, Senin (21/7) lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Beberapa “pengaruh asing” yang masuk mulai abad 15-16 di tanah Jawa dan suasana Kraton Demak yang menjadi contoh kehidupan baru setelah era Majapahit (abad 14). Suasana abad itu menjadi contoh perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik dan spiritual yang mulai terasa. Tetapi, dalam soal teknologi hanya berubah untuk beberapa kebutuhan mendasar ke arah meningkatnya peradaban. Proses persesuaian antara budaya (Jawa) dan Islam, masih di awal.

Dengan satu indikator fakta riil suasana kehidupan peradaban waktu itu saja, maka muncul pertanyaan besar ketika ada pihak yang menarasikan Raja ke-4 Kraton Mataram Islam, Sinuhun Prabu Amangkurat Agung “memusnakan” 5-6 ribuan ulama. Salah satu yang bertanya itu, adalah GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng, saat memberi sambutan di acara ramah-tamah menutup ritual “jamasan” dan “ganti langse” makam, Senin (21/7) itu.

“Sinuhun Amangkurat Agung dianggap kejam karena dituduh membunuh sampai 5 ribuan orang. Jumlah 5 ribu di tahun 1600-an, itu sangat banyak lo. Kalau dinarasikan dibunuh dalam waktu singkat, dengan cara (senjata-Red) apa membunuhnya? Kok bisa dalam waktu singkat dan jumlahnya sebanyak itu? Dan, siapa saja algojonya? Kalau jumlahnya sampai 5 ribuan, berarti ada kuburan masalnya, di mana kuburan itu?,” sanggah Gusti Moeng dengan sejumlah pertanyaan.

Beberapa pertanyaan Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA) itu, adalah sisi faktual dan rasional yang seharusnya menjadi pertimbangan pihak-pihak yang selalu menarasikan para tokoh Mataram Islam serba “negatif” dan “buruk”. Belum lagi, kalau dilihat pertimbangan dasar-dasar alasan yang harus dipenuhi, karena untuk mencapai kesimpulan seperti itu, harus didahului dengan penelitian dan kajian ilmiah.

MENJADI TELADAN : KRT Irham Puspoko dan para pamong makam Astana pajimatan Tegalarum, layak mendapat penghargaan dari Gusti Moeng dan Gusti Ayu yang mewakilik kraton. Sikap hormat dan dedikasinya merawat makam para tokoh leluhur Dinasti Mataram, pantas menjadi teladan bagi publik. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Bahkan, dalam setiap peristiwa insidental yang sampai menelan korban jiwa, apalagi jumlahnya sampai 5-6 ribuan jiwa, perlu pula ditampilkan data-data pendukung yang berkaitan erat, misalnya tingkat populasi penduduk di tahun-tahun terjadinya peristiwa itu. Karena menurut Dr Purwadi, di abad 16 saat Sinuhun Amangkurat Agung jumeneng nata (1645-1677), jumlah penduduk zaman Mataram  masih sedikit, sulit mendapati santri/ulama sampai 5 ribuan jumlahnya.

“Hanya buku HJ De Graaf itu yang sampai kini masih digunakan untuk ‘black campaign’ pihak-pihak tertentu. Padahal, itupun sangat diragukan kebenarannya. Terutama, metode penelitian yang digunakan apa?. La, narasi-narasi yang muncul belakangan ini, banyak mengabaikan pertimbangan-pertimbangan faktual rasional itu. Maka, sangat lemah dari sisi manapun. Bisa dikatageorikan  hoax,” ujar Dr Purwadi.

Dari analisis yang lebih luas atas munculnya narasi bernada fitnah dan sekadar “hoax” itu, selain bisa menggiring opini ke arah asal-mula latar belakang narasi itu berakar, juga bisa menakar kualitas, arah dan tujuan isu hoax itu disebar. Salah satu hal yang menonjol untuk ditakar, adalah bobot rasional yang menjadi pertimbangannya. Karena, bisa dipastikan tidak didasari oleh penelitian dan kajian ilmiah.

Selain melukiskan kedangkalan cara berpikir dan kecerobohan melampiaskan sikap “tidak suka”, munculnya isu melalui artikel face book yang mengambil isi buku HJ De Graaf itu, bisa juga ada tendensi lain. Yaitu mewakili pihak-pihak yang iri dan tidak suka, tetapi ada agenda untuk menghilangkan nilai-nilai kearifan lokal simbol-simbol budaya Jawa. Karena simbol-simbol itu, banyak dimiliki Kraton Mataram Surakarta.

TAHU BERTERIMAKASIH : Warga Kabupaten Slawi/Tegal KMT Drg Fitri Nursapti adalah salah seorang pemerhati Pakasa Cabang Slawi/Tegal yang tahu berterimakasih atas jasa-jasa tokoh leluhur Dinasti Mataram itu. Dia adalah Ketua Paniti pengusul gelar Pahlawan nasional untuk Sinuhun Amangkurat Agung. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Munculnya isu dari face book itu, juga bisa mewakili ekspresi pihak tertentu yang selama ini selalu sinis dan apriori terhadap Kraton Mataram Surakarta karena iri pada “keagungan” dan “kebesaran” Mataram. Narasi yang dimunculkan “pembunuhan massal”, tetapi tidak ada daya dukung yang membuktikan itu pada tahun 1645-1677. Karena, di tahun-tahun itu dunia belum menemukan senjata pemusna masal, 5-6 ribuan nyawa hilang dalam waktu singkat.

Dari orang-orang sinis dan selalu apriori itu, jelas tidak mungkin bisa melihat sisi positif para tokoh leluhur Dinasti Mataram itu. Misalnya, bagaimana Amangkurat menggagas dan membangun tambang emas di Desa Pancurendang dan sebagainya, hingga menjadi modal menjaga peradaban Mataram. Karena dengan modal itu, Ibu Kota Mataram di Kartasura bisa dibangun sebagai tempat pindahnya “nagari” dari Ibu Kota lama di Plered. (Won Poerwono – bersambung/i1)