Untuk Menghindari “Pemburu Label” Kraton, Tapi tak Bisa Menguasai Kawruhnya
SURAKARTA, iMNews.id – Setelah dikenal luas sebagai lembaga kursus yang punya kualitas dan diakui publik lebih 30 tahun tahun sejak berdiri tahun 1993, kini Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta mulai meningkatkan selektivitasnya dalam penerimaan siswa. Selektivitas itu ditingkatkan dalam rangka peningkatan kualitas.
“Jadi, mulai Babaran 43 tahun 2025 ini, sanggar hanya akan menerima 60 siswa saja. Jumlah peminat kami batas hanya sejumlah itu, agar sanggar mendapatkan lulusan yang lebih berkualitas dibanding tahun-tahun sebelumnya ketika masih longgar. Ini kami maksudkan, untuk menghindari para pemburu label kraton,” tegas KPH raditya Lintang Sasangka, menjawab iMNews.id, semalam.
Dalam wawancara singkat dengan Pangarsa (Ketua) Sanggar Pasinaon Pambiwara di Bangsal Smarakata, semalam, berlangsung di sela-sela upacara wisuda lulusan atau “purna-wiyata” siswa sanggar yang berlangsung, Sabtu (19/7), semalam. Pernyataan itu juga dibenarkan KP Budayaningrat (dwija) sanggar yang mendampingi saat bertemu iMNews.id.
Seperti yang sudah menjadi tradisi, setelah 6 bulan kursus “kawruh” beberapa cabang produk Budaya Jawa dan sejarah tentang Mataram Surakarta khususnya, para siswa mengikuti “pendadaran” atau ujian. Untuk Babaran 42 tahun 2025 yang dimulai November 2024, dari Punjer (Surakarta) dan tiga cabang (Pang) di luar Surakarta, ada lebih 100 siswa yang mendaftar.

Namun, seiring perjalanan waktu, satu persatu siswa berhenti tanpa sebab yang jelas, setelah tidak bisa mengikuti kelas pembelajaran yang berlangsung hanya 1-2 kali dalam seminggu itu. Sampai akhirnya, saat pendadaran hanya diikuti lebih dari 90 peserta dan saat wisuda, semalam, secara keseluruhan hanya diikuti 92 peserta.
Semalam, baik KPH Raditya Lintang Sasangka maupun KP Budayaningrat tak dijelaskan lebih lanjut mengenai alasan yang melatar-belakangi pembatasan dan penjelasan tentang “pemburu label” tersebut. Tetapi dari ungkapan pangarsa sanggar saat penutupan “pendadaran” di bulan Mei lalu, terselip sikap menyayangkan banyaknya peserta mengabaikan soal absensi.
Absensi siswa dalam kelas belajar-mengajar, menurut kedua tokoh penting di Sanggar Pasinaon Pambiwara itu sangat penting dalam menuntaskan proses transfer berbagai “kawruh” dalam Budaya Jawa dan sejarah kraton sebagai sumber budaya itu. Walaupun, yang diberikan dalam waktu hanya selama 6 bulan itu, sudah diperas menjadi intisari.
Kepadatan intisari “kawruh” yang diberikan sanggar kepada para siswanya, disebut sudah tak bisa ditawar lagi dengan absen sekali atau dua kali selama jadwal kelas digelar dalam waktu 6 bulan itu. Karena sekali saja tidak masuk dalam pertemuan tatap-muka di kelas, akan terpenggal bagian “kawruh” yang sudah menjadi intisari itu, dan bisa tak utuh dipahami.

Oleh sebab itu, lanjut KPH Raditya, mulai Babaran 43 ini jumlah siswa yang masuk akan dibatasi 60 orang saja. Cara pembatasannya akan diseleksi dengan tes tertulis dan lisan. Selain untuk mendapatkan lulusan yang berkualitas, yang di dalamnya termasuk pribadi-pribadi yang hanya ingin mendapatkan “label kraton” dari ijaszah atau sertifikat yang diterima.
Seperti pernah dijelaskan Pangarsa dan para dwija sanggar, para siswa yang selama ini belajar di sanggar punya latar-belakang sangat bervariasi. Terutama dari pribadi-pribadi yang sudah punya kesibukan sangat beragam profesinya, mulai dari guru sekolah, dosen, kepala desa, ketua RT, polisi, tentara dan sangat sedikit yang statusnya pelajar/mahasiswa.
Bahkan, banyak juga yang sudah berprofesi sebagai MC berbahasa Jawa yang pernah kursus di luar kraton, perias penganten dan event organizer (EO) penganten. Di antara mereka itu sudah terlalu sibuk dengan kegiatan profesinya, jadi sering dianggap mengabaikan kewajiban belajar yang hanya 1-2 kali seminggu selama 6 bulan itu, bahkan tidak bisa ikut ujian.
Dua tokoh di sanggar itu juga secara tegas pernah menyatakan, belajar kursus di Sanggar Pasinaon Pambiwara di kraton akan mendapatkan “kawruh” yang sangat lengkap yang saling berkaitan satu sama lain. Kelengkapan “kawruh” itu, tidak akan sama seperti yang diperoleh di lembaga kursus di luar kraton, karena yang diajarkan kebanyakan hanya kemampuan “hamicara”.

Praktik “hamicara” atau pidato/sambutan, di sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta hanya sebagian dari keseluruhan “kawruh” Basa Jawa yang menjadi salah satu “kawruh” tentang Budaya Jawa. Belajar di sanggar pasinaon di kraton, masih diberi “kawruh” sejarah yang bisa menambah pemahaman tentang asal-mula dari mana Budaya Jawa lahir.
Pemahaman tentang sejarah secara lengkap termasuk asal-mula Budaya Jawa dan Basa Jawa berasal, sangat penting agar cara memahami dan praktiknya tidak “menyesatkan” bagi publik yang mendengar dan menyaksikan. Karena, banyak sekali MC berBahasa Jawa yang kerap menggunakan tembang Macapat, “antawecanan dan janturan” tetapi tak tahu siapa penciptanya.
Dalam kesempatan memberi laporan/sambutan di awal upacara wisuda, KPH Raditya Lintang Sasangka juga mengajak para lulusan yang ingin meneruskan atau memperdalam “kawruh” di Sanggar Paes Tata-Busana Panganten Jawa gagrag Surakarta Kraton Mataram Kartasura yang dipimpin GKR Ayu Koes Indriyah. Tak lupa, KPH Raditya juga memperkenalkan figur Gusti Ayu.
Perkenalan itu, dilanjutkan dengan tampilnya Gusti Ayu ketika mendapat giliran menyerahkan partisara sertifikat kelulusan para peserta wisuda. Bahkan, diteruskan dengan berfoto bersama dan bersalaman setelah penyerahan partisara dan pengalungan samir simbol warna “Gula Klapa” khas Kraton Mataram Surakarta.

Upacara wisuda lulusan siswa Babaran 42 tahun 2025 it, juga disaksikan utusan dari Kantor Diknas Surakarta dan Kantor Kebudayaan Surakarta. Gusti Moeng selaku Pangarsa Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta, sudah mendapat giliran menyerahkan partisara paling awal bersama KPH Edy Wirabhumi (Pangarsa Pakasa Punjer) yang mengalungkan samir.
Selaku Pangarsa yayasan, Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/pangarsa LDA) juga memberikan sambutan yang diikuti pejabat dari Dinas Diknas dan Dinas Kebudayaan. Di acara wisuda malam itu selalu ada hal yang menarik. Karena KPH Raditya menutup sambutannya dengan “Piwulang Pepali” dari Ki Ageng Sela dalam tembang Macapat, yang ditutup dengan “palaran” iringan “srepeg”. (won-i1)