Event Khol Wafat RT Djayengrana Tetap Khidmat, Karena Jauh dari “Sound Horeg”

  • Post author:
  • Post published:July 20, 2025
  • Post category:Regional
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Event Khol Wafat RT Djayengrana Tetap Khidmat, Karena Jauh dari “Sound Horeg”
RITUAL DIMULAI : Ritual haul wafat Eyang RT Djayengrana dimulai, semua peserta upacara adat spiritual religi Islam yang nJawani itu juga menempatkan diri duduk lesehan di sekeliling makam tokoh penting kepercayaan Sinuhun PB II, Sabtu (19/7) siang kemarin. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Usai Ziarah, Gusti Moeng Melepas Kirab Budaya yang Dipandu Prajurit Kraton

PONOROGO, iMNews.id – Untuk kali kesekian khol wafat tokoh Eyang Raden Tumenggung (RT) Djayengrana (Jayengrono-Red), diperingati dalam event yang semakin terkelola dengan baik. Selama berlangsungnya event khol ke-247 di dalam makam, suasana khidmat sangat terjaga karena “sound bukan horeg” hanya terdengar saat kirab setelah upacara.

Masyarakat Desa Pulung Merdika, Kecamatan Pulung khususnya terasa sangat menghormati makna upacara adat spiritual religi Islam yang nJawani berupa khol atau haul itu. Dan warga Kabupaten Ponorogo pada umumnya, disebut tak mudah ikut aruah atau tak terpengaruh oleh trend “sound horeg” yang kini sedang menjadi polemik masyarakat Jawa Timur secara umum.

Media iMNews.id yang mengikuti jalannya upacara adat khol wafat tokoh penting orang dekat Sinuhun PB II yang disebut memiliki “kesaktian” luar biasa itu, Sabtu (19/7) siang kemarin mendapati suasana tenang, nyaman dan sukacita tampak di dalam upacara dan masyarakat desa setempat. Padahal, pengunjungnya dari luar kecamatan, bahkan luar kabupaten.

Selama upacara adat berlangsung di dalam makam sekitar 30 menit mulai pukul 13.15 WIB, nyaris tak terdengar dound system dari skala sayub-sayub, apalagi yang menggelegar “horeg”. Hanya kedatangan kelompok kesenian dari tingkat rukun tetangga (RT) yang hendak bergabung dalam barisan kirab, sayub-sayub terdengar di kejauhan tanpa “sound system” alias manual.

TABUR BUNGA : Gusti Moeng tabur bunga dari pusara Eyang RT Djayengrana dan beberapa pusara para pengawal Sinuhun PB II, dalam ritual khol, Sabtu (19/7) kemarin. Saat “berkantor” di “Kabupaten Pedanten” (kini Pulung Merdika) sebelum ada Kabupaten Ponorogo, Sinuhun PB II punya para pengawal handal warga setempat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Polemik “sound horeg” yang sedang heboh di wilayah Jatim yang mempersoalkan antara sisi “manfaat” dan efek negatif yang ditimbulkan, mungkin sudah sampai titik puncak hingga lembaga MUI Jatim mengeluarkan fatwa haram. Namun dari pemandangan berlangsungnya kirab budaya di event ritual upacara adat khol Eyang RT Djayengrana itu, nyaris tak terpengaruh.

“Desa Pulung Merdika termasuk desa kecil. Tetapi warganya sangat bersemangat menjalankan upacara adat haul (khol) Eyang (RT) Jayengrono (Djayengrana-Red) ini dengan suka-rela, suka-cita dan bergotong-rotong tulus-ikhlas. Kami bisa menjalankan upacara adat dengan kirab ini sesuai kearifan kami. Jauh dari sound horeg,” ujar para MC peserta kirab.

Penjelasan itu dibenarkan KP MN Gendut Wreksodiningrat (Ketua pakasa cabang Ponorogo), KRT Suroso Hadinagoro (Kades Pulung Merdika) yang juga Juru-Kunci makam Eyang RT Djayengrana dan beberapa tokoh setempat, menjelang kirab berjalan. Untuk kali kesekian, kirab budaya yang digelar warga desa dan mendapat dukungan penuh berbagai pihak dipandu prajurit kraton.

Karena sentuhan kirab merupakan inovasi dalam rangka menambah daya tarik dan menjadikan ritual itu sebagai destinasi wisata, hingga berlangsung di tanggal 23 Sura tahun Dal 1959 tepat pada 19 Juli 2025 ini, rampak masih mencari “format” yang tepat. Karena, rute kirab tahun ini berkebalikan dengan rute kirab tahun 2024 seperti disebut KRT Suroso Hadinagoro.

TANDA BERJALAN : Terompet ditiup para prajurit Krsik Bregada Tamtama, menjadi aba-aba dan tanda bagi para peserta kirab berjalan yang disaksikan Gusti Moeng dan para tokoh penting yang ikut melepasnya di depan kompleks makam Eyang RT Djayengrana dalam ritual khol, Sabtu (19/7) kemarin.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Yang jelas sukses. Gotong-royong masyarakat desa mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk Pemkab Ponorogo dan Kraton Mataram Surakarta. Selain tampilnya para prajurit kraton, Gusti Moeng bahkan Pangarsa Pakasa Punjer (KPH Edy Wirabhumi-Red) dan rombongan sentana bisa rawuh. Kami masih punya agenda ritual ‘Tutup Sura’ di Bantarangin, Rabu (26/7),” ujar KP MN Gendut.

Dan suasana di lapangan saat upacara adat khol dimulai di dalam makam Eyang RT Djayengrana, suara dari luar makam terutama dari unit-unit mobil bak terbuka ukuran kecil (Colt disel-Red), nyaris tak terdengar. Sound system yang dibawa mobil-mobil pick-up itu, bisa menghormati berlangusngnya upacara adat khol, walau sound yang mereka bawa jauh dari ukuran “Horeg”.

Dalam waktu sekitar 30 menit berlangsungnya upacara spiritual religi Islam yang nJawani itu, bisa terkendali kondusif dan membanggakan kepeduliannya. Hanya sesekali terdengar sayup-sayup dari jauh, ketika ada peserta kirab dari tiap RT yang datang dengan grup kesenian khasnya. Mereka datang sedikitnya 30-an orang/RT, tetapi banyak yang tampil manual.

Upacara adat dimulai dalam makam, setelah Gusti Moeng dan rombongan dari kraton, panitia, Ketua Pakasa Cabang Ponorogo dan berbagai pihak pendukung dari lingkungan Pemkab Ponorogo, sudah masuk dan duduk lesehan di lantai makam. Doa, tahlil dan dzikir terdengar dipimpin MNg Nurhadi Reksopuspoko  mulai pukul 13.15 WIB hingga menjelang pukul 14.00 WIB.

JADI PEMANASAN : Tampilnya para “pembarong” memainkan 12 dhadhak-merak, 15 penari “Jathilan” cantik dan belasan penari Bojang-Ganong, sudah menjadi “pemanasan” awal kirab budaya ritual khol Eyang RT Djayengrana, yang dimulai dalam sengatan panas matahari pukul 13.00-an, Sabtu (19/7) kemarin. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sehabis doa, dilanjutkan tabur bunga dan penggantian “langse” selubung makam yang dimulai dari makam Eyang RT Djayengrana. Gusti Moeng dan rombongan, KP MN Gendut Wreksodiningrat (Ketua Pakasa Cabang Ponorogo), Wabup Ponorogo Listyarita, Wakil Ketua DPRD Anif Suharto, Camat Pulung dan KRT Suroso Hadinagoro (Kades Pulung Merdika) bergiliran tabur bunga.

Selesai ziarah, Gusti Moeng, panitia dan rombongan tamu dari berbagai elemen, bersiap di depan gerbang makam untuk menerima laporan “manggala” kirab yang meminta izin pelepasan kirab. Begitu Gusti Moeng menjawab “nuli tindakna”, sang manggala-pun menjawab “sendika”, Korsik Drumband Bregada Prajurit Tamtama langsung meniup terompet, tanda kirab dipandu untuk jalan.

Kirab mulai bergerak maju dari depan makam yang berdekatan kantor desa lama Pulung Merdika, untuk menyusuri jalan desa menuju kantor desa baru yang jaraknya hanya sekitar 2 KM. Saat prajurit bergerak, rombongan Gusti Moeng, panitia dan para tamu juga masuk dalam barisan dan ikut bergerak maju menuju kantor Desa Pulung Merdika yang baru sebagai lokasi finish.

Baik KP MN Gendut Wreksodiningrat, KRT Suroso Hadinagoro dan kalangan panitia lain mengaku, kirab budaya tahun ini memetik sukses. Terutama dari sisi kepedulian warga desa dari tiap RT, juga elemen warga lain dari luar desa bahkan luar kecamatan. Gotong-royong masyarakat Desa Pulung Merdika sangat tinggi dalam pelestarian Budaya Jawa, walau tercatat sebagai desa kecil.

EKSPRESI “PEMECUT” : Di depan para prajurit Kraton Mataram Surakarta yang memandu gerak kirab event ritual khol Eyang RT Djayengrana di Desa Pulung Merdika, Ponorogo, Sabtu (19/7) kemarin, ada ekspresi “pemecut” dari komunitas Bregada Pecut yang suaranya mirip pesta petasan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pengakuan seperti itu juga banyak terdengar dari kalangan MC unit mobil hiburan “sound getar nyaman” yang sangat jauh dari suara gelegar berkesan “Horeg”. Mereka tak ada yang mempersoalkan penampilan sound systemnya, tetapi dari yang tampak dan terdengar, sangat jauh dari kesan heboh “Sound Horeg” yang sedang menjadi perbincangan pro-kontra di Jatim.

Hampir semua peserta kirab budaya, terkesan sangat peduli dan menghormat inti upacara adat yang butuh keheningan dan kekhidmatan itu. Walaupun, dalam suasana kirab selepas ritual, ada kebebasan berekspresi, para peserta tetap punya kearifan bukan “liar” dengan “jor-joran Sound Horeg” yang jelas mengganggu khidmatnya ritual dan kenyamanan seperti di berbagai daerah lain. (won-i1)