“Pola Kemitraan Pakasa” Jadi Daya Dukung Ideal Pengembangan Karya Tosan-Aji
IMNEWS.ID – PADA event ritual kirab pusaka (tombak) Kiai Slamet yang digelar “Pakasa Caruban” di Dusun Cambor, Desa Ngadirejo, Kecamatan Wonosari, Madiun (Jatim), Selasa (1/7) malam, tak terasa menjadi saksi penting.
Saksi peristiwa dipersembahkannya karya tosan-aji dari seorang empu muda dari wilayah Kabupaten Jepara, sebagai “anak asuh” sekaligus mitra Pakasa Cabang Jepara.
KP Bambang S Adiningrat (Ketua Pakasa Cabang Jepara) tidak hadir menyerahkan sendiri “tali-asih” pusaka Wedung yang diterima abdi-dalem sesepuh desa, Soedaryo itu. Karena masih terikat tugas di lembaga swasta tempatnya mengabdi, penyerahan pusaka “yasan enggal (karya baru) empu muda dari “besalen” di Jepara itu, diwakilkan kepada KRT Anam Setyopuro untuk menyerahkannya.
Tak ketinggalan, sebuah sertifikat yang menjadi alat penjelas identitas Wedung itu disertakan. Seperti ketika berbagai jenis karya tosan-aji lain dari Besalen “Bendowangen” di Desa Mayonglor, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara itu diserahkan sejumlah tokoh penting sebelumnya. Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, Wakil Bupati Ngawi dan sejumlah tokoh penting lain pernah mendapat tali-asih tosan-aji produk “Bendowangen”.
Selain berbagai jenis karya tosan-aji itu adalah mewakili karya “empu” muda atau besalen masa kini, hal positif yang bisa dilihat dari peristiwa itu adalah pola kemitraan ideal. Yiatu ikatan kemitraan antara KP Bambang S Adiningrat selaku Ketua Pakasa Cabang Jepara dengan Empu Tumaji selaku perajin tosan-aji dari Besalen Bendowangen yang bersinergi, saling memberi manfaat atau simbiosis mutualistik.

Namun, Pakasa Cabang Jepara tak hanya berhenti di situ dalam pengembangan organisasi dan pemberdayaan kalangan anggotanya pada titik-titik tertentu yang strategis. Karena, setelah Empu Tumaji, kini ada sosok Empu Muda baru berusia sekitar 30-an tahun sedang “dibukakan jalan”. Joko Prasetyo Utomo, akan segera pulang ke daerah asal (Kabupaten Jepara), karena “pengembaraannya berguru” di Karanganyar sudah cukup.
Jambore Nasional Keris 2025 kali pertama yang digelar sebuah komunitas bersama berbagai elemen termasuk Kraton Mataram Surakarta, menjadi momentum penting munculnya Joko Prasetyo Utomo. Di sela-sela peristiwa bersejarah itu, KP Bambang S Adiningrat (Ketua cabang) sedang merintis ikatan kemitraan antara Pakasa Cabang Jepara dengan sosok empu muda kelahiran Jepara itu dan Empu Tumaji (Besalen Bendowangen).
Di arena pameran keris dan berbagai jenis karya tosan-aji “yasan enggal” lainnya, Joko Prasetyo Utomo menampilkan karya keris dhapur Sengkelat. Keris yang dibuat di tahun 2025 ini sepanjang 38 cm, berpamor “Unthuk Banyu Winengku” dan berbahan besi, baja dan nikel. Warangka atau sarungnya berbentuk “Ladrang Surakarta”, dari bahan kayu “gembol” jati, pendhoknya “bunton” Surakarta.
Keris karya Joko Prasetyo, “deder” nunggak semi dari kayu klengkeng, mendhak/selutnya “Njeruk Keprok” dan “tangguhnya” Kamardikan. Keris “luk” (lekuk) 13 itu, memiliki kelengkapan “ricikan” sekar-kacang dan sebagainya. Dalam penjelasannya, keris karyanya itu mirip jenis keris Sengkelat karya masa lalu yang banyak dipakai para pejabat pemerintah (kraton) sebagai “piandel”.

Dia juga “mempresentasikan” bahwa angka “13” dimaknai sebagai angka yang sudah “sepuh” atau dewasa. Angka satu bermakna sifat “esa” atau tunggal, dan keesaan yang hanya dimiliki Tuhan YME atau Allah SWT. Dan angka 3 adalah simbol keseimbangan hidup yang melukiskan Tuhan YME, manusia dan alam. Sedangkan makna “Unthuk Banyu Winengku”, adalah simbol mencari rezeki, mempermudah relasi, efisiensi dan transendental.
“Kami sedang merintis kepulangan empu muda Joko Prasetyo ke Jepara. Perjalanan kreativitasnya di besalen Karanganyar sepertinya sudah cukup. Ini merupakan empu muda yang akan memperkuat produk perkerisan Jepara. Kami (Pakasa cabang) nanti akan punya dua empu muda, Empu Tumaji dan Empu Joko (Prasetyo Utomo-Red). Sekarang belum mendapat kemenangan tidak apa-apa,” ujar KP Bambang S Adiningrat.
Ketua Pakasa Cabang Jepara itu saat dihubungi iMNews.id lebih lanjut menyatakan, event Jambore Nasional Keris 2025 di Kraton Mataram Surakarta ini, menjadi momentum dan kesempatan yang baik bagi Pakasa Jepara. Karena, Empu Muda Tumaji bisa tampil memamerkan keris karyanya, yang bisa menjadi media pembelajaran bagi semuanya. Begitu juga dengan munculnya Joko Prasetyo Utomo, sangat bermakna di awal “perjumpaannya”.
Walau tak ada yang mendapat predikat juara, tetapi penampilan “dua putra Jepara” itu sangat fenomenal dan membanggakan. Dedikasinya bisa disandingkan dengan peran Andi Tenri Polojiwa (Panre Jiwa), seorang empu dari Kedatuan Luwu yang tinggal di Dusun Lapeccang, Desa Parippung, Kecamatan Barebbo, Kabupaten Bone. Juga dengan Pande Made Subrata yang akrab disapa Beli Mangmong dari Kabupaten Tabanan, Bali.

Ketiganya bisa menjadi ikon perkembangan perkerisan di zaman modern, yang bisa membuktikan bahwa keris yang sudah diakui Unesco sebagai heritage dunia beberapa tahun lalu itu, masih mudah dicari jejaknya di Nusantara.
Sebagai karya tosan-aji, keris kini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Nusantara. Karena, keris dipsoduksi oleh para perajin (besalen) yang tersebar di berbagai wilayah di Nusantara.
Penjelasan perajin keris asal Tanah Bugis, Daeng Andi Tenri saat “ngobrol” dengan iMNews.id di arena Jambore Nasional Keris beberapa waktu lalu, sangat mengesankan. yaitu mengensankan sebagai “pejuang” dalam kekaryaan tosan-aji keris khas Bugis yang dikenal berbahan campuran beberapa logam luar biasa. Terutama, bahan besi baja hasil bumi Tanah Bugis yang nomer satu di dunia, karena kandungan Rondiumnya tertinggi.
Kegiatan Daeng Andi Tenri disebut “dalam perjuangan”, karena membawa keris dan proses produksinya kepada publik secara luas, dianggap masih pantangan bagi sebagaian besar perajin dan pecinta keris, bahkan keluarga besar keturunan Kesultanan Luwu, Bone dan Kesultanan Gowa. Tetapi, empu peserta lomba yang mendapat juara di ajang jambore itu yakin, langkahnya tepat untuk melawan potensi pemusnahan budaya.
“Kalau kearifan lokal seperti produksi keris ini dirusak, berhenti dan hancur, itulah tanda-tanda awal pemusanahan budaya dan peradaban. Kehancuran sebuah bangsa, akan dimulai dari hilangnya kearifan lokal. Jadi, kegiatan saya keluar dari wilayah budaya Bugis untuk mengikuti berbagai ajang diskusi dna lomba perkerisan, salah satu tujuannya untuk itu. Sekarang, saya masih (berjuang) sendirian,” tunjuk Daeng Andi.

Dalam diskusi yang digelar panitia jambore, dihadirkan beberapa narasumber termasuk Daeng Andi Tenri dan Beli Mangmong. Daeng Andi merasa “masih muda” dalam berkarya, tetapi tanah kelahirannya menyimpan potensi karya dan bahan baku keris luar biasa. Sedangkan Beli Mangmong, selain perajin keris, dia adalah sosok muda yang pandai “mempromosikan” dan “mepresentasikan” keris Bali, sikap generasi muda Bali dan kebanggaannya pada keris.
“Saya tidak habis pikir, kalau ada yang mengatakan bahwa keris adalah klenik dan sebagainya. Karena, ketika kita menunjukkan makna filosofi keris, berarti di situ ada silsafat yang berarti kerangka berpikir. Kalau di dalam keris ada alasan kerangka berpikir, maka di situlah letak rasionalitas keris. Jadi, keris adalah produk rasional,” tandas Beli Mangmong sambil memperlihatkan hadiah sebagai juara II. (Won Poerwono-i1)