Banyak yang Terjebak dalam Kemapanan, Banyak Potensi Tokoh Muda “Disia-siakan”
IMNEWS.ID – PERIODE tahun 2023-2025 ini ternyata menjadi periode “ujian berat” bagi kalangan Bebadan Kabinet 2004. Walau sudah lepas dari “suasana tertindas” di periode “jahiliyah” atau “nggladrah” karena ada putusan MA RI No.1006/PK/Pdt/2022 pada 8 Agustus 2024 (iMNews.id, 29/6), tetapi tantangan yang dihadapi masih terasa berat.
Walau sudah banyak dilakukan “wiradat” untuk menjaga kelangsungan kraton sebagai sumber peradaban, tetapi gelagatnya tantangan berat akan tetap ada sampai tahun Jawa berganti Dal 1959 hingga ke depan. Tak kalah beratnya dibanding tahun-tahun sebelumnya, walau segalanya menjadi jelas di mata hukum adat dan hukum positif.
Sampai berlangsung upacara adat kirab pusaka di malam 1 Sura, 26 Juni (iMNews.id, 27/6), riak-riak yang menjadi sisa berlakunya putusan Mahkamah Agung (MA) itu masih ada. Tetapi, itu justru menunjukkan proses seleksi telah berjalan baik, dan figur-figur yang berpotensi “merusak”, secara tidak langsung sudah tersisih.
Figur-figur yang berpotensi “merusak” menjadi kelihatan jelas berkumpul menjadi satu di “seberang”, sebagai tempat bersekutunya para “The wrong man” dan “The wrong place”, serta semua yang kurang beruntung karena sifat “merusaknya”. Mulai dari “Trio Wek-wek”, eks “pimpinan sanggar”, oknum penggelap setoran Sekaten dan lain-lainnya.

Bila disebut lagi, masih ada oknum diduga pelaku “tabrak lari” yang “nyesel gabung NKRI”, juga para “terhukum” penyalahgunaan SK Kemendagri No.430-2933 tahun 2017, oknum pelapor fitnah ke Polda Jateng dan sebagainya. Tetapi memang, yang bergabung di Bebadan Kabinet 2004 juga ada oknum Pakasa “penggelap” uang cat Rp 50-an juta.
Masa transisi menuju “kepatuhan” putusan Mahkamah Agung (MA) yang sudah mengembalikan otoritas Lembaga Dewan Adat (LDA) di Kraton Mataram Surakarta, sudah banyak dimaknai dalam peristiwa menyambut Tahun Baru Jawa Dal 1959/Tahun Baru Islam 1447 Hijriyah ini. Selain berbagai elemen yang berperan, juga para figur generasi mudanya.
Setelah terseleksi melalui masa transisi sekarang ini, memang sudah kelihatan sejumlah figur generasi muda yang tampak bersiap meneruskan tongkat estafet di Mataram Surakarta. KGPH Hangabehi (putra tertua Sinuhun PB XIII) dan beberapa adik dari kalangan wayah-dalem Sinuhun PB XII, sudah memperlihatkan potensi kapasitasnya.
Selain KGPH Hangabehi (Pengageng Museum, Pagelaran, Alun-alun), di situ juga ada KPH Bimo Djoyo Adilogo (Pengageng Bupati Juru-Kunci Imogiri), KRMH Suryo Manikmoyo, KRMH Suryo Kusumo Wibowo (Wakil Pengageng Sasana Prabu), BRAy Arum Kusumapradopo dan KRMH Cici Suryo Triyono (dwijo sanggar) yang sudah mumpuni dalam kerja adat.

Masih ada beberapa figur yang bisa diharapkan bergabung, meskipun belum kelihatan bekal kapasitasnya. Tetapi, minimal figur-figur itu bukan model “perusak” atau yang membuat pusat peradaban itu tidak mengalami degradasi keadabannya. Karena, kalangan elemen daya dukung lain sudah banyak yang mulai terseleksi dan siap melegitimasi.
Kalangan elemen legitimatif itu adalah ribuan warga Pakasa cabang yang tersebar di berbagai daerah yang sangat jauh, sampai di cabang Denpasar (Bali). Juga elemen Pasipamarta dan Sanggar Pasinaon Pambiwara, elemen Sanggar Paes Tata-Busana yang dipimpin GKR Ayu Koes Indriyah, elemen Putri Narpa Wandawa dan elemen Senapati Mataram.
Sebenarnya ada elemen paguyuban di “seberang” yang punya potensi daya dukung banyak, tetapi rata-rata tidak diedukasi berorganisasi dengan baik dan malah “teracuni” oleh “pragmatisme sesat”. Masih bermanfaat elemen kalangan “relawan” yang pernah membantu saat kerja-bhakti resik-resik kraton di awal Gusti Moeng masuk kraton.
Elemen relawan seperti Hamid Al Ichsan (25) asal Wedi, Klaten, adalah satu di antara 50-an generasi muda pecinta yang peduli Kraton Mataram Surakarta. Mereka berombongan sangat rajin ikut gelombang resik-resik kraton yang diinisiasi Gusti Moeng di awal 2023, hingga mendukung kirab pusaka di malam 1 Sura, Kamis (26/6).

“Secara pribadi, saya ikut kirab pusaka sudah beberapa kali sejak 2023. Saya sangat senang dan bangga menjadi bagian Kraton Mataram Surakarta. Walaupun status saya hanya relawan, yang datang ke kraton karena mendengar ada kegiatan atau upacara adat. Untuk saya pribadi dan beberapa teman, rasanya sudah menjadi kewajiban”.
“Kemarin saya bersama 40-an teman-teman yang semuanya generasi muda. Ada yang seasal dengan saya, dari Wedi (Klaten). Tetapi ada dari lain kecamatan. Saya merasa, sowan ke kraton seperti sudah menjadi kewajiban. Mudah-mudahan, ada kawula muda lain yang tertarik membantu kraton,” ujarnya saat dihubungi iMNews.id, kemarin.
Hamid Al Ichsan, adalah mahasiswa di sebuah universitas di Jogja yang tinggal menunggu wisuda. Walau kelak harus bekerja di luar kota, tetapi akan berusaha hadir di kraton, khususnya di upacara-upacara adat, walau setahun hanya 1-2 kali. Namun sayang, potensi daya-dukung seperti ini tidak bisa tertampung di Pakasa Klaten.
Kalau di Kecamatan Wedi lahir 50-an generasi muda yang punya inisiatif mandiri bergabung ke Kraton, seharusnya menjadi peluang yang baik bagi pengurus Pakasa Klaten. Karena, generasi produktif usia 25-an tahun inilah, menjadi potensi handal untuk pengembangan Pakasa cabang, baik jumlah anggota maupun kepengurusan anak-cabang.

Tetapi, rupanya pengurus Pakasa Cabang Klaten merasa sudah “nyaman” dengan posisinya dan dukungan anggota yang rata-rata di atas 40 tahun itu. Ini berarti, pengurus tidak sadar ada batas akhir “daya tahannya”, yang sangat “berbahaya” bagi kelangsungan sebuah organisasi. Suasana seperti itu juga terjadi di cabang-cabang lain.
banyak pengurus cabang Pakasa lain yang “khilaf” karena merasa nyaman posisinya dalam berbagai predikat dan sebutan. Tetapi, kurang paham bahwa organisasi harus dikembangkan, usia (produktif) manusia ada batasnya, regenerasi harus dilakukan dan daya dukung legitimatif terhadap kraton harus terus dijamin kelangsungannya. (Won Poerwono – bersambung/i1)