KP Budayaningrat Menunjukkan Makna Keris dalam Busana Adat
SURAKARTA, iMNews.id – Banyaknya aturan dalam tatacara berbusana adat Jawa sampai ke detil-detilnya, menurut KP Budayaningrat menunjukkan bahwa di situlah letak ciri-ciri yang beradab. Karena budaya berarti “woh pangolahing budi” yang selalu dibatasi oleh aturan-aturan yang menjadi ciri peradabannya.
“Maka, betul sekali dalam Budaya Jawa, tatacara berbusana saja banyak sekali aturannya. Mengenakan keris dalam budaya Jawa apalagi sebagai seorang abdi-dalem di Kraton Mataram Surakarta, tidak asal mengenakan. Dalam keperluan apa saja ada aturannya, dan semua ada makna filososinya. Jarik motif parang dan lereng, hanya dikenaka raja dan keluarganya”.
“Jadi, mengenakan semua bagian dari busana adat Jawa secara keseluruhan itu, tidak asal memakai. Semua ada aturannya, karena masing-masing punya makna filosofinya. Bukan karena punya banyak uang, lalu mengenakan komponen busana adat yang tak selaras dan tak sesuai dengan gelar tata lahir. Karena Budaya Jawa adalah peradaban tinggi”.
“Setiap bagian dari keseluruhan harus dijumbuhkan atau disesuaikan dengan ‘gelar tata lahir’ atau wujud fisik, keadaan/kondisi dan posisinya. Karena, masing-masing sudah ada aturannya,” tandas KP Budayaningrat yang menunjuk busana yang dikenakan KRT Rawang Gumilar Lebdocarito, seorang abdi-dalem di kraton yang juga seorang seniman dalang.

KP Budayaningrat adalah seorang “dwija” di Sanggar Pasinaion Pambiwara Kraton Mataram Surakarta, yang ditampilkan panitia “Jambore Nasional Keris 2025” sebagai narasumber dalam Diskusi Budaya yang digelar hari kedua, Selasa (24/6), siang tadi. Pakar budaya dari kraton itu, hingga kini masih banyak digunakan sebagai “think thank” di berbagai organisasi.
Selain dia, KGPH Hangabehi juga tampil sebagai narasumber dari kraton. Tak hanya dua tokoh penting dari kraton itu, KRA Joko Murdianto (Ketua Pakasa Cabang Kota Bekasi) yang juga pihak sponsor, menjadi narasumber mewakili Pakasa bersama seorang wakil dari Paguyuban Tosan Aji Nusantara, sedangkan Dayu Handoko (Pataka Bumi Lawu Karanganyar) sebagai moderator.
KGPH Hangabehi (Pengageng Museum, Pagelaran dan Alun-alun) mewakili Kraton Mataram Surakarta dalam kerjasama event itu, selaku salah seorang narasumber menegaskan dukungannya terhadap event “Jambore nasional Keris 2025”. Menurutnya, event itu harus berlanjut dan kraton akan mendukung, karena keris harus memberi nilai fungsi maksimal.
Dalam diskusi itu, Dayu Handoko banyak menanyakan mengenai riwayat dan latar-belakang eksistensi organisasi Pakasa. Bahkan juga ditanyakan, apakah mungkin Pakasa cabang dibentuk di luar wilayah Surakarta dan apa saja syarat-syarat membentuk cabang dan menjadi anggotanya. Menanggapi itu, KRA Joko Murdianto menyebut Pakasa Kota Bekasi adalah cabang termuda.

Tetapi menurut KGPH Hangabehi, untuk membentuk pengurus cabang Pakasa di kota manapun bisa, tidak hanya di dalam wilayah Surakarta. Syarat-syaratnyapun sangat mudah, yang penting warga NKRI. Jawaban ini berkait dengan pertanyaan yang diajukan peserta diskusi dari Tengger, Bromo, Kabupaten Pasuruan yang pernah mengajukan permohonan pembentukan cabang, tetapi belum tahu caranya.
Diskusi ini menjadi berkembang dan menarik ketika muncul pertanyaan dari beberapa peserta. Ahmadi dari Yayasan Ki Ageng Penjawi (Kabupaten) Pati misalnya, menanyakan sudah ada beberapa undang-undang yang dikeluarkan negara untuk melindungi budaya. Tetapi, mengapa sampai sekarang tidak terasa pengaruh dan pelaksanaannya di daerahnya.
Dalam kesempatan dikusi itu, Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat di Jogja) juga tampil, bukan bertanya tetapi ikut memberi penjelasan. Yaitu tentang perjalanan Kraton Majapahit (abad 14) yang akhirnya berhenti di Kraton Mataram Surakarta. Menurutnya Sinuhun PB II memindahkan Ibu Kota dari Kartasura 17 Sura 1670 atau 20 Februari, sebagai hari jadi Kota Surakarta.
“Tanggal 20 Februari itu adalah Hari Jadi Kota Surakarta. Bukan 17 Februari, salah besar. Kalau tanggal 17 Sura Tahun Je 1670 Sinuhun PB II mendeklarasikan Surakarta untuk menggantikan nama Desa Sala, tanggal masehinya 20 Februari. Wali Kota atau Pemkot Surakarta perlu merevisi ini,” ujar Dr Purwadi sambil menimpali usulan penanya asal Tengger, Bromo, bahwa Pakasa Cabang Tengger harus terwujud.

Para narasumber lain dan para peserta diskusi dan semua yang sedang sibuk di stan-stan pameran Jambore Nasional Keris di sekitar tempat diskusi, banyak yang merasa baru tahu dan tampak memperhatikan ketika KP Budayaningrat berbicara. Terutama saat mengulas semua bagian yang dikenakan KRT Rawang Gumilar sebagai model, yang tampil dengan busana adat Jawa gaya Surakarta komplet.
Semua yang dijelaskan dwija itu adalah buasana adat Jawa sebagai abdi-dalem di Kraton Mataram Surakarta. Karena ada seorang peserta yang bertanya, kain batik jenis parang atau lereng tidak boleh dikenakan sembarang orang, bagaimana penjelasannya?. Menurutnya, dua jenis morif batik itu hanya boleh dikenakan raja dan keluarganya di dalam kraton.
“Itu kalau di dalam kraton. Semua abdi-dalem yang sowan ke kraton, dilarang mengenakan dua motif batik itu. Tetapi kalau di luar ingin mengenakan, silakan saja. Bebas. karena kain batik motif itu dijual bebas di mana-mana, termasuk di Pasar Klewer. Tetapi kembali lagi, orang jawa memiliki peradaban tinggi. Orang beradab harusnya tahu itu,” tandasnya.
Soal pemakaian keris yang terutama yang berkait dengan posisinya, sangat menjadi perhatian kalangan peserta diskusi dan hampir semua yang ada di sekitar panggun diskusi, termasuk yang sedang berdagang keris. Karena, pengetahuan tentang itu jarang sekali diedukasi kepada masyarakat luas, bahkan sangat tertutup hingga benda keris seolah hanya sebagai komoditas kurang jelas maknanya.

KP Budayaningrat menunjuk, kalau mengenakan keris “ladrang” seperti yang dikenakan KRT Rawang, dalam posisinya tiga jari di atas “stagen”, berarti untuk sowan Raja. Kalau dibalik permukaannya dari kiri ke kanan, maknanya sudah lain. kalau berdiri tegak di tengah, pasti ada keperluan khusus. Kalau kepalanya di pinggang kiri, ada istilah “nyothe” dan “munyuk ngilo”, itu juga punya makna sendiri.
Soal busana, dia juga memberi penjelasan, baik soal “wiron” maupun posisinya yang tepat dikenakan bagi pria dan wanita. Soal tanda kepangkatan yang menempel di leher beskap yang disebut “krah pasanten”, itu menandakan urutan kepangkatan. Soal “blangkon” juga dijelaskan, kalau abdi-dalem sampai pangkat “KRAT” harus mengenakan “cekok mondhol”. Untuk KRA ke atas, bisa “blangkon jebehan”. (won-i1)