Mengapa Terlalu Mudah Menetapkan yang Gugur “Dalam Suasana Perang” Jadi Pahlawan? (seri 2 – Bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 11, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Mengapa Terlalu Mudah Menetapkan yang Gugur “Dalam Suasana Perang” Jadi Pahlawan? (seri 2 – Bersambung)
GAYA JAWA : Walau bangunan menara tempat mengumandangkan adzan campuran antara gaya negara barat dan Timur-tengah, tetapi secara keseluruhan gaya arsitektur bangunan kagungan-dalem Masjid Agung karya PB II, III dan IV itu memiliki teknik kapujanggan lengkap dan final dalam makna filosofinya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Pusat Studi Teknik Kapujanggan” yang “Menuntun” FT UST ke Kraton Mataram Surakarta

IMNEWS.ID – KALAU dalam seri artikel sebelumnya disebut dalam dua hari, Senin (5/5) dan Selasa (6/5) merupakan saat terjadinya peristiwa bersejarah bagi kraton, lembaga Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Jogja khususnya Senat Fakultas Teknik (FT) dan publik secara luas, itu adalah rangkaian yang melatar-belakangi sebagai sebuah proses secara utuh.

Yaitu rangkaian bertemunya keluarga besar Senat FT UST Jogja dengan Kraton Mataram Surakarta, mengingat pertemuan antara dua pihak ini terhitung luar biasa dan paling “istimewa”. Karena, dalam perjalanan bermitra dengan lembaga perguruan tinggi, kraton sudah sering melakukan dengan banyak lembaga dan di berbagai bidang tetapi kadarnya “biasa-biasa” saja.

Dengan UNS 11 Maret misalnya, tentu akan melahirkan kesan lebih dari luar biasa dan “lebih istimewa”, karena lembaga universitas negeri itu sama-sama berada di Kota Surakarta. Tetapi faktanya tidak demikian, karena yang terjadi justru sebaliknya. Universitas yang pernah “dilahirkan” dan “dibesarkan” Kraton Mataram Surakarta itu, malah terkesan “durhaka”.

GODHONG KLUWIH : Hampir semua gaya arsitektur bangunan utama masjid khas peninggalan Mataram terutama Mataram Surakarta, selalu bergaya “Joglo” dengan pendapa dan ada hiasan mahkota berisi ornamen menyerupai “Godhong Kluwih” di puncak “kubahnya”. Ini adalah gaya khas Jawa penuh nilai “kapujanggan” yang nyaris punah. (foto : iMNews.id/Dok)

“Ini memang sebuah keajaiban. Terasa ada yang menuntun untuk memperkenalkan UST (Unsarwi), bertemu dan mendekat ke Kraton Mataram Surakarta. Hanya dalam waktu setengah tahun keduanya bisa bertemu, saling mengenal dan bersapakat bekerjasama. Memang tidak mudah menemukan lembaga seperti UST dan senat FT-nya yang responsif seperti itu,” ujar Dr Purwadi.

Ketua Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi, selain sempat berucap kepada iMNews.id saat mendampingi rombongan Senat FT UST yang dipimpin Dekan FT Dr Iskandar Yasin melapor kepada Gusti Moeng (iMNews.id, 6/5), juga ada pengakuan jujur Dekan FT itu. Saat konferensi pers dengan para wartawan di eks Kantor Sinuhun PB XI, ditegaskan peran Dr Purwadi dalam proses itu.

Memang bukan semata-mata ada yang membantu lalu bisa bertemu, tetapi bertemunya kraton dengan Senat FT UST benar-benar tampak kesesuaian yang lahir karena ketulusan dan keikhlasan masing-masing. Yang jelas, sesuatu yang hendak dicapai kraton itu bukan sebagai “ambisi pribadi” tokoh tertentu dan lembaganya, tetapi rasa keadilan yang sepantasnya diterima kraton.

KONSTRUKSI JAWA : Bagian dalam kagungan-dalem Masjid Agung Jatisaba di Desa Jatisobo, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo, masih terlihat teknik konstruksi yang mempertahankan nilai-nilai teknik “kapujanggan” yang lekat dengan budayanya, khas Jawa yang bermakna filosofi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Rasa keadilan” yang seharusnya diterima kraton dengan datangnya kepedulian Senat FT UST Jogja mengusulkan gelar Pahlawan nasional untuk Sinuhun PB XII, sangat beda dengan beberapa usulan untuk itu dan nama-nama tokoh yang sudah ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, jauh lebih dulu. Karena, pengusulan untuk PB XII terkandung nilai objektivitas sangat tinggi.

Maka tidak salah bahkan tepat sekali, Dr Purwadi memilih Senat FT UST Jogja untuk melakukan proses dari penelitian, pemahaman hingga pengusulan gelar pahlawan nasonal itu. Mengingat, FT UST Jogja punya bidang studi “Teknik Kapujanggan” yang medan penelitiannya terbuka luas dan original milik dan di bawah otoritas Kraton Mataram Surakarta.

“Perjodohan” antara Unsarwi (UST) Jogja dengan kraton, lebih rasional dimulai dari keberadaan lembaga Pusat Studi Teknik Kapujanggan yang dimiliki fakultas teknik universitas itu. Lembaga ini melakukan pendekatan ke kraton untuk melakukan studi kepustakaan atau penelitian naskah yang berisi pengetahuan tentang nilai-nilai “kapujanggan” bangunan secara teknis.

PENDAPA SITINGGIL : Bangunan Pendapa Sitinggil Kidul di bagian selatan dari struktur peta kawasan Kraton Mataram Surakarta, tetap dipertahankan gaya arsitektur aslinya khas Jawa, sarat teknik “kapujanggan” yang punya makna filosofi lengkap dan final sesuai peradaban/budayanya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dari situlah pendekatan dimulai, di saat studi tentang teknik “kapujanggan” secara keilmuan masih langka dilakukan di kalangan perguruan tinggi. Bila benar, itu berarti artinya FT Unsarwi Jogja adalah “pioner” pusat studi dan bidang studi teknik “kapujanggan” di Tanah Air. Bila itu benar pula, publik secara luas “patut mendorongnya” agar semakin berkembang.

Ketika dianalisi, soal teknik “kapujanggan” mungkin sudah banyak diketahui di kalangan perguruan tinggi yang punya bidang studi teknik arsitektur dan sipil. Karena, di dalamnya pasti bersentuhan dengan teknik konstruksi bangunan gedung dan sebagainya. Tetapi, hal-hal yang menyangkut nilai-nilai “kapujanggan” tak dipelajari sebagai bidang khusus karena berbagai sebab.

Tetapi ketika FT Unsarwi Jogja punya lembaga “Pusat Studi Teknik Kapujanggan”, di situlah ada pengkristalan nilai-nilai  “kapujanggan” menjadi pengetahuan tentang konstruksi bangunan yang mencerminkan tingginya peradaban/Budaya Jawa. Kalau ada istilah teknik “tumpang-sari” dalam konstruksi atap hampir semua bangunan gaya Jawa terutama di kraton, itulah contohnya.

TEKNIK “TUMPANGSARI” : Teknik konstruksi “tumpangsari” yang digunakan dalam struktur bangunan Jawa seperti Pendapa Joglo ndalem Sasana Mulya di Kraton mataram Surakarta, adalah contoh konstruksi yang termasuk kategori memiliki nilai teknik “kapujanggan” yang tinggi. Karena, semua ada makna filosofinya bagi kehidupan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pengetahuan tentang konstruksi bangunan Jawa yang memiliki teknik “kapujanggan”, tak hanya sekadar kehebatan teknik konstruksinya, tetapi ada pula nilai-nilai nonfisik atau nonteknisnya, yaitu makna filosofinya yang sering menjadi simbol penting dalam kehidupan peradaban masyarakat Jawa. Bila arah ini benar, Pusat Studi Teknik Kapujanggan jelas “pionernya”.

Soal teknik “kapujanggan” menjadi ilustrasi secara khusus seri tulisan ini, karena spesifikasi bidang studi di FT UST Jogja tak akan ada duanya di Tanah Air. Unsarwi menjadi lembaga yang tepat jadi mitra Kraton Mataram Surakata dalam upaya pelestarian Budaya Jawa, yang berarti semakin terbuka luas jalan upaya pelestarian Budaya Jawa bagi publik secara luas.

Peradaban Jawa yang sudah sangat tinggi ketika Islam masuk ke Pulau Jawa (abad 14), salah satunya bisa dilihat dari nilai-nilai teknik “kapujanggan”. Walau kebanyakan bangunan yang tersisa kini adalah persesuaian antara gaya arsitektur Prancis, Belanda, Italia dan Jawa, tetapi nilai-nilai “kapujanggan” tetap muncul di sana dengan makna filosofinya. (Won Poerwono – bersambung/i1)