Harus Diakui, Banyak “Potensi” Penyimpangan di Cabang tak Terpantau Punjer
IMNEWS.ID – SAMPAI di penghujung bahasan soal momentum “Ultah Sewindu Istana Mataram” yang digelar para tokoh pendirinya Minggu (13/4) lalu, ada banyak hal yang muncul ke permukaan. Kebetulan, kini menjadi saat yang baik untuk mencermati riwayat lahirnya “skoci komunitas” Istana Mataram, juga Pakasa yang ternyata menjadi pengisi mayoritas “skoci” itu.
Karena di satu sisi Pakasa adalah mayoritas pengisi “skoci komunitas penyelamat” dan menjadi elemen Lembaga Dewan Adat (LDA) yang berkembang sebagai daya dukung kraton serta pelestarian Budaya Jawa di sisi lain, maka ketika ada evaluasi dan langkah-langkah konsolidasi ke dalam, perlu didorong dan dikawal. Untuk keperluan itu, butuh Pakasa yang berkualitas.
Upaya pembenahan organisasi seperti yang sedang berjalan mulai dari Punjer hingga cabang-cabang di berbagai daerah belakangan ini, perlu didorong dan dikawal. Pakasa sebagai elemen daya dukung legitimatif kraton dan LDA serta “petugas” pelestarian Budaya Jawa di cabang, butuh pengurus yang “sehat”, berkualitas dan butuh kontrol “kinerja” yang dinamis.

Persoalan “pengurus” Pakasa yang “sehat” dan “berkualitas” terutama di tingkat cabang, inilah yang perlu mendapat perhatian ekstra. Dan persoalan Pakasa yang sehat dan berkualitas itu, ada sebuah realitas yang selalu menyertai riwayat keberadaan Pakasa, dari kelahiran hingga pertumbuhan dan perkembangannya yang begitu pesat dalam waktu yang cukup singkat.
Sebagai ilustrasi, Pakasa yang lahir karena diinisiasi Sinuhun PB X di tahun 1931, belum ditemukan data yang menyebut punya struktur sampai ke “pang-pang” atau cabang seperti sekarang. Ketika “dibangkitkan” lagi untuk mendukung jumenengnya Sinuhun PB XIII menjelang 2004, barulah ada cabang di daerah terutama di wilayah wilayah eks Karesidenan Surakarta.
Pakasa cabang berkembang sangat pesat hingga kini tercatat 40 lebih pengurus cabang yang ditetapkan, baru terjadi dalam dua dekade terakhir mulai sebelum 2017. Perkembangan pesat seperti ini, terjadi ketika KPH Edy Wirabhumi sebagai Pangarsa Punjer saat Gusti Moeng memimpin jajaran Bebadan Kabinet 2004 sejak 2004, yang disusul penguataan Lembaga Dewan Adat.

Dalam perkembangan yang bergitu pesat dan semakin besar jumlah cabang beserta anggotanya, sangat rasional apabila skal persoalan yang menyertainya juga bertambah banyak. Apalagi, beban tugas Pakasa Punjer yang belum bisa diperkuat akibat tersedot oleh “guncangan” yang beberapa kali menimpa kraton, membuat kontrol dan pengawasan pada cabang-cabang juga lemah.
Tetapi, “lemahnya” kontrol dari Punjer itu bukan berarti harus “dimaknai” sebagai pembenaran atas berkembangnya cabang dengan pertambahan skala permasalahan yang muncul. Karena sudah berkal-kali, KPH Edy Wirabhumi menyebut nama KGPH Hangabehi menjadi sosok figur yang akan ikut memperkuat Punjer, karena KPH Edy punya tugas sebagai Ketua Umum DPP MAKN.
Beban tugas sebagai Ketua Umum DPP MAKN, memang dirasa semakin berat karena organisasi wadah lembaga kraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat itu juga dituntut berkembang, misalnya pembentukan DPD MAKN di tingkat provinsi dan sebagainya. Pengalaman di MAKN, jelas pengalaman sangat berharga dan menambah penuh kapasitas KPH Edy dalam memimpin organisasi.

Bahkan tak hanya Pakasa yang dipahami, digeluti dan dipimpin mulai 2004, KPH Edy Wirabhumi yang kini menjadi Pimpinan Eksekutif Lembaga Hukum Kraton (Mataram) Surakarta (LHKS) sudah kenyang pengalaman berorganisasi dan memimpin organisasi. Karena, pernah berpengalaman memimpin partai politik di tingkat cabang (DPC) Surakarta, pada periode 2009-2014.
Dengan kapasitas pengalaman berorganisasi dan memimpin organisasi sepenuh itu, KPH Edy memang sudah terbukti mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Tetapi, perkembangan Pakasa yang begitu pesat dan tuntutan tugas sebagai Ketua Umum DPP MAKN, memang sangat rasional apabila butuh hadirnya para tokoh yang “relevan” untuk memperkuat pengelolaan Pakasa di satu sisi.
Di sisi lain, karena perkembangan Pakasa belum diimbangi dengan mekanisme kontrol yang kuat oleh posisi pengurus Punjer belum kuat, banyak permasalahan Pakasa bermunculan di canag-cabang “tak terpantau”. Mungkin karena hanya “sayup-sayup” akibat “bisikan sepihak”, atau “aroma penyimpangannya” tidak “tercium”/terdekteksi Punjer karena mekanisme kontrol lemah.

Di antara beberapa indikator persoalan yang antara lain jenisnya “penyimpangan”, suhu pengurus Pakasa Cabang Pati yang kini mulai “memanas” itu bisa menjadi salah satu contohnya. “Mosi tidak percaya” beberapa organ pengurus dan para sesepuh terhadap cara-cara “top leader” memimpin, mungkin belum diterima wutuh informasinya oleh pengurus Punjer di Surakarta.
Punjer lebih memandang “top leader” sebagai ketua yang setia, tetapi belum melihat bagaimana yang bersangkutan sulit menempatkan diri sebagai koordinator pada setiap agenda kegiatan adat di cabangnya, walau sudah berjalan bertahun-tahun. Sehingga yang selalu muncul kebijakan yang “berseberangan” saat menjalankan event, antara pamong makam dan Pakasa cabang.
“Memanasnya” persoalan di cabang itu saja, sudah melukiskan bahwa pengalaman berorganisasi dan memimpin organisasi itu “sangat penting” dan “mutlak” dimiliki tiap “top leader”. Agar tidak muncul kabar “lucu” tentang “top leader” yang meminta kraton “mencabut” gelar kekerabatan “temannya”, karena kesalahannya belum jelas dan permintaan itu jelas bukan haknya. (Won Poerwono – habis/i1)