Tetapi Kraton Juga “Menyumbang” Ritual Serupa di Sriwedari
SURAKARTA, iMNews.id – Kamis (20/3) semalam, jajaran Bebadan Kabinet 2004 Kraton Mataram Surakarta menggelar upacara adat hajad-dalem “Malem Selikuran” di “tempat asalnya”, yaitu kagungan-dalem Masjid Agung. Ritual menyambut “Lailathu Qadar” atau “Turunnya Wahyu Illahi” ini, tepat pada malam tanggal 21 dan bulan sesuai kalender Masehi, Jawa sekaligus Hijriyah.
Kelender hitungan waktu yang sangat langka bagi pelaksanaan upacara adat Jawa, yang bisa berkesesuaian atau tepat sama antara tanggal dan bulan dari tiga kalender sekaligus. Yaitu tanggal 20 atau malam tanggal 21, bulan Pasa atau Ramadhan di tahun Jawa Je 1958, 1446 Hijriyah dan 20-21 Maret 2025.

Malam peringatan menyambut turunnya Nabi Muhammad SAW setelah menerima Wahyu Illahi dari Gunung Jabal Nur, semalam, termasuk langka dan luar biasa. Selain Bebadan Kabinet 2004 memnggelar sendiri hajad-dalem Malem Selikuran di “tempat asalnya”, kagungan-dalem Masjid Agung, kraton masih bisa “menyumbang” acara ritual serupa di Taman Sriwedari, lebih awal.
“Sumbangan” berupa ritual itu, disebut-sebut Gusti Moeng baik saat diwawancarai para awak media sambil berjalan dari halaman Kamandungan menuju Masjid Agung, maupun saat memberi sambutan. Pidato sambutan Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) menutup seluruh rangkaian ritual di Masjid Agung, antara lain menyinggung “sumbangan” kraton itu.

Baik menjawab pertanyaan para wartawan dan saat memberi sambutan, menurut Gusti Moeng ritual hajad-dalem Malem Selikuran “ditarik” kembali ke “tempat asalnya” di Masjid Agung, karena Taman Sriwedari “sudah tidak ada”. Taman Sriwedari yang menggantikan nama “Kebon Raja” di alam republik, sejak 20-an tahun lalu sudah tidak ada, berubah jadi “masjid mangkrak”.
Karena Taman Sriwedari sudah “dihapus” fungsi dan makna filosofinya, maka ritual hajad-dalem Malem Selikuran ditarik kembali dan digelar di “tempat asalnya”, kagungan-dalem Masjid Agung. Sinuhun PB X (1893-1939) memindah ritual menyambut “Malam Seribu Bintang” dengan nama “Maleman Sriwedari” itu, dimaksudkan untuk meramaikan Kebon Raja sebagai objek wisata.

“Jadi, karena Taman Sriwedari sudah tidak ada (dihapus-Red), maka upacara adat Malem Selikuran ini kami tarik kembali dan diadakan di tempat asal semula, kagungan-dalem Masjid Agung. Dan sebenarnya ketika di zaman republik (rezim Orde Baru-Red) meneruskan Maleman Sriwedari, seharusnya ritual yang di Masjid Agung tetap diadakan. Bukan ditiadakan”.
“La, Malem Selikuran yang di Sriwedari sekarang, ‘kan bukan kraton yang mengadakan. Kraton malah berpartisipasi menyumbang upacara adat itu. Karena Pemkot yang menyelenggarakan, maka yang membiayai Pemkot. Kalau di sini ‘kan mandiri, berswadaya. La, Malem Selikuran yang di Masjid Agung inilah yang berada di tempat asal mulanya,” tandas Gusti Moeng.

Malem Selikuran di malam yang luar biasa selain beberapa indikator di atas, karena semalam juga ada keterlibatan kalangan pengurus takmir masjid dan mushola se-Kelurahan Baluwarti. Walau keterlibatannya kurang tampak saat kirab keliling lingkar Baluwarti, ada belasan perwakilan takmir masjid dan mushola yang menerima cinderamata Alqur’an dari Gusti Moeng.
Mulai pukul 21.50 donga wilujengan upacara adat hajad-dalem “Malem Selikuran” baru dimulai di kagungan-dalem Masjid Agung. Donga wilujengan dipimpin abdi-dalem jurusuranata RT Irawan Wijaya Pujodipuro, yang didampingi 20-an abdi-dalem “Kanca-Kaji” dari IAIN Ponorogo, Pakasa Cabang Kudus, Pakasa Jepara, Pakasa Pati dan Pakasa Cabang Kabupaten Grobogan.

Sebelum doa dilakukan, didahului serah-terima uba-rampe hajad-dalem Malem Selikuran oleh KPP Suryo Danurwendo selaku pimpinan utusan-dalem kepada M Basit selaku pengurus takmir kagungan-dalem Masjid Agung. “Dhawuh” untuk memimpin doa, juga dilakukan KPP Suryo Danurwnedo kepada RT Irawan Wijaya, yang disaksikan lebih seribu berbagai elemen masyarakat adat.
Mengakhiri upacara adat di Masjid Agung, semua yang hadir “Ngalab Berkah” mendapatkan “setakir” nasi gurih atau “sega wuduk” bersama lauknya. Banyak yang membawa pulang nasi khas ritual itu, tetapi banyak pula yang langsung menyantap bersama-sama di tempat. Ada beberapa figur ketua di antara 22 pengurus Pakasa cabang yang kelihatan ikut “ngalab berkah”.

KRRA Panembahan Didik Alap-alap Gilingwesi Singonagoro salah satu yang kelihatan, bersama sang ibu, Nyi MT Hj Tarmini Budayaningtyas (86) dan rombongan 13 orang. Mereka ikut kirab keliling di dalam Baluwarti sejauh 1,5 KM tanpa alasa kaki, yang menurut Ketua Pakasa Kudus yang justru ikut mempercepat kesembuhan sakit punggung yang membuatnya lumpuh setahun.
Selain Ketua Pakasa Kudus, ada dua tokoh ketua dari Ponorogo KP MN Gendut dan dari Pati KRAT Mulyadi, ngobrol asyik di pinggir jalan bersama putra mahkota KGPH Hangabehi, saat hendak pulang. KRT Suyono Adiwijoyo (Ketua Harian Pakasa Ngawi), KRAT Sukoco (Ketua Pakasa Nganjuk), KRAT Seviola (Pektua Pakasa Trenggalek) dan KP Probonagoro (Klaten) juga tampak hadir. (won-i1)