Heboh “Penyesalan” Pihak yang Tak Berwenang, Rasa Keadilan Bagi Kraton Jadi Persoalan (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 6, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:10 mins read
You are currently viewing Heboh “Penyesalan” Pihak yang Tak Berwenang, Rasa Keadilan Bagi Kraton Jadi Persoalan (seri 2 – bersambung)
DI BALIK PANGGUNG : Di balik bangunan Panggung Ngindra yang termasuk bagian depan kompleks wilayah kedhaton Kraton Mataram Surakarta, adalah kompleks Sasana Putra yang menjadi kediaman Sinuhun PB XIII dan keluarga kecilnya, termasuk figur yang sedang merasa "Nyesel Gabung Republik". (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kehidupan Psikologis Figur yang Sedang “Nyesel”, Berkembang di Lingkungan “Pasar Gelap”

IMNEWS.ID – KARENA hingga kini tak ada klarifikasi dan penjelasan pihak yang bertanggung-jawab soal cuitan berjudul “Nyesel Gabung Republik”, maka penilaian dan kesimpulan atas ekspresi dalam video yang menjadi viral di medsos itu bisa sangat beragam. Kesimpulan yang paling sederhana dan sesuai dengan kondisi psikologis figur yang “nyesel”, adalah “asal ngomong”.

Kesimpulan yang mungkin masih sementara itu, didasarkan atas usia, temperamen dan kondisi psikologis figur yang disebut masih berstatus mahasiswa. Kemudian, juga bisa dilihat bagaimana situasi dan kondisi lingkungan sosialnya, terutama dalam keluarga kecilnya di Sasana Putra Kraton Mataram Surakarta, terlebih dalam kurun waktu satu dekade terakhir.

Ketika publik mempersoalkan ekspresi yang mencerminkan sikap pribadi figur yang merasa “Nyesel Gabung Republik”, lebih proporsional jika publik mau melihat riwayat pribadi tokoh itu selama tumbuh dewasa dalam satu dekade terakhir. Publik pasti akan punya dasar-dasar penilaian lebih meyakinkan, setelah melihat latar-belakang pribadi yang sedang “Nyesel”.

Karena, lingkungan sosialnya sangat terbatas, di keluarga kecilnya di Sasana Putra Kraton Mataram Surakarta dan teman-teman dekatnya saja. Misalnya, seperti sering yang sering tampak pada foto/video diunggah ke medsos, kesan akrab bersama tokoh dari Kadipaten Mangkunegaran dan Gibran Rakabuming sejak masih menjabat Wali Kota Surakarta (kini Wapres RI-Red).

SASANA PUTRA : Para awak media saat hendak meminta klarifikasi kepada Sinuhun PB XIII atau otoritas di Sasana Putra pada insiden “Gusti Moeng Tersekap di Keputren”, beberapa tahun lalu. Kediaman Sinuhun dan keluarga kecilnya, sejak 2017 menjadi lingkungan “Pasar Gelap” yang pernah dihiasi skandal tidak senonoh. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sasana Putra, adalah lingkungan tempat tinggal “raja” dan keluarga kecilnya di Kraton Mataram Surakarta, yang “seharusnya” tetap dijaga sebagai “ring 1” istana yang sakral. Masa Sinuhun PB XI jumeneng nata (1939-1945), menjadi saat terakhir suasana dan predikat sakral itu masih terjaga ketat, tetapi “tidak” setelah “ditinggal” mulai tahun 1945.

Suasana sakral lingkungan Sasana Putra sebelum tahun 1945, sama dengan kesakralan lingkungan di bagian lain “ring satu”, seperti kompleks Pendapa Sasana Sewaka, kamar pusaka dan bagian lain di lingkar pusat wilayah “kedhaton”. Tetapi, setelah tahun 1945 wilayah sakral itu lebih sering “ditinggal”, dan hanya menjadi habitat kalangan “putra-dalem” Sinuhun PB XII.

“Ditinggal” dalam arti tidak dimanfaatkan Sinuhun PB XII sebagai tempat tinggal pribadi, yang berbeda dengan Sinuhun Suryo Partono (PB XIII-Red), yang mendiami tempat itu sejak 2004 hingga kini. Sinuhun PB XII lebih suka tinggal di luar kraton, misalnya paviliun khusus di sebuah hotel di kawasan Kampung “Keprabon”, untuk menghindari potensi “desakralisasi”.

Dari banyak komentar seperti ditegaskan GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng, pilihan Sinuhun PB XII lebih banyak tinggal di luar kraton, karena ingin tetap menjaga nilai-nilai sakralitas. Sinuhun PB XII pernah bertutur, karena banyak kawan dan sahabat bebas dari luar kraton, sangat disadari bisa menjadi potensi ancaman “desakralisasi” kraton.

SAMA SAKRALNYA : Seharusnya, Sasana Putra harus dijaga kesakralannya seperti lingkungan bangunan “Langen Katon” yang berada di belakang bangunan tempat tinggal figur yang sedang “Nyesel”. Selama Sinuhun PB XIII dan keluarga kecil bermukim di situ, soal kesakralan mengalami degradasi etika moral luar biasa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ketika Sasana Putra kembali “hidup” mulai 2004, karena dimanfaatkan sebagai tempat tinggal keluarga kecil Sinuhun PB XIII termasuk figur anak yang belakangan “Nyesel”, “mulanya biasa-biasa dan lurus-lurus” saja. Tetapi, lingkungan itu berubah sangat fluktuatif tajam oleh dinamika adat, budaya, sosial dan politik mulai tahun 2010 hingga 2017 dan 2017 hingga kini.

Dinamika adat dan budaya jelas merupakan sikap internal yang salah menginterpretasi dinamika eksternal, sehingga sering menampakkan ekspresi yang berbeda dengan dinamika adat dan budaya yang selalu dijaga Bebadan Kabinet 2004 dan Lembaga Dewan Adat bersama semua elemenya. Sementara, dinamika sosial, politik, ekonomi dan lainnya jelas dibawa masuk dari luar.

Selama periode 2010 hingga 2017 sampai kini, lingkungan internal sekecil Sasana Putra telah diwarnai gejolak dinamika dari pribadi/oknum yang berkumpul di situ. Tetapi juga karena kesalahan dalam menginterpretasi pengaruh eksternal yang dibawa para pribadi/oknum itu. Sasana Putra, ibarat “Pasar Gelap” bagi lembaga Kraton Mataram Surakarta, dari 2010 hingga kini.

“Pasar Gelap” Sasana Putra semakin ditegaskan oleh “bisik-bisik” di kalangan internal, tentang perbuatan “tercela” oknum-oknum yang pernah “ondekos” di situ. “Skandal” itu bahkan diduga melibatkan beberapa onkum di lingkaran dekat Sinuhun PB XIII. Dari “Pasar Gelap” itu juga mengeluarkan aroma transaksi politik yang melibatkan oknum-oknum penguasa.

TIBA SAATNYA : Ketika tiba saatnya, sebuah perbuatan hasil “menanam”, pasti akan “dituai” atau “dipanen”. Begitulah sebuah ungkapan yang pantas diberikan kepada figur yang sedang “Nyesel Gabung Republik”, yang selama ini menjadi bagian dari sekumpulan orang yang pernah hendak menenggelamkan LDA bersama semua elemennya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Salah satu “transaksi politik” itu, adalah peristiwa pemberian gelar kekerabatan dari lingkungan atas nama Sinuhun PB XIII kepada beberapa pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di zaman Presiden RI Jokowi. Pemberian gelar itu, tidak jauh setelah ada dugaan kerugian negara akibat PB XIII tidak bisa memberi LPJ atas dana hibah dari APBN 2018 sebesar Rp 1,8 M.

Transaksi politik itu, berkait dengan penyerahan SK Kemendagri Tjahjo Kumolo No. 430-2933/2017 tertanggal 21 April 2017, atau terbit lima hari setelah peristiwa “insiden mirip operasi militer” 2017. SK inilah yang digugat perdata karena disalahgunakan, yang melahirkan putusan Mahkamah Agung (MA), yang antara lain menegaskan sah dan resminya LDA.

“MENUAI” EKSEKUSI : Peristiwa eksekusi putusan MA yang dilakukan tim eksekusi PN Surakarta pada 8 Agustus 2024 lalu, bisa dipandang sebagai bagian menuai atau memanen hasil yang pernah ditanam. Karena berusahan menenggelamkan LDA bersama semua elemennya, semua yang berkumpul di Sasana Putra “menuai” eksekusi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dinamika di internal kraton khususnya di lingkungan Bebadan Kabinet 2004 dan Lembaga Dewan Adat (LDA) sebagai payung besar semua elemen yang ada, juga bergejolak tajam. Karena, peristiwa eksekusi putusan (MA) No 87/Pdt.G/2019/PN Ska (29 Agustus 2022) yang dilakukan tim eksekusi Pengadilan Negeri (PN) Surakarta pada 8 Agustus 2024 itu, sangat “menohok”.

Sangat keras “memukul”, tegas dan sangat “menohok”, itulah peristiwa eksekusi atau “Dekrit LDA”, yang “membuat” garis tegas bahwa semua yang berada lingkungan Sasana Putra adalah sekumpulan pihak “terhukum” oleh eksekusi putusan MA itu. Bisa dibayangkan, sosok figur yang sedang “Nyesel” itu, kehidupan psikologisnya berkembang di lingkungan seperti itu. (Won Poerwono – bersambung/i1)