Spiritnya Pelestarian, Jangan Berhitung Untung-Rugi
IMNEWS.ID – KETERLIBATAN beberapa pihak dalam mendukung berbagai upacara adat yang digelar Kraton Mataram Surakarta sejak sebelum berada di alam NKRI maupun sesudah berada di alam republik, memang sama-sama nyaris tak kelihatan di permukaan. Tetapi, bisa dibandingkan bahwa sebelum bergabung menjadi bagian dari NKRI, keterlibatan pihak di luar kraton nyaris tidak ada, yang ada hanyalah kewajiban para “Bupati Manca” menyetorkan “asok bulu bhekti glondhong pengareng-areng” sebagai bagian dari penggalian sumber-sumber perekonomian “negara”.
Suasananya sudah sangat jauh berbeda ketika berada di alam republik, kraton berada dalam posisi sudah tidak punya kedaulatan ekonomi, tetapi perekonomian modern telah menumbuh-kembangkan potensi-potensi perekonomian yang tidak bisa dimonopoli negara di satu sisi, dan di sisi lain aktivitas wiraswasta dan potensi ekonomi yang dikelola swasta juga semakin kuat. Dalam posisi seperti ini sejak bergabung ke NKRI hingga kini, kraton terkesan mandiri dalam proses pelemahannya atau ketepurukannya, terutama secara ekonomi.
Kewajiban negara menghormati dan memelihara masyarakat hukum adat Mataram Surakarta seperti diamanatkan dalam pasal 18 UUD 45, yang tertuang dalam Perpres No 29/1964 (bukan 1967-Red) adalah begitu adanya yang harus diwujudkan dan dijalankan dengan penuh tanggung-jawab. Bentuk konsekuensi logis semacam itu tidak bisa diwujudkan dengan sekadar hibah dana dari APBD Pemprov Jateng ataupun APBD Pemkot Surakarta, yang selalu dikesankan sebagai bantuan sosial yang harus diminta dengan merengek-rengek dengan proposal.
Didasari Kepentingan

Posisi kraton dalam hubungan yang bisa dikonotasikan sederajat dengan keberadaan pihak swasta (non-pemerintah) dalam rangka penggalian sumber-sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumah-tangga masyarakat hukum adatnya, sepanjang pengamatan Suara Merdeka (1982-2018) dan diteruskan iMNews.id hingga kini, lebih banyak didasari/dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi atas bantuan atau kerjasama yang terjadi. Nyaris tidak ada yang tulus ikhlas membantu memberdayakan kraton untuk melestarikan kebudayaan (Jawa) dengan segala produknya, demi eksistensi Kraton Mataram Surakarta, misalnya dalam penyelenggaraan ritual Sekaten Garebeg Mulud.
Bagi kalangan swasta, mau mengulurkan tangan membantu kraton memang masih bisa dimaklumi ketika sebenarnya yang terjadi hanyalah didasari/dilatarbelakangi oleh kepentingan, seperti yang dilakukan para pedagang Pasar Klewer melalui organisasinya Himpunan Pedagang Pasar Klewer di masa Orde Baru. Artinya, para pedagang HPPK (waktu itu) berharap agar ribuan orang yang datang dari berbagai daerah untuk menyaksikan ritual Sekaten Garebeg Mulud beserta keramaian pasar atau Maleman Sekaten, juga melimpah ke Pasar Klewer sebagai ke bursa sandang terbesar kedua setelah Pasar Tanah Abang, Jakarta.
Dukungan para pedagang itu kecil kemungkinanannya didasari/dilatarbelakangi oleh pemahaman yang baik tentang asal-usul Pasar Klewer, tempatnya mencari nafkah sampai saat ini. Bahkan kecil kemungkinannya didasari oleh kesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari warga peradaban (Jawa), yang seharusnya ikut melestarikan budaya Jawa yang di antaranya berwujud ritual Sekaten Garebeg Mulud dengan keramaian pasar malamnya yang bisa mengundang ribuan orang datang ke situ dan mampir berbelanja ke Pasar Klewer itu.
Tradisional ke Digital

Di abad milenial ini memang perjalanan sistem ekonomi dunia sudah sampai tahapan ultra modern, apalagi semua bentuk transaksinya sudah masuk ke teknologi digital. Sebagai sebuah lembaga, Kraton Mataram Surakarta memang bisa melakukan kerjasama bisnis modern dengan kontrak kerjasama yang jelas, berkekuatan hukum dan segalanya bisa diatasi dengan teknologi digital yang serba “E” (e-banking, e-trading, e-marketing, e-shoping dsb). Tetapi sepertinya tidak bisa demikian untuk keperluan pelestarian budaya Jawa, misalnya dalam wujud keramaian Maleman Sekaten yang semua pengisinya nyaris barasal dari wilayah “serba tradisional”.
Bila diukur, ada begitu jauh dan panjang jarak antara semua yang tampak dalam ritual Sekaten Garebeg Mulud dan segala bentuk produk peradaban Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta dengan perjalanan warga peradaban bangsa Indonesia yang sudah memasuki alam modernitas milenial, global, universal dan segalanya masuk kalkulasi industrialisasi. Tetapi, bangsa Indonesia boleh menjadi manusia modern, termasuk warga peradaban Jawa, tetapi sebaiknya tidak melupakan/meninggalkan jati dirinya sebagai bangsa yang berbudaya, “kata Presiden Jokowi” dalam beberapa kesempatan berpidato.
Harapan yang tersirat dari pidato Presiden Jokowi itu memang ideal dan urgen, sepertinya sulit terwujud ketika mencermati apa yang sudah terjadi dalam kehidupan warga peradaban bangsa secara umum, termasuk warga peradaban Jawa. Berhentinya dukungan warga Himpunan Pedagang Pasar Klewer (waktu itu) khususnya dalam penyelenggaraan Sekaten Garebeg Mulud selepas Orde Baru itu, menjadi contoh nyata berubahnya warga peradaban Jawa menjadi modern. Terlebih, jiwa berdagang atau berniaga, memang lebih mengedepankan kalkulasi untung dan rugi.
Setelah Didoakan

Apa yang pernah diberikan warga HPPK (waktu itu), juga hibah dana APBD Pemkot Surakarta dan Pemprov Jateng untuk Sekaten Garebeg Mulud, bisa menjadi contoh untuk melukiskan perbedaan yang sulit sekali dicari titik-temunya, ketika sejumlah hajad dalem gunungan “dibagi-bagikan” dengan cuma-cuma yang sangat bertentangan dengan kaidah berdagang dan kaidah bantuan sosial. Karena, Garebeg Mulud atau ritual garebeg lain di kraton, spiritnya adalah berbagi atau “ngalab berkah”, pemerataan rezeki, spirit kewajiban mewujudkan dimensi sosial ekonomi kraton sebagai lembaga masyarakat adat serta spirit pelestarian budaya Jawa.
Karena landasan dan spiritnya seperti itu, maka gunungan kakung (lelaki) dan putri (perempuan) yang isinya kue tepung beras, kembang kanthil, kembang melati, endhog godhog (telur rebus), endhog kamal (telur asin), kacang panjang, lombok abang yang disusun setinggi 1,5 meter, lebar 2 meter itu, memang sudah disiapkan untuk “dibagi-bagikan” setelah didoakan di Masjid Agung. Orang yang selalu mengedepankan untung dan rugi, atau suka memberi untuk suatu kepentingan (politis), sangatlah sulit bisa menerima realitas tentang ritual penuh makna filosofi, dalam rangka menjaga identitas kepribadian, pelestarian budaya dan menjaga eksistensi kebhinekaan bangsa itu.
Bagaimana mungkin, ancak/jodhang berhias sindur merah-putih, di atasnya berdiri gunungan kakung dan putri Sekaten yang terdiri nasi tumpeng, berhias entho-entho, rengginan, makanan kecil bulat telur dari tepung beras ketan, endhog asin, aneka jenis nasi, tebu, daun pisang, terong, wortel, timun, kacang panjang dan ada unsur daging yang biasa dikonsumsi manusia, bisa diartikan “bit’ah” atau musyrik?. Padahal simbol warna merah-putih yang asalnya dari Majapahit ditambah berbagai perlengkapan seperti dami, sujen, peniti, jarum bundel, samir kuning dan lingkaran “Cakra” di atasnya, adalah simbol yang melukiskan dunia dan seisinya, juga NKRI yang diwakili Sang Saka. (Won Poerwono-bersambung/i1)