Kali Pertama Akan Diperingati Pakasa Cabang Kudus dengan Kenduri Wilujengan
KUDUS, iMNews.id – Ritual haul tokoh leluhur trah darah-dalem Sunan Kudus yang bernama KRT Prana Kusumadjati yang dikenal dengan sebutan “mbah” Kyai Glongsor, akan dideklarasikan tepat pada tanggal wafatnya yaitu 27 Rejeb/Rajab mendatang. Haul dan deklarasi untuk seterusnya diperingati dengan ritual wilujengan, dan yang pertama akan jatuh 18 Januari ini.
“Kalau tanggal wafatnya seperti yang diceritakan eyang-eyang saya, ya 27 Rejeb/Rajab itu. Tetapi, pelaksanaannya bisa juga bergeser sedikit. Ini nanti juga ada ritual “Mapag Ruwah” seperti yang sudah berjalan beberapa tahun. Intinya, kami akan mengumumkan (deklarasi) ritual haul Kyai Glongsor secara khusus akan kami adakan tiap tanggal 27 Rejeb”.
“Tahun ini mungkin persiapan waktunya agak mepet, jadi sementara diumumkan dulu sambil menggelar wilujengan. Tahun depan, dipersiapkan secara khusus dan dimeriahkan dengan kirab budaya selain doa, tahlil dan dzikir. Dukungan untuk memeriahkan HUT RI 17-an dengan kirab yang mengangkat nama besar Kyai Glongsor juga tetap dipertahankan,” ujar KRA Panembahan Didik.
Ketua Pakasa Cabang Kudus yang bernama lengkap KRA Panembahan Didik “Alap-alap” Gilingwesi Hadinagoro ini, menyatakan usulan deklarasi 27 Rejeb itu cukup masuk akal dan sangat beralasan. Saat dimintai konfirmasi iMNews.id mengenai usulan menggelar haul wafat Kyai Glongsor secara khusus, siang tadi, ia menyatakan haul pertama akan dimulai tahun ini.
Mengenai tahun wafat Kyai Glongsor atau peringatan wafat sudah sampai hitungan ke berapa, Ketua Pamong Makam Kyai Glongsor itu mengaku belum mendapatkan data catatannya. Data catatan tentang tahun hanya didapat soal terompet pusaka peninggalan Kyai Glongsor, yaitu tahun 1712 yang belum diketahui apakah identik dengan masa hidup atau wafatnya.
Namun di tempat terpisah Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat/Jogja) menyebutkan, nama Kyai Glongsor disebut-sebut dalam “Serat Cebolek” yang ditulis Kyai Tumenggung Jasadipoera I (1748). Data manuskrip itu menyinggung sekilas tokoh prajurit pengawal Sinuhun Amangkurat IV dan Kanjeng Ratu Kentjana Kudus, yang beranama KRT Prana Kusumadjati atau Kyai Glongsor.
Baik KRA Panembahan Didik maupun Dr Purwadi menyebut, nama “Glongsor” adalah nama “parapan” atau alias yang biasanya diberikan kalangan kerabat dekat kepada salah seorang anggota keluarganya. Nama “parapan” diberikan terhubung dengan ciri-ciri atau sifat-sifat khusus yang diberi nama, dan “Glongsor” berasal dari kata “Golongan Anshor” (suka menolong).
“Saya usul, sebaiknya lebih dikedepankan panggilan ‘Kyai’ saja dari pada ‘mbah’ untuk KRT Prana Kusumadjati atau Kyai Glongsor. Karena, terasa kurang menghargai tokoh penting dan banyak berjasa mengawal Kanjeng Ratu Kentjana sampai tiga generasi Raja Mataram Islam di Kartasura itu. Apalagi, beliau salah seorang trah keturunan Sunan Kudus,” ujar Dr Purwadi.
Seiring dengan upaya-upaya memuliakan nama besar Kyai Glongsor seusai diketemukan kembali “terompet” pusaka peninggalan tokoh yang juga punya nama tambahan “Alap-alap Gilingwesi” itu, KRA Panembahan Didik seperti sedang “dibukakan pintu” ke arah yang diinginkan. Setelah terompet pusaka “dikembalikan”, kini muncul beberapa pusaka lain peninggalan Kyai Glongsor.
Kini, selain terompet juga diketemukan beberapa pusaka, yaitu keris dari bahan batu 30-an cm dan keris Tosan Aji berlogo “Kala Cakra” dan “Kala Jengking”. Beberapa pusaka itu tersimpan dalam kamar di kompleks kediaman orangtuanya di Desa Rendeng, Kecamatan Kota, yang selalu diawasi sang ibunda, agar KRA Panembahan Didik tidak membuka dan mengeluarkannya.
“Kula niku empun gadhah anak lan putu, malah gadhah santri tigang Majlis Taklim. Ning ibu kula (Nyi KMT Hj Tarmini Budayaningtyas-Red) tasih nganggep kula lare alit. Kula sering dinasihati kados lare alit ngoten nika. Kula kadang nggih namung ngguyu. Masalahe kula riyin nakal, remen tukaran. Dados, ibu kula kuwatos menawi pusaka medal,” jelasnya lagi.
Nyi KMT Hj Tarmini Budayaningtyas kini berusia 85 tahun dan tinggal di kediaman besar almarhum ayahandanya. Di kompleks kediaman di kampung Rendeng Wetan itu, terdapat kamar penyimpanan pusaka para leluhur yang ditinggalkan kakeknya, R Jamari Marto Darsono. Rumah keluarga besar itu hanya berjarak sekitar 20 meter dari kompleks makam Kyai Glongsor.
“Tetapi, kompleks makam Kyai Glongsor yang tertutup cungkup seluas 3×4 meter itu, jadi satu dengan tanah milik Nyonya Gofur. Jadi, kalau event haul Kyai Glongsor nanti digelar, pasti tak bisa menampung pengunjung atau peserta dalam jumlah banyak. La wong kalau ada yang ziarah saja, maksimum hanya bisa menampung 7 orang kok,” tambah KRA Panembahan Didik.
Meski belum terbayang bagaimana kelak ketika ritual haul Kyai Glongsor menjadi event besar dan dikenal luas sebagai destinasi wisata khalayak, KRA Panembahan Didik menyebut dirinya kini sangat bersemangat untuk memuliakan nama besar itu. Karena nama itu telah berjasa dari Kraton Mataram Kartasura (1645-1745) hingga awal Mataram Surakarta (1745-1945) itu.
Menurutnya, untuk menggelar haul kini sudah lengkap simbol-simbolnya, yaitu ada makam Kyai Glongsor, tanggal haul 27 Rejeb dan beberapa pusakanya terutama terompet. Dia berharap, tahun ini bisa dimulai walau hanya wilujengan, tetapi tahun depan bisa digelar lebih baik dan terpisah dari perayaan HUT RI 17-an, agar unsur spiritual religinya tidak tertutup. (won-i1)