Bagaimana Jika dari Kyai Glongsor Bisa Membuka Fakta Lebih Luas Lagi Tentang Kudus?
IMNEWS.ID – BESALEN di Desa Sumber Hadipolo dan Desa Bareng (Kecamatan Jekulo), di Desa Sumber (Kecamatan Tenggeles) dan besalen di Desa Panjang (Kecamatan Bae), adalah empat dari sejumlah besalen Tosan Aji yang sementara bisa dilacak pengurus Pakasa Cabang Kudus. Tiga dari empat besalen ini, disebut masih aktif berproduksi terutama keris, walau “minim”.
Produktivitas yang minim seperti diungkapkan KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro, dalam arti masih memproduksi keris tetapi jumlahnya sesuai pesanan yang sangat sedikit. Khusus untuk besalen di Desa Bareng, produktivitas masih tinggi tetapi statusnya menurun menjadi “Pande Besi”, karena hanya memproduksi peralatan rumah-tangga dan pertanian.
“Selain itu mungkin masih banyak besalen untuk wilayah Kabupaten Kudus. Baik yang sudah tidak aktif, masih aktif maupun yang berubah menjadi Pande Besi. Dari informasi para santri saya, di Bareng (Jekulo) itu, satu desa ada beberapa Pande Besi, yang rata-rata pemiliknya masih saudara. Di Desa Sumber Hadipolo, masih berproduksi tetapi sudah sangat jarang”.
“Sebetulnya kurang-lebih sama dengan Besalen Tingal Hadipolo di Desa Sumber (Kecamatan Jekulo). Besalen milik trah keturunan Empu Tingal, santrinya Sunan Kudus itu ya sudah tidak berproduksi. Rata-rata besalen itu bilang, kalau bikin keris sudah tidak ‘cucuk’. Antara biaya produksi dan harganya tidak seimbang,” ujar KRA Panembahan Didik Gilingwesi.
Ketua Pakasa Cabang Kudus saat dimintai konfirmasi iMNews.id kemarin menyebut, sejumlah besalen yang diketahui lokasi dan namanya itu rata-rata masih beroperasi tetapi dengan jumlah pesanan keris sangat sedikit. Karena, kebanyakan di antara mereka sudah tidak mau melayani pesanan, akibat nilai pesanan tak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan.
“Kalau pesan keris yang bagus, selain bahannya harus tersedia lengkap dan pilihan (bagus). Ini jelas sudah besar nilai rupiahnya. Padahal, keris yang bagus harus dibuat dengan proses kerja fisik dan nonfisik. Untuk memenuhi unsur spiritual kebatinannnya harus dimulai dengan berpuasa dan wilujengan, dengan memperhatikan weton kelahiran pemesannya”.
“Dengan proses panjang yang bisa berbulan-bulan dan diperlukan uba-rampe selain bahan bakunya, tentu biaya secara keseluruhan jadi besar untuk ukuran/hitungan manusia sekarang. Sementara, para calon konsumen rata-rata hanya melihat atau ‘menghargai’ hasil jadinya saja. Siapa yang mau, jika nilai pesanan 1 keris sampai Rp 10 juta?, misalnya,” ujarnya.
Perumpamaan yang diungkapkan KRA Panembahan Didik Gilingwesi itu, nilainya bisa kurang dari Rp 10 juta, atau bahkan bisa lebih jika menghendaki pamor yang bertatah emas bilahnya. Karena, pamor serat emas sampai kini masih menjadi ukuran kategori keris yang baik atau mahal, bila dibanding dengan keris pamor biasa-biasa saja atau bahkan tanpa pamor.
Itulah sedikit ilustrasi untuk menggambarkan bagaimana perkembangan dan perjalanan sejarah keris sebagai Tosan Aji yang menjadi bagian dari busana adat Jawa. Tetapi, di tangan KRA Panembahan Didik Gilingwesi dan Pakasa Cabang Kudus yang dipimpinnya, keris tak hanya berkesan milik elitis, tetapi ingin kembali dimasyarakatan sebagai milik setiap insan Jawa.
Ilustrasi di atas juga menjadi gambaran tentang sekilas perbandingan antara potensi kekayaan besalen di (Kabupaten) Kudus dengan daerah-daerah (kabupaten) lain di eks wilayah “negara” (monarki) Mataram Islam. Mulai dari Ibu Kota Kutha Gedhe-Plered-Kartasura hingga Mataram Surakarta (1745-1945), yang punya satu alasan pembeda antara Kudus dengan daerah lain.
Hal yang membedakan itu, adalah potensi jumlah besalen yang bisa lebih dari 10 lokasi di Kudus tetapi rata-rata hanya satu atau paling banyak separonya (lima besalen-Red) di kabupaten-kabupaten eks wilayah “negara” Mataram Islam terutama Mataram Surakarta. Mengapa bisa demikian?. Karena riwayat Kudus jauh berbeda dengan lainnya, sejak zaman abad 15 jadi kota industri.
Analisis tentang Kabupaten Kudus yang sudah memiliki “tingkat kemakmuran” lebih tinggi karena tingginya pendapatan ekonomi industri dibanding berbagai daerah lain, juga menempatkannya sebagai kabupaten yang bisa bertahan sisi kemampuan ekonominya sangat panjang. Yaitu mulai dari zaman Kraton Demak hingga Mataram Surakarta, bahkan bertahan hingga abad 21 sekarang ini.
Fakta-fakta sejarah inilah yang merupakan sebagian hasil analisis dari banyak variabel, baik dari temuan beberapa tokoh trah pelaku sejarah maupun hasil kajian peneliti sejarah seperti yang dilakukan Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat-Jogja). Hasil kajian itu, bahkan melahirkan satu hubungan rasional antara beberapa variabel zaman dan wilayah yang sangat luas.
Ketika baru ditemukan beberapa besalen produsen sistem senjata tradisional saja, terungkap juga hubungan keluarga dan kerja administrasi pemerintahan antara “Kadipaten” Kudus dengan Kraton Demak, Kraton Pajang, Kraton Mataram (pertama), Mataram Sultan Agung, Mataram Kartasura dan Mataram Surakarta. Sudah berapa zaman dan wilayah cakupan hubungan rasional itu terjadi?.
Begitu panjang cakupan zaman dan luas cakupan wilayah ketika Kudus mampu muncul sebagai “Kadipaten” paling “makmur” dalam beberapa variabel terutama ekonomi, itu baru ditelusuri dari jejak besalen, munculnya sejumlah nama tokoh penting dan sisa-sisa peradaban yang masih tampak kini. Bagaimana kelak, jika dari Kyai Glongsor bisa diungkap fakta-fakta lebih luas lagi?. (Won Poerwono-bersambung/i1)