Tak Disadari, Pakasa Cabang Kudus “Memasyarakatkan” Kembali Tosan Aji
IMNEWS.ID – “NUT JAMAN KELAKONE” yang dalam pengertian sederhana berbunyi mengikuti perkembangan zaman dan perubahan situasi dan kondisi, memang bisa menjadi kalimat yang tepat untuk menyebut riwayat perjalanan sejarah tentang keris atau jenis karya Tosan Aji lainnya. Bahkan, istilah itu juga bisa digunakan untuk menyebut perubahan kehidupan secara umum.
Tetapi, perubahan dan perkembangan zaman yang ikut merubah makna, fungsi dan manfaat apapun peninggalan peradaban masa lalu tidak harus memutus sesuatu tradisi yang sudah menjadi kekayaan dan mewarnai kehidupannya. Semangat, sikap dan cara pandang boleh berubah menjadi modern, tetapi dalam hal menjalankan tradisi sebagai sutresna budaya tidak boleh hilang.
Itulah esensi pesan yang tersirat dalam HUT ke-93 Pakasa yang bersamaan dengan FSBKN 2024, yang digelar Pakasa Punjer bersama Bebadan Kabinet 2004 Kraton Mataram Surakarta dan MAKN, medio Desember 2024. Karena aksi Pakasa Cabang Kudus yang sedang melakukan tatacara ritual menunda/memindah hujan dengan keris, sebagai pesan yang “terpaksa” dilihat orang.
Event yang salah satu isinya menampilkan potensi seni budaya Pakasa cabang dari berbagai daerah eks wilayah “negara” Mataram Surakarta itu, tak sengaja menampilkan cara bersikap yang “menghargai” makna, fungsi dan manfaat keris. Pakasa Cabang Kudus bahkan menjadi contoh masyarakat adat yang masih memaknai keris dalam fungsi lain selain sebagai “busana”.
Ketika dipahami lebih lanjut, apa yang diperlihatkan kontingen Pakasa Cabang Kudus tanpa disadari menjadi cara “kampanye” atau “promo” sesuatu yang positif, yaitu “memasyarakatkan” kembali cinta karya Tosan Aji yang dimulai dari keris. Isyarat yang disampaikan, bisa dimaknai sebagai cara menggugah kesadaran publik agar kembali menjadi “sutresna” Budaya Jawa.
Keris sebagai salah satu elemen “busana” adat Jawa yang sempat mengalami degradasi fungsi, manfaat dan maknanya, oleh Pakasa Cabang Kudus kembali “dimasyarakatkan” untuk dicintai setiap insan berbudaya, agar tidak menyempit menjadi elitis. Isyarat diberikan dan bisa dimaknai bahwa keris adalah bagian dari tradisi berbusana masyarakat dalam segala lapisan.
Dalam soal “memasyarakatkan” kembali keris dan karya Tosan Aji lain dalam kehidupan masyarakat, memang tidak pernah secara langsung diucapkan atau dianjurkan KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro. Tetapi, dari tampilan yang tampak, disengaja atau tidak dan disadari atau tidak, telah menyentuh kesadaran publik untuk memaknai isyarat yang disampaikan.
Selain melalui event HUT ke-93 Pakasa dan FSBKN 2024, isyarat juga disampaikan dari berbagai kegiatan Pakasa Cabang Kudus secara keseluruhan atau kelompok kecil yang dipimpin langsung ketuanya, KRA Panembahan Didik “Alap-alapan” Gilingwesi Hadinagoro. Karena hampir dalam dua tahun terakhir ini, di setiap kegiatan adatnya banyak menampilkan tema-tema keris.
Tak hanya dalam wujud kirab di berbagai event ritual adat yang digelar beberapa Pakasa cabang tetangga seperti Pati dan Jepara, begitu pula di HUT ke-93 Pakasa, kegiatan dalam keseharian di luar event-pun seakan tidak jauh dari tema keris. Diakui Ketua Pakasa Cabang Kudus itu, kini dirinya sedang sibuk “melacak” keris sesudah menemukan kembali “terompet”.
Yang dimaksud “melacak” keberadaan keris, adalah kesadarannya yang tiba-tiba muncul dan mengingat pesan-pesan eyangnya. Bahwa di salah satu ruang di kediaman keluarganya di Desa Rendeng, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, ada yang dijadikan tempat menyimpan sejumlah pusaka. Sang Ibunda bilang, tak diizinkan siapapun membuka ruang pusaka itu, termasuk dirinya.
“La, kula mboten angsal mbukak lan mlebet ruang pusaka niku. Amargi wekdal tasih muda, kula sering terlibat perkelahian. Malah nate kula ditangkep polisi, ditahan. Mungkin kula dianggep brangasan niku, terus dilarang, mboten angsal mbuka utawi mlebet ruang pusaka. Kula ngertos, pusakanipun eyang kathah, werni-werni wujudiun,” ujar KRA Panembahan Didik.
Saat dikonfirmasi dalam beberapa kali perbincangan dengan iMNews.id sampai sore tadi, KRA Panembahan Didik mengaku, sejak sudah berumah-tangga dan punya anak 7 orang, dirinya sudah berubah 360 derajat. Bahkan, dalam 20 tahun terakhir dirinya memimpin tiga Majlis Taklim yang dimiliki di beberapa kediamannya, dan dirinya sudah menjadi seorang guru, “Kyai”.
“Sakniki lak kantun ibu kula (Nyi MT Hj Tarmini Budayaningtyas-Red) ingkang tasih sugeng. Niki kula sideman mbikak ruang pusaka niku, ibu mboten mangertos. Upami ngertos, sok nggih ngangge didukani riyin. Kala wingi, kula tasih nemu keris 2. Ingkang setunggal pendek, setunggalipun keris berukuran normal. Nembe kalih dinten, kula entas, ngicali regetan”.
“Keris ingkang pendek, saking bahan watu, dados kraos awrat. Ingkang setunggal, keris tinatah emas gambaripun Kalacakra, sewalikipun gambar Kalajengking. Niki kula nember pados informasi makan keris kalah niku. Sanesipun niku, kula ugi damel keris ukuran jumbo, panjang 3, 4 dan 5 meter kangge keperluan properti kirab budaya,” ujar KRA Panembahan Didik.
KRA Panembahan Didik menuturkan, belakangan belakangan dirinya sibuk “berburu” keris di sebuah kamar di kompleks kediaman keluarganya, yang kini dihuni ibunya dan keluarga kecil adiknya. Ibunya, Nyi MT Hj Tarmini Budyaningtyas, kini berusia 84 tahun. Selain berburu peninggalan kakeknya, dia juga meminta para santrinya membuat tiga keris berukuran jumbo itu. (Won Poerwono – bersambung/i1)