Sudah Berhasil Mengatasi Potensi Hujan, Tetapi Banyak yang Perlu Dievaluasi
IMNEWS.ID – SALAH satu hal penting yang bisa dipetik dari mengikuti kegiatan HUT ke-93 Pakasa yang disinergikan dengan Festival Seni Budaya Kraton Nusantara (FSBKN) tahun 2024 ini, yang sangat dirasakan bagi kalangan warga Pakasa cabang adalah pengalaman. Mengalami dan merasakan ikut tampil di event nasional itu, adalah pelajaran yang sangat berharga.
Bahkan, bagi Pakasa Cabang Jepara yang sudah lebih banyak melakukan jam terbang dengan lompatan jauh lintas provinsi, peristiwa bersejarah yang dialami itu adalah pengalaman pertama yang sangat berharga. Dalam sinergi dua elemen dalam penggabungan event itu, Pakasa Jepara merasa bisa berinteraksi dengan kontingen Raja-raja peserta kirab anggota MAKN.
“Kami bisa saling menyapa dan mengenal kontingen yang dibawa para Raja anggota MAKN. Kami bisa memperkenalkan simbol cirikhas daerah kami. Begitu pula, kami juga bisa mengenal simbol cirikhas mereka. Kami bisa mengenal simbol-simbol cirikhas beberapa kerajaan yang ada di Nusantara. Kami bisa mengetahui keanekaragaman budaya Nusantara yang bhineka”.
“Tetapi, Pakasa Jepara tidak bisa tampil maksimal di hadapan para Raja atau utusan MAKN. Karena keburu lelah menunggu waktu lama, baik untuk jalan dan tampil. Sedangkan suasana, sudah mulai ada rintik-rintik hujan. Kami sangat khawatir hujan tiba-tiba datang. Karena peralatan dan properti kirab bisa rusak terkena hujan,” ketus KP Bambang S Adiningrat.
Pernyataan singkat Ketua Pakasa Cabang Jepara yang dihubungi iMNews.id siang tadi untuk memberi kesan dan pesannya, bisa mewakili pengalaman para peserta kirab peringatan HUT ke-93 Pakasa sekaligus FSBKN, 14-15 Desember. Sekaligus, melukiskan bagaimana event dua elemen yang digabung diikutinya selama dua hari itu, dalam ekspresi kirab dan pentas sseni.
Karena pengalaman pertama bagi Pakasa Cabang Jepara dan kali pertama bagi Kraton Mataram Surakarta dan juga bagi para anggota MAKN, menurutnya jika suatu saat ke depan ada peristiwa dengan model sinergi seperti itu lagi, menurutnya diperlukan peningkatan kualitas koordinasinya. Panitia perlu memberi uraian detail acara, lokasi dan waktu jauh sebelumnya.
KP Bambang S Adiningrat menyebut, panitia agak melewatkan perhatiannya soal ritme sajian tiap kontingen yang tampil, ada peserta yang tampil mendominasi dan mengurangi semangat dan kesempatan peserta lain. Dalam soal pengaturan waktu tampil inilah, mirip yang dicermati KRA Panembahan Didik Gilingwesi, Ketua Pakasa Cabang Kudus yang dihubungi secara terpisah.
KRA Panembahan Didik sempat mengungkapkan perasaannya yang agak kesal dan jengkel, sehabis menjalani kirab Sabtu petang (14/12). Karena, beberapa tim “Pawang Hujan” yang dipimpinnya merasa kelelahan mengatasi potensi ancaman hujan, akibat terlalu lama menahan keris seberat 10-an kg, yang setiap saat harus diacungkan ke atas sampai 30 menit durasinya.
Durasi menahan keris pamor Singkir dan warangka naga Kiai Bledheg sepanjang hampir 1 meter sampai 30-an menit itu, karena waktu perjalanan kirab budaya molor, tersendat-sendat lama berhenti. Selain pelepasan kirab molor dari rencana berangkat pukul 13.30 WIB, laju langkah kirab juga sering berhenti lama karena ada peserta yang tidak disiplin waktu saat tampil.
Kekesalan KRA Panembahan Didik, karena kontingen Pakasa Cabang Kudus yang semula mendapat urtan barisan ke-4, “dipaksa” panitia mundur menjadi barisan terakhir penutup kirab. Panitia “memaksa” kontingen Pakasa Kudus mundur, diduga karena khawatir setelah rombongan KRA Panembahan Didik mencapai finish lebih awal, khawatir potensi ancaman hujan terabaikan.
“Panitia yang mengatur barisan itu tidak pernah berdiskusi dengan kami, tetapi mengambil keputusan memaksa Pakasa Cabang Kudus agar menjadi barisan terakhir. Mereka itu tidak pernah mau berdiskusi dengan kami, jadi tidak paham bagaimana proses kerja pawang hujan. Saya menduga, mereka mengira kalau Kudus finish lebih awal, hujan deras akan turun”.
“Kalau benar seperti itu, mereka terlalu cepat mengambil keputusan, tanpa mengetahui bagaimana potensi ancaman hujan yang ditahan atau dialihkan. Padahal, waktu untuk menahan dan mengalihkan potensi hujan, batasnya 2 jam, yang diukur dari kekuatan menahan keris yang diacungkan ke atas. Juga pertimbangan tebalnya mendung,” jelas KRA Panembahan Didik.
Ketika kekesalan dan kejengkelan KRA Panembahan Didik ditelaah lebih lanjut, ternyata ada misteri yang sulit dijelaskan dan dipahami pihak lain, termasuk para panitia di lapangan yang “memaksa” kontingen Pakasa Kudus mundur menjadi barisan terakhir. Yaitu bahwa, upaya berdoa memohon agar hujan tidak cepat turun atau beralih, harus dipahami batas-batasnya.
Artinya, yang memohon itu hanya manusia yang punya keterbatasan, termasuk tim pawang berjumlah 6 orang yang dipimpin KRA Panembahan Didik itu. Bisanya hanya berdoa memohon kepada Allah SWT agar dikabulkan, hujan sedikit tertunda atau jatuh di lain tempat. Permohonan itu harus menggunakan alat, berupa keris, yang ternyata juga bervariasi tingkat “kemampuannya”.
Tetapi, kekesalan dan kejengkelan KRA Panembahan Kudus yang merasa “dipermainkan” karena tim pawang hujan yang berpuasa tetapi terlalu lama menahan hujan itu, cepat sirna oleh keberhasilan event kirab berjalan “sukses” tanpa hujan. Dan di sisi lain, Pakasa Kudus diakui telah mendapat pengalaman berharga, baik dalam pergaulan kirab HUT Pakasa dan FSBKN.
“Hujan yang baru turun Minggu siang (15/12), itu sudah maksimal. Jangan sampai melebihi itu. Karena, mungkin ada orang lain yang dirugikan akibat tidak hujan. Yang jelas, kami bangga ikut berpartisipasi menjadi peserta event itu. Juga bangga, karena doa kita terkabul, yaitu selama kirab tidak jadi hujan,” ujar KRA Panembahan Didik Gilingwesi. (Won Poerwono – bersambung/i1)