Upacara Peringatan Sumpah Pemuda di Depan Kraton, Penggugah Memori Kolektif Publik
IMNEWS.ID – BAHASAN soal jasa-jasa Kraton Mataram Surakarta dan para tokoh pemimpinnya, secara khusus akan disajikan seri-serti artikel berikutnya. Terlebih ada usulan dan permintaan serius dari beberapa sentana darah-dalem yang meneruskan pesan-pesan GKR Wandansari Koes Moertiyah dan mengartikulasinya, agar segera diwujudkan pemerintah.
KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro adalah salah seorang sentana trah darah-dalem Sinuhun PB V sekaligus Sinuhun PB X, yang belakangan banyak mengirim pesan kepada iMNews.id. Begitu juga Jhony Sosrodiningrat, salah seorang sentana trah darah-dalem Patih Sosronagoro V dari Patih Sindureja, yang merasa “tersulut” oleh suasana yang “tak pernah berpihak”.
Suasana perkembangan sosial, budaya dan politik secara nasional maupun lokal yang dirasakan semakin tidak berpihak pada fakta dan data kebenaran tentang jasa-jasa Kraton Mataram Surakarta dan para tokoh pentingnya. Para tokoh leluhurnya yang banyak berjasa untuk peradaban bangsa dan negara ini, justru nyaris tak kelihatan walau hanya di Kota Surakarta.
Menggugah kesadaran dan membuka memori kolektif publik tentang fakta dan data kebenaran tentang jasa-jasa Kraton Mataram Surakarta dan para tokoh penting pemimpinnya, adalah salah satu solusinya. Peristiwa upacara Sumpah Pemuda kedua yang diinisiasi Bebadan Kabinet 2004 pimpinan Gusti Moeng setelah yang pertama di tahun 2004, adalah wujud solusi itu.
Menggelar upacara peringatan Sumpah Pemuda (iMNews.id, 28/10) untuk menggugah kesadaran dan mengingatkan kembali publik peradaban secara luas tentang semua fakta dan data di atas, memang menjadi cara dan instrumen halus yang mudah direkam oleh memori kolektif publik. Karena, bentuk-bentuk solusi lain tidak dimiliki dan tidak mudah diwujudkan.
Kraton Mataram Surakarta kembali menggugah kesadaran dan memori kolektif dengan menggelar upacara Sumpah Pemuda yang berlangsung tepat tanggal 28 Oktober 20024 di halaman Kamandungan. Gusti Moeng selaku pimpinan “Bebadan Kabinet 2004” menjadi inspektur upacara yang diikuti 500-an peserta itu, dan KRAT Alex Pradnjono Wiroyudo selaku “Manggala”nya.
Sebelum upacara bendera itu digelar Senin (28/10), ada rangkaian tatacara persiapan yang berupa penyanggaran dan donga wilujengan untuk dua gulungan bendera Sang Saka Merah-Putih atau Sang Dwi Warna Gula-Klapa. Donga wilujengan di Pendapa Sitinggil Lor dan diikuti jajaran Bebadan Kabinet 2004 dan rombongan Komunitas Mataram Jaya Binangun (iMNews.id, 11/10).
Senin pagi, 28 Oktober itu, halaman Kamandungan ditutup dari arus lalu-lintas umum dan sepenuhnya digunakan untuk upara bendera peringatan Hari Sumpah Pemuda. Kegiatan menutup kepentingan lalu-lintas ini lebih tepat dan pantas, dari pada ditutup untuk pentas wayang kulit dan tari-tarian yang dikamuflase parade prajurit oleh beberapa oknum kerabat setempat.
Upacara bendera peringatan Sumpah Pemuda, serentak dilakukan di berbagai intansi negeri dan swasta secara nasional, pada Senin 28 Oktober 2024 itu. Tak terkecuali Kraton Mataram Surakarta yang notabene “hanya” lembaga masyarakat adat, tetapi memiliki kepentingan dan kaitan sejarah lebih rasional dibanding yang lain, atau sekadar pentas wayang dan tari-tarian.
Sekadar ilustrasi, beberapa kali halaman Kamandungan menjadi ajang kegiatan pentas seni khas kraton yang salah satunya dikamuflase dengan parade prajurit. Kegiatan itu atas nama kraton tetapi dilakukan oleh beberapa oknum kerabat yang berlaku seperto “EO”, tetapi oleh pihak otoritas “Bebadan Kabinet 2004” dianggap justru merendahkan martabat kraton.
“La wong katanya kerabat kraton dan atas nama kraton, kok menggelar kesenian khas kraton di halaman (Kamandungan). Itu kerabatnya yang tidak mudheng, atau pura-pura bodhoh? Kesenian kraton ada tempatnya sendiri yang pantas. Bisa digelar di Pendapa Pagelaran atau Pendapa Sitinggil. Bukan di jalanan. Itu ‘kan merendahkan martabatnya sendiri sebagai kerabat”.
“Kesenian kraton, apalagi wayang kulit, bukan seni jalanan. Itu yang harus dipahami,” tegas Gusti Moeng dalam beberapa kesempatan ngobrol dengan iMNews.id, beberapa waktu lalu. Secara terpisah, sikap kesal serupa juga pernah diungkapkan KPH Raditya Lintang Sasangka, budayawan sentana darah-dalem selaku “tindhih” berbagai kegiatan seni dan upacara adat.
Senin, 28 Oktober pagi itu, halaman Kamandungan menampilkan suasana yang jauh sangat berbeda, yaitu peristiwa upacara bendera yang diikuti sekitar 500 orang dari berbagai elemen. Tampak sejumlah siswa SD dari beberapa sekolah, SMP, SMK, anggota PSHT cabang kraton, semua bregada prajurit kraton, sentana dan abdi-dalem serta Korsik Korem 074 Warastratama.
Untuk kali kedua sejak upacara Hari Sumah Pemuda digelar di Alun-alun Kidul 2004, Gusti Moeng menjadi inspektur upacara. Komandan upacara, semula diharapkan peran KPH Bimo Djoyo Adilogo, tetapi mendadak sakit dan diganti KRAT Alex Pradjono Wiroyudo. BRAj Arum mendapat tugas membaca teks Sumpah Pemuda, sementara GKR Ayu Koes Indriyah membaca teks Pancasila.
Ada tiga elemen wayah-dalem yang menjadi pasukan pengibar bendera, dan lagu-lagu perjuangan bergema diringi Korsik TNI AD dari Korem 074 Warastratama, membuat suasana Kamandungan berubah, apalagi saat disuguhkan lagu “Gugur Bunga”. Sebagai inspektur upacara, Gusti Moeng berpidato mengungkap sejarah peran/jasa kraton dalam Sumpah Pemuda, uatamanya Sinuhun PB X. (Won Poerwono – bersambung/i1)