KPH Edy : “Hari Jadi Pakasa Digelar Bersamaan Festival Budaya Kraton-kraton se-Nusantara”
SURAKARTA, iMNews.id – Sabtu Pon (2/11) siang tadi, GKR Wandansari Koes Moertiyah menggelar peringatan ulang tahun (ultah) dirinya, yang tepat 67 tahun hitungan kalender Jawa pada 29 Bakda Mulud/Rabiulakhir Tahun Je 1958/1446 H ini. Peringatan ultah yang sangat sederhana di Bangsal Smarakata, ditandai dengan potong tumpeng dan donga wilujengan.
Resepsi ultah sekitar 64 tahun bila dihitung kalender Maeshi itu, tak ada acara inti lain selain potong nasi tumpeng dilanjutkan makan bersama nasi “gudhangan” khas “bancakan” versi tradisi Jawa. Di depan para kerabat keluarga dekat dan jajaran Bebadak Kabinet 2004 itu, peringatan ultah diisi sambutan Gusti Moeng dan KPH Edy Wirabhumi dengan “nguda rasa”.
Tampak hadir di situ, GKR Ayu Koes Indriyah, KPH Edy Wirabhumi dan salah seorang putrinya BRA Lung Ayu, beberapa figur wayah-dalem, para sentana darah-dalem dan sentana garap serta para abdi-dalem garap yang keseluruhan berjumlah sekitar 50-an orang. Peringatan Ultah yang dimulai sekitar pukul 10.30 WIB itu, berakhir sekitar pukul 12.00 WIB.
Sambutan tunggal datang dari Gusti Moeng yang intinya “nguda-rasa” (membahas/menginterpretasikan) tentang berbagai hal yang dialami kraton, dalam jangka panjang bila ditarik ke belakang sebelum kraton berada di pangkuan NKRI, dan jagka pendek yang baru-baru saja dialami. Sedangkan KPH Edy, meminta waktu untuk bicara sebagai kendali sambutan Gusti Moeng.
Hal yang pertama disinggung Gusti Moeng, adalah perjalanan Kraton Mataram Surakarta terutama saat berada di sekitar proses penggambungan wilayah Mataram Surakarta ke NKRI. Di situ, Gusti Moeng merangkai berbagai persoalan yang dihadapi kraton yang pada intinya melukiskan, bhawa NKRI yang pernah “dilahirkan” para leluhur Mataram, “tidak menepati janji”.
Secara khusus, Gusti Moeng tidak menyebutkan contoh yang disebut tidak menepati janji, tetapi hanya disinggung soal risalah sidang BPUPK hal yang semula dianggap masih “nguwongke” kraton. Tetapi setelah NKRI lahir hingga kini, realitanya dianggap jauh menyimpang. Secara samar, dia juga menyinggung nasib kraton di era presiden yang baru lewat.
Rangkaian peristiwa berikut yang disinggung, adalah momentum ritual haul Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma yang digelar pada 8 Agustus 2024 lalu. Dalam ritual itu digelar peristiwa penting bersejarah, eksekusi putusan MA oleh tim eksekusi dan juru sita Pengadilan Negeri Surakarta. Menurutnya, peritiwa itu menjelaskan legal standing kraton dan LDA.
“La wong sudah jelas begitu lo, kok masih nekat berjalan semaunya dan tidak mau mengakui serta tidak mematuhi keputusan hukum tertinggi di negeri ini. Upacara adat Mahesa Lawung yang mereka adakan itu, adalah bukti nyata tidak mau mengakui dan menjalankan putusan hukum dari MA tersebut. Kemarin itu, kami menerima kunjungan Menteri Kebudayaan Fadli Zon”.
“Mudah-mudahan, melalui diskusi kami (tertutup) dengan pak Menteri, pemerintah baru ini bisa mewujudkan saran dan usul kraton dalam lima tahun pemerintahan mendatang. Karena, di tahun 2018 kami pernah diajak bertemu pemerintah sebelumnya (Presiden Jokowi), tetapi ya, tidak ada hasilnya,” ujar GKR Wandansari atau Gusti Moeng saat “nguda-rasa”.
Setelah sambutan tunggal Gusti Moeng, ada usul menyela dari KPH Edy Wirabhumi untuk ikut berbicara, yang menurutnya harus ada yang diluruskan. Mengawali dengan ungkapan bahwa dirinya punya tugas mengendalikan atau “mengerem” (menginjak rem) saat Gusti Moeng berbicara atau “menjelaskan” esensi, maksud dan tujuan pembicaraan, KPH Edy mendekati Gusti Moeng.
Namun sebelum itu, KPH Edy Wirabhumi menyatakan sambil meminta maaf bahwa jajaran “Bebadan Kabinet 2004” yang diajak menerima kunjungan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, apalagi berdiskusi dengan pejabat tinggi negara itu, hanya beberapa orang saja. Karena, sifat diskusi dan dialog itu untuk kalangan yang sangat terbatas dan tertutup.
Setelah mendekat dan berada di balik punggung Gusti Moeng, sambil memijat-mijat punggung sang istri, KPH Edy Wirabhumi melanjutkan pembicaraannya bahwa apa yang dilakukan itu adalah tugas khusus untuk mengerem dan mengendalikan isi dan arah pembiacaraan sang istri. Karena, kalau sudah “panas” yang disebutnya “tensi tinggi”, menjadi sangat tajam isinya.
Tidak hanya tajam isinya, tetapi KPH Edy juga menyebut tajam kata-katanya, hingga harus cepat-cepat diredakan. Dan soal pertemuan terbatas saat menerima kunjungan Menteri Kebudayaan Fadli Zon itu, disebutkan tidak hanya membahas soal Kraton Mataram Surakarta. Tetapi juga membahas kraton-kraton anggota Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) yang dipimpinnya.
DPP MAKN yang dipimpin KPH Edy Wirabhumi beranggotakan 50-an kraton itu, baik Gusti Moeng maupun KPH Edy merupakan kraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat yang tersisa di Nusantara setelah NKRI lahir pada tahun 1945. Mereka itu juga anggota FKIKN yang dibentuk di Surakarta 1995, dan Gusti Moeng yang dipercaya selaku Sekjen-nya hingga kini.
“Tadinya mau diadakan di Pulau Rote/Ende, tetapi karena ada sedikit masalah, dipindah ke Surakarta. Dan Festival Budaya Kraton Nusantara tahun 2024 ini, akan digelar 13-15 Desember. Karena bersamaan dengan peringatan Hari Jadi ke-93 Pakasa, maka bisa berurutan. Meskipun hanya wilujengan pas tanggal 29 November nanti,” ujar KPH Edy Wirabhumi. (won-i1)