Sanggar Pasinaon Pambiwara, Lembaga “Pengabdian dan Perjuangan” Pelestari Budaya Jawa (seri 4 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:October 25, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Sanggar Pasinaon Pambiwara, Lembaga “Pengabdian dan Perjuangan” Pelestari Budaya Jawa (seri 4 – bersambung)
GAYA BICARA : Sebagai pemimpin yang punya kapasitas hampir lengkap dan cukup di segala bidang, justru membuat Gusti Moeng semakin "andhap-asor" ketika menempatkan diri dan menampilkan gaya bicaranya di berbagai kesempatan. Dia memang maestro seni dan pelestari Budaya Jawang yang sangat patut menjadi suri teladan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam Soal Mencintai dan Melestarikan Budayanya Sendiri, Kraton Punya Teladan Gusti Moeng

IMNEWS.ID – DALAM soal kepedulian, mencintai dan melestarikan Budaya Jawa sebagai fundamental hidup dalam peradaban yang telah menjadi milik “Bangsa Jawa” turun-temurun, kini masih ada tokoh handal yang bisa dijadikan teladan. Karena masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta masih punya Gusti Moeng, yang bisa dijadikan suri-teladan dan contoh ideal.

Anak ke-25 Sinuhun PB XII yang lahir dari Kangjeng Ratu Ageng Pradapaningrum itu tak hanya peduli, mencintai dan bisa melestarikan, tetapi memiliki kemampuan yang cukup untuk melestarikan Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton. Karena, koreografer tari khas kraton dan instruktur tari di kraton itu sudah membuktikan keteladanannya bertahun-tahun.

Pimpinan Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan dan beberapa lembaga sanggar yang kapasitasnya setara maestro itu, bahkan sudah membuktikan keteladanan, kepedulian, kecintaan dan tanggungjawabnya dengan memimpin berbagai upaya dalam rangka itu. Jadi, dalam soal pelestarian Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton, kuncinya ada pada “keteladanan”.

MENEMPATKAN SETARA : Kerabat kraton lain setingkat putra/putri-dalem, dalam berbagai kesempatan mungkin memilih tempat lebih tinggi. Tetapi sama sekali tidak bagi Gusti Moeng. Kalau sudah bertugas “ngeprak” dalam sebuah pertunjukan seni khas kraton, pasti duduk setara, lesehan di atas lantai (beralas) bersama abdi-dalem seniman. (fofo : iMNews.id/Won Poerwono)

Oleh sebab itu, secara pribadi maupun sebagai pemimpin, penerima penghargaan The Fukuoka Culture Prize Award dari Jepang tahun 2012 dan beberapa lembaga di luar negeri itu sangat layak disebut sebagai ujung tombak pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton. Kapasitas seperti itulah yang seharusnya menjadi contoh dan suri-teladan masyarakat luas.

Dengan segala plus dan minusnya, lembaga Sanggar Pasinaon Pambiwara bersama Pasipamartanya juga sudah membuktikan diri sebagai ujung tombang pelestari dan penjaga kelangsungan Budaya Jawa dan kraton. Tetapi, ada sementara pihak yang  berharap agar keluarga besar sanggar lebih “andhap-asor” dan tidak terlalu tinggi menempatkan diri dari yang lain.

Gusti Moeng bisa dicontoh dan diteladani, karena sebagai putri Raja nyaris tidak terlihat menempatkan dirinya lebih tinggi dari yang lain. Keteladanan seperti ini patut dicontoh kalangan sanggar pambiwara dan Pasipamartanya, juga para pejabat dan pensiunan setingkat Bupati/Wali Kota dan kepala dinas secara struktural ke atas yang “lupa asal-usulnya”.

WALAU UPACARA : Walau berada dalam upacara adat, bahkan memimpin upacara itupun Gusti Moeng selalu menempatkan diri setara dengan semua yang hadir. Dia memang seorang maestro seni, pejuang pelestari Budaya Jawa sekaligus pemimpin yang “andhap-asor” di berbagai kesempatan dan situasi. (fofo : iMNews.id/Won Poerwono)

Bukan hanya banyak, tetapi hampir semua pejabat pemerintah, TNI, Polri setingkat Bupati/Wali Kota dan kepala dinas sampai tingkatan negara yang sudah lupa asal-usulnya. Lupa bahwa pernah dilahirkan dari keluarga Jawa, lahir dan dididik di ligkungan keluarga berBudaya Jawa, tetapi tidak bisa menjadi teladan sebagai “wong” Jawa yang utuh dan tulen.

Pemimpin Jawa yang lupa asal-usulnya dan ikut arus menjadi golongan “republikan”, langsung atau tidak, sadar atau tidak sudah membawa diri dan pengikutnya ke dalam masalah besar, yaitu terancamnya keutuhan bangsa. Karena, keutuhan bangsa  tidak cukup dengan doktrin Pancasila, UUD 45 dan NKRI harga mati, tetapi perlu dijaga faktor/unsur kebhinekaannya.

Kebhinekaan adalah modal ketahanan budaya nasional dan ketahanan nasional. Pemimpin yang mengabaikan pelestarian budaya lokal (Budaya Jawa), berarti mengabaikan ketahanan kebhinekaan bangsa dan mengabaikan ketahanan nasional. Karena, Budaya Jawa adalah bagian dari “keindahan taman kebhinekaan” Bangsa Indonesia, yang jadi modal besar ketahanan budaya nasional.

PATUT DITELADANI : Menjadi pemimpin yang sangat memahami dan menguasai Budaya Jawa, Gusti Moeng justru selalu memperlihatkan keteladanannya untuk dicontoh orang lain, utamanya para pemimpin di berbagai lembaga dan tingkatan. Dia selalu menempatkan diri setara dengan orang lain, termasuk jalan kaki menuruni bukit. (fofo : iMNews.id/Won Poerwono)

Tetapi memang benar, keteladan yang sudah diberikan Gusti Moeng, mungkin juga ada keterbatasannya yang bisa berupa cakupan wilayah dan beberapa faktor lain di antaranya menyangkut soal simpati dan empati. Itu bisa diartikan, dari lingkungan keluarga kraton sendiri terutama keluarga inti juga mutlak harus menjadi teladan bagi lingkungan terdekatnya.

Inilah tantangan yang sangat besar, karena keluarga inti apalagi yang bergabung di lingkaran Sinuhun Suryo Partono (PB XIII), nyaris tak ada yang bisa dijadikan teladan baik dan ideal. Karena hampir semua yang bergabung di lingkaran itu adalah “orang-orang yang menjadi bagian dari masalah” (trouble maker) bukan orang-orang “trouble solver”.

“Nestinya, kerabat kraton juga memiliki karakter seperti yang dimiliki keluarga besar sanggar pambiwara dan Pasipamarta, kalau tidak ingin kratonnya punah,” ungkap tandas KPH Raditya Lintang Sasangka menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini. Dari pernyataannya yang tajam, jelas menandakan sinyalemen kuat bahwa ada masalah serius soal nasib kraton, kini.

TAK DIISTIMEWAKAN : Gusti Moeng pantas menjadi suri teladan bagi yang merasa “rong” Jawa dan ingin melestarikan Budaya Jawa. Karena di berbagai kesempatan, dia tidak ingin mendapatkan keistimewaan. Makan bersama para abdi-dalem Pakasa dengan menu seadanya dan lesehan di atas tikar, sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. (fofo : iMNews.id/Won Poerwono)

Gusti Moeng memang sudah lebih awal memberi isyarat tegas dan tandas, sebelumnya. Kurang lebih melukiskan bahwa kalangan kerabat (keluarga inti) kraton, sulit diharapkan apalagi diandalkan menjadi kekuatan penahan segala potensi ancaman terhadap kraton. Karena, selain mereka sudah tidak peduli, penguasaan kapasitas yang minim sulit dijadikan teladan.

Ancaman kraton akan punah memang sinyalemen yang serius, bila mencermati nasib dan perjalananan dalam beberapa dekade khususnya satu dekade terakhir misalnya insiden 2017-2022. Tetapi, kekhawatiran itu boleh ada dan upaya atau “wiradat” juga boleh dilakukan. Seperti yang dilakukan Gusti Moeng dalam sau dekade terakhir, menggalang kekuatan berbagai elemen.

Ada beberapa elemen kekuatan yang dilahirkan dan bisa dijadikan ujung tombak selain sanggar pambiwara dan Pasipamarta, yaitu lembaga organisasi Pakasa cabang. Ada lebih dari 40 pengurus cabang Pakasa terbentuk di berbagai daerah, yang bisa diandalkan menjadi pengganti kalangan kerabat dalam soal pelestarian Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton, kelak. (Won Poerwono – bersambung/i1)