Sanggar Pasinaon Pambiwara, Lembaga “Pengabdian dan Perjuangan” Pelestari Budaya Jawa (seri 5 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:October 26, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Sanggar Pasinaon Pambiwara, Lembaga “Pengabdian dan Perjuangan” Pelestari Budaya Jawa (seri 5 – bersambung)
AMATIR TAPI SERIUS : Perjuangan Dr Purwadi yang ingin meluruskan sejarah Mataram terutama Surakarta, patut diparesiasi. Karena, pelestarian Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton serta berbagai bentuk yang inovatif selama 20-an tahun terakhir, dilakukan secara swadaya dan berdikari di luar struktur kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dr Purwadi dan Tiga Pakasa Cabang, Elemen Ujung Tombak yang Menjadi “Problem Solver”

IMNEWS.ID – DARI 40 kepengurusan cabang Pakasa yang tersebar di berbagai daerah di Provinsi Jateng dan Jatim serta DIY, sebenarnya menjadi potensi ujung tombak luar biasa pelestarian Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta. Mereka kini sangat diharapkan menjadi “problem/trouble solver” yang sedang dihadapi Budaya Jawa dan kraton.

Secara umum, warga Pakasa yang sudah terhimpun dalam kepengurusan resmi dan yang masih embriyo serta tercecer belum terhimpun, hanya tinggal “memoles” sedikit oleh Sanggar Pasinaon Pambiwara dan Pasipamartanya. Karena, “modal” untuk menjadi ujung tombak pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton, ada pada sanggar dan paguyuban itu.

Karena begitu urgen dan mendesak Pakasa cabang menjadi ujung tombak pelestari dan penjaga kelangsungan kraton, maka sebenarnya “terapi poles” itu juga mendesak dilakukan sanggar pambiwara dan Pasipamarta. Atau diciptakan sebuah instrumen berisi para piawai dari dua elemen itu, karena Pakasa diharapkan menjadi sarana percepatan “problem solver”.

MENULIS BUKU : Selain menjadi dalang amatir tetapi serius menyajikan wayang dalam kaidah baku seni pedalangan, Dr Purwadi juga punya cara sendiri sebagai ujung tombak pelestari Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton. Yaitu menulis lebih 100 judul buku tentang seni budaya dan Kraton Mataram serta pioner penggerak seni budaya. (fofo : iMNews.id/Won Poerwono)

Melihat perjalanannya, dari 40 pengurus Pakasa cabang yang sudah resmi, banyak juga yang justru menjadi “trouble atau problem maker”, atau menjadi bagian dari “trouble” atau “problem” itu. Dan, sumber “trouble/problem maker” itu rata-rata justru dari kalangan pengurus dan unsur pimpinannya, contohnya pengurus Pakasa cabang di eks wilayah Surakarta “plus”.

Khusus dalam konteks menjadi ujung tombak pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton, posisi pengurus Pakasa di sejumlah cabang itu memang perlu dievaluasi atau mendesak dibenahi. Karena, ujung tombak ini yang paling banyak melibatkan massa jumlah besar yang datang dari masyarakat kelas menengah ke bawah, termasuk figur-figur pimpinannya.

Karena Pakasa cabang diharapkan menjadi ujung tombak yang “trouble solver” atau “problem solver”, maka mendesak perlu dievaluasi. Terutama cabang-cabang yang kini sedang bermasalah seperti di eks wilayah Surakarta “plus beberapa”, baik yang “selalu heboh saat haul” maupun yang “nyaris tak terdengar” suaranya perlu segera “dipoles” atau “diterapi”.

DENGAN PAKASA : Dalam memerankan sebagai ujung tombak dan “problem solver” dalam pelestarian Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton, Dr Purwadi berkolaborasi dengan banyak Pakasa cabang sebagai mitra dan objek potensialnya. Misalnya dengan Pakasa Cabang Jepara saat belajar aba-aba prajurit versi kraton. (fofo : iMNews.id/Won Poerwono)

Berbicara tentang yang sedang bermasalah, secara umum Kraton Mataram Surakarta bersama perangkat lembaga berbadan hukum yang menjadi pengelolanya (LDA), manajerial “Bebadan Kabinet 2004” dan seluruh keluarga besar masyarakat adat ini memang cukup lama berada dalam masalah besar. Semua merasakan menjadi bagian dari masalah yang dihadapi sejak 1945 hingga kini.

Tetapi, sejak dicapainya status dan posisi atau legal standing dan legal formal Kraton Mataram Surakarta melalui eksekusi dari Pengadilan Negeri (PN) Surakarta, 8 Agustus 2024, menjadi kebangkitan kraton kembali menuju posisinya sebagai “problem atau trouble solver”. Elemen LDA dan bebadan kabinet pelan-pelan melakukan “recovery” sebagai “solver”.

Tim eksekusi bersama jurusita PN Surakarta yang melakukan eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) No.87/Pdt.G/2019/PN Skt (Ska-Red) tanggal 29 Agustus 2022, yang dilakukan bersamaan dengan ritual haul wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (iMNews.id, 8/8), adalah peristiwa sejarah penting dan momentum kebangkitan bersama untuk mengatasi segala masalah.

PROBLEM SOLVER : Pakasa Cabang Kudus yang dipimpin KRA Panembahan Didik Gilingwesi adalah satu di antara sedikit cabang Pakasa yang bisa berperan sebagai “problem solver”. Karena, sosoknya mampu menginisiasi dan mengorganisasi event pelestarian Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton dengan swadaya dan mandiri. (fofo : iMNews.id/Won Poerwono)

Hingga kini, memang baru sanggar pambiwara bersama mitranya (Pasipamarta) dan Pakasa Punjer sampai cabang yang bisa diandalkan menjadi ujung tombak sekaligus menjadi “problem solver” atau pemberi solusi pemecahan masalah. Tetapi itu adalah tujuan ideal yang hendak dicapai, karena kini kondisinya justru banyak Pakasa cabang yang jadi “trouble maker”.

Tetapi, beruntung Kraton Mataram Surakarta punya elemen non-organisasi/sanggar alias hanya “single fighter” yaitu Dr Purwadi. Dosen pengajar di kampus universitas negeri yang juga anggota Pakasa cabang Jogja ini, adalah relawan lepas dari segala struktur yang ada di kraton, tetapi selama 20-an tahun terakhir hidupnya banyak disumbangkan ke kraton.

Peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja asal Mojorembun, Ngawi ini sangat pantas diapresiasi, karena “bersolo-carier” menjadi ujung tombak pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton secara swadaya dan berdikari. Kegiatan dan komitmen pribadinya sangat layak menjadi suri teladan publik, karena posisinya sebagai “problem solver”.

KALANGAN PENDIDIKAN : Dengan modal kapasitas yang memadai Pakasa Cabang Ponorogo dan figur ketuanya (KP MN Gendut Wreksodiningrat) bersama jaringannya, cabang ini mampu menjadi ujung tombak sekaligus “problem solver” untuk pelestarian Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton yang bisa masuk ke kalangan lembaga pendidikan. (fofo : iMNews.id/Won Poerwono)

“Saya tidak ingin menjadi bagian dari berbagai elemen di dalam kraton. Dan saya tidak ingin masuk di dalam elemen struktural di kraton. Tetapi, saya punya niat membantu mencarikan jalan bagi kraton dengan cara saya sendiri, untuk urusan pelestarian Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton. Dan, itu (menjadi ujung tombak-Red) sudah saya lakukan”.

“Sebisa mungkin dan sekuat tenaga, saya ingin jadi bagian dari ‘problem solver’ secara swadaya, mandiri. Beberapa cara yang sudah saya coba, dengan menulis buku hasil kajian saya tentang Mataram, dan khusus tentang Mataram Surakarta (ada 100-an judul). Saya juga bikin pentas wayang kulit, lakonnya dari Kraton Mataram khususnya Surakarta”.

“Lakon saya susun dan pemenntasannya atas seizin Pangarsa Lembaga Dewan Adat dan Pangarsa Pakasa Punjer, bahkan dibantu. Sudah beberapa tempat yang lakukan pentas. Terakhir di Sanggar Bandung Bandawasa, Desa Gondangan, Kecamatan Jogonalan, Klaten. Lakonnya Babad Kartasura; Amangkurat Amral. Di rumah, ada latihan karawitan bagi tetangga,” ujar Dr Purwadi. (Won Poerwono – bersambung/i1)