Cara Cerdas Membuktikan Kerangka Strategi “Perang Dingin” yang Sudah Dikuasai
IMNEWS.ID – “PERANG PANAS” atau sedikit terbuka yang terjadi menjelang tahun 2010 dan berubah menjadi “Perang dingin” sejak peristiwa “insiden mirip operasi militer 2017”, jelas menjadi bagian dari hubungan kausalitas dari berbagai peristiwa yang terjadi sebelumnya. Pada intinya, komposisi elemen yang berkolaborasi di “pihak seberang” tetap sama.
Yaitu, antara beberapa pihak yang sebelumnya tidak mau menerima tampilnya Sinuhun Suryo Partono di tahun 2004-2010, yang didukung BRAy Mooryati Soedibyo sebagai “mitra koalisi” yang berkolaborasi dengan penguasa. Yang sangat tampak memang penguasa daerah Jokowi-Rudy Hadiyatmo (Wali Kota-Wawali Surakarta), tetapi keduanya “menjalankan perintah atasannya”.
Dinamika perubahan peta koalisi dan kolaborasi terjadi setelah peristiwa “insiden mirip operasi militer 2017” itu. Beberapa pihak dari unsur “Bebadan” sebelum 2004, yang sebelumnya tidak mengakui Sinuhun Suryo Partono (PB XIII) dan “mendirikan” sendiri “Kraton Sasono Purnomo” dengan “Raja” Sinuhun PB XIII Tedjowulan, “pecah kongsi” dan berbalik arah.
Pengageng Parentah Kraton (GPH Dipokusumo), Pengageng Kusuma Wandawa (KGPH Hadi Prabowo) dan Pengageng Keputren (GK Ratu Alit) yang sejak Agustus 2004 “mendukung” jumenengnya GPH Tedjowulan sebagai PB XIII di “Kraton Sasono Purnomo”, beberapa tahun setelah itu bubar kongsi. GK Ratu Alit sudah “sumpah-serapah” tidak akan “menginjak kraton”.
“Sumpah-serapah” untuk tidak menginjakkan kaki di Kraton Mataram Surakarta “kalau” yang menjadi Sinuhun PB XIII anak lelaki tertua Sinuhun PB XII yang bernama Suryo Partono itu, diungkapkan secara langsung atau tidak langsung GKR Ratu Alit kepada GKR Galuh Kencana dan beberapa adiknya menjelang “jumenengan nata” Sinuhun PB XIII, September 2004.
Tetapi, baru mulai ada tanda-tanda “ontran-ontran” lanjutan menjelang 2010, GKR Galuh Kencana dan GKR Retno Dumilah mengungkapkan “sumpah-serapah” itu kepada harian Suara Merdeka”. Pernyataan itu bahkan beberapa kali diulang dua wanita “Pejuang Paugeran” itu, saat penulis aktif di media SMS.Com setelah tahun 2018 dan di media iMNews.id sejak tahun 2020.
Beberapa ilustrasi yang menggambarkan perjalanan periode munculnya “ontran-ontran” itu, untuk menjelaskan bahwa insiden “berebut dhawuh” di Bangsal Pradangga Masjid Agung, Senin (16/9) ada kaitannya secara kausalitas dengan peristiwa yang mendahului sebelumnya. Peristiwa itu berjalan dalam waktu yang panjang, sejak 2004 hingga 2024, belum selesai.
Oleh sebab itu, peristiwa “Bebadan Kabinet 2004” menjalankan strategi “setengah kopling” pada ritual puncak Sekaten Garebeg Mulud 2024 berupa prosesi hajad-dalem Gunungan, Senin (16/9), tentu ada kaitannya. Bahkan menjadi bagian dari rentetan “perang dingin” antara “pihak dua seberang”, yang tampaknya sudah sulit mewujudkan peristiwa damai 3/1/2023.
Ilustrasi soal “Tiga Bebadan Pengageng” yang dinyatakan sudah tidak berlaku sejak “Bebadan Kabinet 2004” berdiri, tetapi Pengageng Parentah Kraton “melegalkan diri” dan muncul sejak ada peristiwa “insiden mirip operasi militer 2017”, kembali ditegaskan secara hukum yang berlaku pasti, final dan mengikat melalui putusan Mahkamah Agung (MA), 29 Agustus 2022.
Tetapi, mungkin karena standar etika yang dimiliki sangat rendah, standar penalaran juga rendah ditambah standar ketaatan/kepatuhan pada hukum positif yang berlaku juga rendah, maka putusan Mahkamah Agung, 29 Agsutus 2022 itu nyaris tak punya daya sentuh sama sekali. Seakan-akan dianggap angin lalu, “tidak ngefek”, “tidak ngaruh” dan “tidak nendang”.
Karena, selama tahun 2023 nyaris tidak ada ritual adat yang bebas dari insiden gesekan antara “pihak” di dua “seberang” itu. Artinya, ada pihak yang memang sudah “gelap mata”, tidak paham dan tidak mau peduli paugeran adat karena memang rendah etikanya, dan tetap ngotot untuk merebut panggung/kewenangan karena rendahnya penalaran/tingkat ketaatan hukum.
Putusan MA (29 Agustus 2022) yang menghukum Sinuhun PB XIII, Kemendagri dan GPH Tedjowulan bersalah karena dianggap melakukan perbuatan melawan hukum, ternyata tidak mempan dan dianggap angin lalu. Maka, terjadilah peristiwa “Dekrit LDA/Bebadan Kabinet 2004”, 8 Agustus 2024, yaitu eksekusi atas putusan MA 2022 oleh Pengadilan Negeri (PN) Surakarta.
Tetapi, “Dekrit LDA 8 Agustus 2024” itupun masih dianggap angin lalu, karena terbukti masih muncul peristiwa “berebut dhawuh” pada Senin (9/9), kemudian tindakan antisipasif “setengah kopling” Senin (16/9). Bila dianalisis lebih lanjut, munculnya kembali lembaga Pengageng Parentah Kraton seperti yang tersebar luas di medsos itu memang sangat fenomenal.
Bisa dipandang fenomenal, karena lama sudah “terkubur” sejak 2004, ternyata muncul kembali menjadi “lembaga zombi” bersamaan dengan munculnya SK Kemendagri No 430-2933 Tahun 2017. Karena, setelah itu lahir “Bebadan baru” melalui SK No 007/2017, yaitu pengangkatan para Pengageng/Pangarsa dan SK No 008/2017 tentang tim asistensi pembentukan BP Kraton.
Dengan “Bebadan baru” hasil penyalahgunaan SK Kemendagri itu, “bangkitlah kembali dari kubur” lembaga Pengageng Parentah Kraton. Sinuhun PB XIII (GPH Tedjowulan) yang dinobatkan di “Kraton Sasono Purnomo” 2004, ditinggal begitu saja setelah “lembaga zombi” ini mencium aroma dana hibah dari Pemkot sejak 2017, yang patut dipertanyakan legal-standing-nya itu. (Won Poerwono-bersambung/i1)