Banyak Pihak Bisa Dirugikan Akibat “Sabotase” Terompet Berkategori Benda Cagar Budaya Itu
IMNEWS.ID – KALAU disebut sudah bisa “mengikhlaskan” mungkin antara ucapan dan isi hati, akan berbeda. Tetapi, kalau tidak bisa “diikhlaskan”, akankah barang yang sudah “ketelisut” bisa kembali dan kapan akan ditemukan. Sekilas perenungan yang berisi sejumlah pertanyaan itu, tentu merujuk pada satu peristiwa hilangnya terompet Mbah Glongsor.
Dan, mungkin saja suasana hati KRA Panembahan Didik “Alap-alap” Gilingwesi Hadinagoro, bisa bisa terlukis dalam kata-kata itu. Meskipun, secara terus terang belum pernah mengungkapkan “keikhlasannya” dalam soal terompet yang “ketelisut”, tetapi Ketua Pakasa Cabang Kudus itu masih terkesan berat melupakan peristiwa hilangnya terompet, pertengahan Juni itu.
Peristiwa hilangnya terompet dari almari di pos jaga makam Mbah Glongsor di Kampung Rendeng Wetan RW 01, Desa Rendeng, Kecamatan Kota itu, sulit dilupakan kalau atau “sulit dimaafkan” oleh KRA Panembahan Didik, karena beberapa alasan. misalnya, orang yang diduga bertanggungjawab “ketelisutnya” terompet itu, adalah orang yang sudah dikenal di kampung itu.
“Saya sampai menawarkan ganti rugi (hadiah-Red) yang lumayan besar kepada beberapa orang yang mau menjadi saksi soal ‘ketelisutnya” terompet itu, tetapi tidak ada yang mau. Beberapa orang itu mengaku melihat proses pindahnya terompet dari dalam pos jaga ke tempat lain. Mereka itu takut bersaksi, karena suatu saat orang yang diduga mengambil dendam”.
“Mereka itu tahu dan kenal orang yang diduga itu. Bahkan ada yang tahu terompet itu ada di sebuah rumah. Tetapi, mereka taku berbicara sebagai saksi, baik kalau kasus ini dilaporkan ke polisi. Mereka juga takut bersaksi, kalau misalnya ada cara kekeluargaan ditempuh untuk meminta baik-baik terompet itu. Ini ‘kan jadi buntu,” ujar KRA Panembahan Didik.
Sampai perbincangan terakhir iMNews.id dengan KRA Panembahan Didik, kemarin, upaya mengembalikan terompet dengan beberapa alternatif di atas sudah benar-benar buntu, karena faktor kesaksian sebagai unsur penentunya tidak terpenuhi. Dalam situasi dan kondisi seperti itulah yang membuat Ketua Pamong Makam Mbah Glongsor ini masih geram hingga kini.
Dalam suasana seperti itulah, pemilik Majlis Taklim Lembah Pedangkungan dan Majlis Taklim Alap-alapan ini belum bisa melupakan peristiwa itu, apalagi mengikhlaskan “ketelisutnya” terompet tersebut. Karena menurutnya, terompet itu bukan murni dicuri, tetapi diambil dengan motif tertentu yang bisa dikategorikan disembunyikan untuk tujuan “sabotase”.
Karena ada motif yang melatarbelakangi “ketelisutnya” terompet Mbah Glongsor alias KRT Prana Koesoemadjati itu, maka semakin diyakini bahwa terompet itu tidak murni dicuri yang biasanya karena motif kebutuhan ekonomis mendesak. Tetapi sekadar membalas atas kondisi riil yang diterima seseorang yang diduga, akibat kalah dalam kontenstasi pemilihan pamong.
Soal adanya hukum kausal antara terompet yang hilang dan kontestasi pemilihan pamong lingkungan itu memang perlu dibuktikan di ranah hukum, tetapi keterkaitan antara dua variabel itu sangat rasional. Dan pihak yang dirugikan secara langsung justru bukan rival dalam kontestasi itu, melainkan beberapa pihak lain yang saling berkaitan.
Pihak lembaga Desa Rendeng yang sudah 2-3 kali terangkat namanya, adalah pihak pertama yang dirugikan. Karena event kirab budaya yang mengangkat nama besar Mbah Glongsor, dengan simbol “terompet kuno” peninggalan tokoh prajurit yang melegenda itu. Desa Rendeng menjadi makin terkenal, karena menjadi satu-satunya desa yang punya lebel event unik.
Pihak yang “berpotensi” dirugikan berikutnya, adalah warga Kampung Rendeng Wetan dan Desa Rendeng secara keseluruhan, yang wilayahnya memiliki makam tokoh Mbah Glongsor, bahkan ditambah benda bersejarah (purbakala-Red) peninggalannya berupa terompet. Warga desa di situ kini masih memiliki makamnya, tetapi sudah kehilangan simbol “terompetnya”.
Terompet yang “ketelisut” dalam kategori sabotase itu, adalah simbol lain yang lebih meyakinkan dari berbagai sisi atas kebesaran nama Mbah Glongsor selain kompleks makamnya. Benda budaya bernilai purbakala yang bisa dikategorikan dilindungi UU Cagar Budaya No 11 tahun 2010 itu, menjadi simbol ikonik yang khas Rendeng dan Kudus yang banyak bernilai.
Dan, pihak terakhir berkait yang justru benar-benar merasa dirugikan, adalah KRA Panembahan Didik “Alap-alap” Gilingwesi Hadinagoro. Karena, posisinya sebagai Ketua Pamong Makam Mbah Glongsor dan tokoh (Ketua Pakasa Cabang Kudus), yang sudah mencoba menginisiasi sebuah atraksi event kirab budaya mengengkat nama besar Mbah Glongsor 2-3 kali dan sukses.
Inisiasi event kirab budaya yang sudah mengangkat nama Desa Rendeng dan Kabupaten Kudus itu, diakui atau tidak, langsung atau tidak, telah memberi manfaat yang banyak bagi masyarakat di tingkat RW, desa dan kabupaten. Terlebih, sebagai salah satu trah keturunan Mbah Glongsor dari kakek-neneknya, dia memiliki referensi yang cukup tentang riwayat Mbah Glongsor.
Cucu dari R Marto Darsono, seorang abdi-dalem di Kraton Mataram Surakarta (bukan R Kartowidjojo Soerat, (iMNews,26/8)-Red) itu, menyatakan merasa sangat berkepentingan dengan terompet yang “disabotase” itu. Karena, benda itu bisa menjadi simbol dan salah satu sarana menjalankan tugasnya sebagai Ketua Pakasa Cabang Kudus dalam pelestarian budaya Jawa. (Won Poerwono-bersambung/i1)