Provinsi Surakarta yang Disebut dalam Pasal 18 UUD 1945, adalah Hutang Negara yang Harus Dibayar
IMNEWS.ID – REFLEKSI 79 tahun keberadaan NKRI tepat pada 17 Agustus 1945, mungkin tidak jauh berbeda dengan renungan tentang hilangnya segala kedaulatan yang pernah dimiliki “nagari” (monarki) Kraton Mataram Surakarta. Terutama kedaulatan politik kewilayahan dan segala asetnya yang bisa dikelola dan menjadi sumber kehidupan masyarakat adatnya.
Dan yang lebih penting lagi, adalah kedaulatan atas kewibawaan, kehormatan, harkat dan martabatnya sebagai masyarakat adat penerus Dinasti Mataram. Sebab, masyarakat adat yang lahir, merawat dan dibesarkan oleh budaya Jawa ini, telah memiliki peradaban tinggi sejak abad 14, yang menjadi dasar fundamental segala kewibawaan, harkat dan martabatnya.
“Nagari” Mataram Islam Surakarta yang telah melahirkan budaya Jawa dalam sebuah peradaban sejak Mataram membangun dinasti di abad 16, sudah memiliki pedoman dan tuntunan dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Tata-nilai paugeran adat adalah konstitusi yang menjadi landasan fundamental para raja dan pemimpin yang lahir di lingkungan itu.
Tata-nilai paugeran adat yang menjadi konstitusinya, adalah landasan fundamental nilai-nilai hasil akulturasi antara budaya Jawa dengan Islam. Oleh sebab itu, para Raja dan pemimpin dari lingkungan itu rata-rata sangat bertanggungjawab pada “paugeran adat”, baik sebagai pemimpin negara, pemerintahan, agama, pemimpin adat dan sebagainya termasuk pemimpin “politik”.
Mencermati segala bentuk tata-nilai yang terwadahi dalam paugeran adat, pada dasarnya mengerucut pada estetika, etika dan hukum (tata negara). Maka dalam konteks zaman sekarang jika ada sementara pihak yang menyebut figur presiden identik dengan “Raja Jawa”, hasil identifikasi sepanjang 79 tahun sejarah republik ini, belum ada satupun yang mendekati.
Raja Jawa dan para pemimpin di lingkungan Mataram Islam hingga Surakarta (1745-1945), memang sangat bervariasi cirikhas dan karakter masing-masing figur tokohnya. Tetapi, kekuasaan yang nyaris absolut dimilikinya, tidak digunakan secara “Adigang, Adigung dan Adiguna” yang jauh dari kaidah estetika dan etika dalam menjalankan konstitusi negara.
Sepanjang sejarah kerajaan di Jawa terutama Mataram yang sudah memulai menata kelembagaan dalam kekuasaannya menggunakan format negara (monarki), tetap mendapat kontrol ketat oleh tata-nilai paugeran adat walau memiliki kekuasaan yang nyaris absolut. Kontrol ketat baik dari sistem yang sudah memakai instrumen tata-nilai, maupun pertimbangan lembaga penasihat.
Lembaga advisor pada zaman kerajaan, misalnya sepanjang Mataram Islam Surakarta, ada “paran para nata” dan “paran karsa nata” yang bertugas memberi saran/pertimbangan bersifat duniawi. Lembaga itu berisikan para cerdik pandai di bidang ekonomi, seni/budaya, tata-negara, pemerintahan, administrasi keilayahan, teknik, pertanian dan sebagainya.
Sedang lembaga yang bertugas memberi saran/pertimbangan yang bersifat spiritual religi, di dalamnya ada ahli-ahli filosofi dan spiritual kebatinan seperti kalangan Pujangga Jawa yang banyak dimiliki Kraton Mataram Surakarta. Kemudian juga dari kalangan spiritual religi atau yang menguasai masalah keagamaan dari kalangan pesantren.
Karena peran lembaga “paran para nata” dan lembaga “paran karsa nata” itulah, maka dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan para Raja dan pemimpin dari lingkungan kraton Mataram Islam, disebut “Sabda Pandita-Ratu”. Setiap keputusan dan kebijakan lembaga kraton melalui Raja atau pemimpinnya, sudah melalui proses yang mengakomodasi berbagai pendapat dan pertimbangan.
Berbagai pendapat dan pertimbangan itu tentu sangat mengedepankan asas manfaat bagi kemaslahatan orang banyak terutama rakyat atau kawulanya, dan untuk tujuan kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Maka. seorang Raja Jawa dan para pemimpin dari lingkungan itu, selalu sadar dan patuh terhadap tugas dan kewajiban untuk selalu “hamemayu-hayuning bawana”.
Sebagai kelengkapan tugas dan kewajiban, adalah “karya naktyas ing sasama” dan “memasuh memalaning bumi”. Seorang Raja atau pemimpin, harus sadar dan patuh untuk selalu menjaga kedamaian, keindahan dan harmoni kehidupan dunia. Dia juga harus selalu menjaga kenyamanan, ketenteraman hati dan rasa keadilan sesama. Dia juga dituntut ikut membasmi benih-benih kerusakan dunia.
Ketika dianalisis lebih dalam, pemimpin zaman modern yang diidentifikasi sebagai “Raja Jawa”, adalah pemimpin yang selalu konsisten antara ucapan dan perbuatannya, bukan “esuk omong dele”, sore omong tempe” alias “mencla-mencle”. “Raja Jawa” sangat menjunjung tinggi estetika dan etikanya, yaitu patuh dan taat menjalankan tugas dan kewajiban sesuai amanat konstitusi.
Presiden adalah pemimpin negara dan pemerintahan yang menjalankan tugas negara berdasarkan amanat konstitusi. Jika semua presiden memahami makna itu semua, maka pasal 18 UUD 1945 yang di dalamnya mengamanatkan Surakarta sebagai Daerah Istimewa setingkat Provinsi, pasti sudah selesai dan negara tidak menanggung hutang segala kewajiban yang melekat untuk itu.
Padahal, masih ada Perpres No 29 Tahun 1964 yang melahirkan SK Bersama Tiga Menteri (Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan) untuk “merawat” Kraton Mataram Surakarta. Semua itu, adalah bentuk “kompensasi” yang dijanjikan pasangan Soekarno-Hatta, karena Sinuhun PB XII menyatakan Kraton Mataram Surakarta “berdiri di belakang republik”.
(Won Poerwono-habis/i1).