Dimulai Tahun 1945, Kraton Kehilangan Kehormatan, Harkat dan Martabatnya yang Puncaknya April 2017
IMNEWS.ID – PERISTIWA “ontran-ontran” tahun 2004, kurang bijaksana dan kurang adil kalau memandang dan menilai hanya persoalan perpecahan keluarga besar putra/putri Sinuhun PB XII. Apalagi diberi label sekadar berebut kekuasaan dan sebagainya termasuk materi. Stigma itu sangat merusak, menyedihkan dan memalukan, tetapi tidak ada satupun indikasi yang membenarkannya.
Walau tudingan dan stigma negatif itu hingga kini belum terbukti kebenarannya, tetapi peristiwa itu telah menjadi bagian dari tema besar yang menjadi anggapan umum, bahwa Kraton Mataram Surakarta sejak tahun 2004 itu telah kehilangan kewibawaan, harkat dan martabatnya. Bahkan, banyak ahli menyebut, proses “kehilangan” itu dimulai sejak peristiwa 17 Agustus 1945.
Mengapa momentum tahun 2004 dijadikan contoh simbol hilangnya kewibawaan, harkat dan martabat kraton? Karena, di saat itulah masyarakat bangsa di alam republik itu baru menyaksikan peristiwa alih kepemimpinan atau pergantian “raja” dari Sinuhun PB XII ke penggantinya KGPH Hangabehi yang didukung seluruh elemen trah darah-dalem yang tergabung dalam Lembaga Dewan Adat.
Periode kelahiran NKRI, “kehilangan besar-besaran” yang dialami Kraton Mataram Surakarta, adalah beberapa kedaulatannya, tetapi diikuti hal-hal yang bersangkut-paut dengan itu, karena segala aset kekayaan kraton ikut “digondol”, habis. “Ludes-kewes, gusis-tapis kaya dinilat kadal”, begitu bahasa kiasan para dalang wayang kulit yang melukiskan “kekalahan perang”.
“Tetapi ingat!”, Kraton Mataram Surakarta bukan dan tidak pernah mengalami kalah perang dengan atau oleh siapapun pada 17 Agustus 1945. Tetapi, fakta riil yang terjadi menyatakan bahwa kraton diperlakukan seperti pihak yang kalah perang. Hampir semua aset kekayaan itu terkesan “dirampas”, bahkan “dijarah-rayah” dan diperlakukan seperti pihak yang kalah perang.
Pada periode itulah, kewibawaan, harkat dan martabat serta kehormatan Kraton Mataram Surakarta mulai “dilucuti” dan “ditelanjangi” atau dihancurkan. Padahal, Sinuhun PB XII adalah Raja pertama yang menyampaikan ucapan selamat kepada “Soekarno-Hatta” pada tanggal 18 Agustus 1945, sebagai tanda mengakui dan mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI.
Artinya, Kraton Mataram Surakarta adalah kraton atau “negara” (Monarki Mataram Surakarta) pertama yang mengakui kemerdekaan RI. Pernyataan tandas ini diucapkan Gusti Moeng berulang-ulang di berbagai kesempatan, di dalam dan di luar kraton, termasuk saat memberi sambutan pada ritual haul ke-391 tahun wafat Sultan Agung Hanyakrakusuma di Sasana Handrawina, Kamis (8/8).
“Saya sudah berulang-kali menegaskan ini. Bahwa Kraton Mataram Surakarta adalah kraton sekaligus ‘negara’ pertama yang mengakui dan mengdukung kemerdekaan RI. Karena, pada tanggal 18 (Agustus 1945) Sinuhun PB XII yang pertama kali mengirim ucapan selamat atas kemerdekaan RI. Saya juga sudah mendapat risalah sidang BPUPK dari Mahkamah Konstitusi (MK)”.
Penegasan Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA itu juga disinggung KPH Edy Wirabhumi dalam sambutannya, yang disaksikan rombongan tim eksekusi PN Surakarta karena ikut bergabung di Sasana Handrawina, sebelum ritual haul dimulai, Kamis (8/8) itu. Menurutnya, walau status Provinsi DIS belum terwujud masih ada waktu, tetapi masyarakat adat akan terus eksis bersama MAKN.
Yang ditandaskan Gusti Moeng dan yang disebut KPH Edy Wirabhumi (Pimpinan Eksekutif LHKS) itu, tentu berkaitan dengan soal kraton yang “kehilangan” kewibawaan, kehormatan, harkat dan martabatnya sejak peristiwa lahirnya NKRI itu. Begitu juga dengan peristiwa alih suksesi tahun 2004, yang jelas sekali menjadi periode “kehilangan” berikutnya setelah 1945.
Karena, di saat itu ada “Raja tandingan” atau “Raja kembar” selain KGPH Hangabehi, yang justru “didukung” pemerintah RI mulai pusat hingga daerah. Melalui oknum atau secara kelembagaan, pemerintah dalam berbagai tingkatan dan bidang, ikut mendukung dan memfasilitasi penyelenggaraan “jumenengan” KGPH Tedjowulan di gedung pertemuan Sasana Purnama (Sasono Purnomo-Red).
Jumenengan Sinuhun PB XIII di luar “habitat adat” pada Agustus 2004 itu, disponsori seorang pengusaha kosmetik terkenal yang “diduga” juga menyeponsori Jokowi saat menjadi Gubernur DKI 2012 dan Presiden RI 2014. Oleh sebab itu, terjadinya peristiwa “insiden mirip operasi militer” pada 15 April 2017, sulit dilepaskan dari keterlibatan pihak-pihak yang berkolaborasi itu.
“Ontran-ontran” 2004 yang melahirkan “Raja kembar” itu, jelas telah menelanjangi kewibawaan, kehormatan, harkat dan martabat” kraton. Tetapi yang menjadi puncaknya, adalah peristiwa “insiden mirip operasi militer” pada 15 April 2017. Karena inilah yang sebenarnya “bisa disebut” sebagai “perbuatan melawan hukum”, “yang juga pantas” masuk dalam amar eksekusi PN Surakarta.
Juru sita tim eksekusi PN Surakarta yang dipimpin Dr Asep Dedi Suwasta SH MH (Panitera PN), Kamis pagi (8/8) itu dengan tegas menyebut, “Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) karena menyalahgunakan SK Kementerian Dalam Negeri No 430-2933 Tahun 2017, tentang penetapan status dan pengelolaan Kraton (Kasunanan) Surakarta.
Eksekusi itu juga menyebut “Menghukum akibat perbuatan melawan hukum tergugat untuk mengganti seluruh kerugian materiil maupun nonmateriil yang ditimbulkan akibat perbutannya. Sinuhun PB XIII sebagai tergugat disebut telah sewenang-wenang untuk kepentingandan keuntungan diri, dengan membentuk dan menetapkan Bebadan baru dan melakukan “penggembokan” semua pintu. (Won Poerwono-bersambung/i1)