Setelah 20 Tahun, “Ontran-ontran” di Kraton Mataram Surakarta Berakhir dengan “Eksekusi” (seri 1 -bersambung)

  • Post author:
  • Post published:August 9, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Setelah 20 Tahun, “Ontran-ontran” di Kraton Mataram Surakarta Berakhir dengan “Eksekusi” (seri 1 -bersambung)
DARI SITINGGIL LOR : Para prajurit Bregada Tamtama dan Korsik Drumbandnya memandu prosesi arak-arakan pembawa uba-rampe wilujengan haul dari kompleks Sitinggil Lor tiba di halaman Kamandungan. Prosesi berhenti di depan "gedhong" Sasana Handrawina, tempat ritual haul wafat Sultan Agung digelar, Kamis (9/8) siang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Lahir “Dekrit” Lembaga Dewan Adat (LDA) 2024, Kembali ke “Bebadan Kabinet 2004”

IMNEWS.ID – GELAR ritual haul peringatan ke-391 tahun (Jawa) wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645) yang digelar di “gedhong” Sasana Handrawina, Kamis (8/8), menjadi catatan besar sejarah Kraton Mataram Surakarta di alam NKRI. Menjadi catatan perjalanan 79 tahun hingga 2024 ini, setelah 200 tahun pemerintahan monarki Mataram Surakarta (1745-1945).

Upacara adat memperingati wafat Raja ke-3 Mataram atau Raja-1 Mataram Islam itu, digelar “Bebadan Kabinet 2004” pimpinan Gusti Moeng sebagai Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA dengan keagungan dan kemegahan, walau dalam suasana prihatin. Tatacara adat yang genap dilaksanakan tahap demi tahap, mengekspresikan sebuah estetika dan etika tinggi khas Jawa, kraton.

Citra visual dan pemandangannya berbeda sekali ketika dibandingkan dengan upacara adat haul yang sering digelar di makam para tokoh leluhur Dinasti Mataram, seperti yang banyak diikuti iMNews.id di wilayah Kabupaten Pati, Grobogan, Jepara, Ponorogo (Jatim) dan dan beberapa tempat lain. Tatacara adat kraton dengan semua daya dukungnya, jadi titik pembedanya.  

PAPAN NAMA RAJA : Para peserta prosesi arak-arakan yang memperagakan rombongan pembawa uba-rampe wilujengan dari para Raja Mataram sampai di depan Sasana Handrawina. Mereka membawa papan nama Raja sesuai urutannya pada haul 391 tahun (Jawa) wafat Sultan Agung yang digelar di Sasana Handrawina, Kamis (9/8) siang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ada sebuah prosesi sebelum puncak acara dalam bentuk arak-arakan kecil para sentana dan abdi-dalem dan yang membawa uba-rampe wilujengan haul, dilakukan dari kompleks Sitinggil Lor menuju pusat upacara, “gedhong” Sasana Handrawina. Daya dukung tempat dan berbagai “view”nya, sangat mengesankan dan sulit “ditandingi” prosesi ritual serupa di luar kraton.

Selain atribut yang disertakan dalam prosesi, kehadiran beberapa Bregada Prajurit dengan Korsik Drumband Prajurit Tamtama, menjadi “aksesori” sekaligus daya dukung yang tidak bisa tergantikan. Kehadirannya menjadi lengkap sebagai sebuah atraksi ritual tatacara adat khas dan simbolik kebesaran, kemegahan dan keagungan Kraton Mataram Surakarta.

Tampilnya “display” papan-nama identitas nama Raja Mataram secara urut mulai Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma hingga Sinuhun PB XIII, memang menjadi pemanis sekaligus pelengkap. Tetapi aksesori tambahan itu bisa menjelaskan makna ritualnya, serta memudahkan bagi kalangan masyarakat adat mengedukasi diri tentang raja-raja Mataram secara denap dan urut.

SUASANA SUKA-CITA : Peristiwa ritual haul 391 tahun (Jawa) wafat Sultan Agung yang digelar “Bebadan Kabinet 2004”, memperlihatkan suasana suka-cita bagi semua sentana dan abdi-dalem yang tampak memenuhi “gedhong” Sasana Handrawina, Kamis (9/8) siang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena ritual haul yang diperingati adalah Sinuhun Sultan Agung, maka ditampilkan “display” papan nama mulai Raja ke-3 Kraton Mataram itu, hingga Raja ke-22 Kraton Mataram di Surakarta Hadiningrat ini. Jadi, ada 22 papan nama dan beberapa “tambir” berisi uba-rampe wilujengan, yang “disongsong” (dipayungi) para abdi-dalem dan dikawal beberapa sentana.

Kalau di seri-seri tema tulisan terdahulu tersebut ada 35 sentana-garap dan sentana-dalem, pada ritual Kamis siang itu sangat tidak lengkap kehadirannya. Tetapi hanya beberapa saja, karena sentana-dalem dari kalangan wayah-dalem Sinuhun PB XII hanya kelihatan KPH Bimo Djoyo Adilogo (Bupati Juru-Kunci Astana Pajimatan Imogiri) dan “dua adiknya”.

KRMH Suryo Manikmoyo dan KRMH Suryo Kusumo Wibowo jelas tampil ikut sibuk dalam tugas masing-masing, meskipun putra mahkota KGPH Hangabehi yang selalu dijadikan “panutan” tidak tampak hadir. Para sentana-dalem sepuh justru banyak kelihatan, mulai KPH Adipati Sangkoyo Mangunkusumo hingga KPP Haryo Sinawung Waluyoputro sebagai sentana-dalem termuda.

“PEMBACAAN DEKRIT” : Petugas juru-sita dari Pengadilan Negeri (PN) Surakarta saat membacakan amar eksekusi atas keputusan Mahkamah Agung (MA) di depan Kori Kamandungan, Kamis (9/8) pagi. Amar eksekusi itu isinya kurang-lebih mirip “dekrit” Lembaga Dewan Adat (LDA) untuk kembali ke “Bebadan Kabinet 2004”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena dari kalangan sentana hanya hadir belasan orang, maka tidak salah jika kalangan pengurus Pakasa Cabang terlibat penuh pada bagian awal prosesi ritual ini. Sebut saja KRA Bambang S Adiningrat (Ketua Pakasa Cabang Jepara), yang ikut membawa uba-rampe wilujengan. Dia datang “sowan” bersama rombongan belasan orang dari Kabupaten Jepara.

Walau tidak tampak dalam barisan prosesi, tetapi KP MN Gendut Wreksodiningrat (Ketua Pakasa Cabang Ponorogo), KRT Suyono Sastroredjo (Ketua Harian Pakasa Cabang Ngawi), KRT Sukoco (Ketua Pakasa Cabang Nganjuk), KRAT Mulyadi Puspopustoko (Ketua Pakasa Cabang Pati) dan KRAT Heru Arif Pianto Widyonagoro (Ketua Pakasa Cabang Pacitan) tampak sowan dengan rombongan.

Masih banyak romongan Pakasa cabang lain yang tampak hadir pada ritual bersejarah itu, walau tidak bersama figur ketua atau pengurusnya. Misalnya rombongan utusan dari pengurus Pakasa Cabang Kudus, yang tidak disertai ketuanya (KRA Panembahan Didik) karena sedang mengurus anaknya yang opnam di rumah-sakit. Begitu pula dari Klaten dan Boyolali.

“BEBADAN KABINET 2004” : Suasana saat jajaran “Bebadan Kabinet 2004” mengucapkan “sumpah prasetya” di Sasana Handrawina, di hadapan KGPH Hangabehi yang didukung dan dipercaya mengemban amanat sebagai Sinuhun (PB XIII) pada bulan September 2004. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pakasa Cabang (Kabupaten) Sukoharjo yang banyak diwakili warga Desa Jatisobo, Kecamatan Polokarto, hadir dalam penampilan yang berbeda dengan cabang lain. Karena, hampir selalu tampil dalam formasi sajian musik religi “Santiswara” yang diiringi gamelan “Laras Madya”, hampir sama dengan yang sering dibawa rombongan Pakasa Cabang Klaten.

Begitu prosesi arak-arakan yang membawa uba-rampe wilujengan sampai di “gedhong” Sasana Handrawina, tak lama kemudian tatacara upacara adat haul dimulai. Sajian musik “Santiswara” selalu tampil menyela menjadi penanda bergantinya tahapan tatacara, seperti ketika ada bedah buku Ensiklopedi Pabrik Gula dan penjelasan soal eksekusi putusan Mahkamah Agung.

Bedah buku Ensiklopedi Pabrik Gula dan penjelasan soal eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) itu, jelas menjadi titik pembeda lagi yang sulit “ditandingi”. Tetapi, yang lebih penting dari adanya dua acara tambahan itu terletak pada esensi isinya. Yaitu lahirnya “Dekrit Lembaga Dewan Adat (LDA) 2024”, yang “memerintahkan” kembali pada “Bebadan Kabinet 2004”. (Won Poerwono-bersambung/i1).