Setelah Abad 15, Kabupaten Kudus Tetap Menjadi Kota Religi, Kawasan Industri dan Dagang (seri 4 – habis)

  • Post author:
  • Post published:July 31, 2024
  • Post category:Regional
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Setelah Abad 15, Kabupaten Kudus Tetap Menjadi Kota Religi, Kawasan Industri dan Dagang (seri 4 – habis)
SIMBOL RELIGI : Menara Kudus yang masih berdiri megah di tengah kota Kabupaten Kudus, adalah salah satu simbol Kota Religi selain ciri kota dagang dan industri yang masih bertahan hingga kini. (foto : iMNews.id/Dok)

Upaya Pelestarian Budaya Menghadapi Kompleksitas Persoalan, Pakasa Hadir Mempersatukan

IMNEWS.ID – KAJIAN sejarah yang dilakukan peneliti dari Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi, menyebutkan bahwa di saat anasir komunis, sosialis, sekaligus liberal yang berurutan masuk ke Nusantara jauh sebelum NKRI lahir, jelas sangat berpengaruh terhadap kota-kota besar di Jawa yang sebelumnya sudah memiliki peradaban Jawa dan religi cukup tinggi.

Cirikhas peradaban Jawa yang bahkan telah menjadi ikon sejumlah wilayah sebaran Budaya Jawa, yang sekaligus menjadi wilayah “kerja syi’ar” para Wali Sanga, pelan-pelan tertutup dan redup bahkan luntur. Karena gencarnya pengaruh sosialis, komunis dan kapitalisme industri liberal yang bahkan masuk ke dalam kegiatan tata-niaga (dagang).

Kompleksitas berbagai persoalan yang dihadapi bangsa jauh sebelum, menjelang dan pasca-lahirnya NKRI itu, juga dialami Kabupaten Kudus. Di satu sisi, Kudus terus memperlihatkan kemajuan di berbagai bidang seperti ekonomi, dagang dan religi, tetapi di sisi lain kepribadian asli berkarakter akulturatif Budaya Jawa dan religi itu sudah luntur.

“Masuknya berbagai anasir dan pengaruh itu, malah membenturkan antara Kudus yang lekat ajaran Wali Sanga dengan daerah lain seperti Pati, yang banyak berlatar-belakang Kyai non-Wali Sanga. Bahkan dibenturkan dengan Kraton Mataram. Termasuk Mataram Surakarta. Skenario pembenturan itu dibuat melalui cerita-cerita ketoprak,” turut Dr Purwadi menjawab iMNews.id.

SIMBOL SANTRI : Ibunda KRA Panembahan Didik Gilingwesi (Ketua Pakasa Cabang Kudus), memiliki Alqur’an berukuran jumbo berusia ratusan tahun yang hingga kini masih terawat baik di kediamannya. Ini juga bagian dari Majlis Pedangkungan, cermin Kudus sebagai Kota Santri. (foto : iMNews.id/Dok)

Dalam beberapa percakapan, peneliti sejarah yang banyak membuat kajian sejarah khususnya Mataram Surakarta itu banyak menemukan data kait-mengkait saat ditarik benang merah, antara pembuatan skenario melalui cerita ketoprak dan proses delegitimasi, desakralisasi serta demitosisasi Budaya Jawa dan religi khususnya dalam perjalanan masyarakat Kudus.

Kabupaten Kudus memang menjadi kasus tersendiri yang menarik, tetapi proses delegitimasi, desakralisasi dan demitosisasi dalam Budaya Jawa itu terjadi di semua daerah, khususnya di bekas eks wilayah kedaulatan “nagari” Mataram Surakarta. Ini merupakan bagian dari skenario besar yang muncul sejak NKRI berdiri, karena menginginkan tidak ada lagi budaya kerajaan.

“Dan sebenarnya sejak tahun 1920-an, yang artinya masih jauh dari lahirnya NKRI (1945), pengaruh sosialis dan komunis itu sudah masuk ke mana-mana, termasuk di Indonesia. Yang terakhir menyusul masuknya pengaruh industri kapitalis liberal dari Amerika (USA). Pengaruh ini yang tidak menghendaki semua dianggap berbau kraton, sakral, tradisional “.

“Maka, sejak saat itu ekonomi di Indonesia menjadi liberal kapitalis, apalagi di lingkungan industrinya. Termasuk di Kudus, perekonomian berkembang ke arah itu. Maka tidak aneh, ikut melunturkan cirikhas budaya dan religinya yang sangat toleran itu. Kegiatan ekonomi yang tidak berbasis kapital, liberal dan industri, ikut tersingkir,” ujar Dr Purwadi.

GAYA SANTRI : Dalam keseharian pada berbagai kegiatan di tempat asal di tengah kota Kabupaten Kudus, KRA Panembahan Didik Gilingwesi (Ketua Pakasa Cabang Kudus) selalu tampil dengan ciri santri yang menjadi simbol ikonik Kudus. Dia adalah ikon masyarakat adat Mataram Surakarta ketika sudah berbusana adat Jawa. (foto : iMNews.id/Dok)

Pengaruh sosialis, komunis dan disusul kapitalis, liberal industri itu selain berkembang dalam kebijakan pemerintah dan praktik langsung di lapangan, sangat dirasakan di kalangan masyarakat adat dan masyarakat Jawa pada umumnya. Karena, para pecinta dan pelaku seni budaya di dalamnya, justru dipakai untuk propaganda yang bersifat “merusak” hubungan.

Lahirnya begitu banyak tobong ketoprak dan siaran pentas ketoprak melalui radio di berbagai daerah di Jateng, Jatim dan DIY mulai era 1970-1990-an, banyak merugikan masyarakat adat dan pecinta Budaya Jawa. Tak terkecuali bagi masyarakat Kabupaten Kudus yang sering dibenturkan dengan masyarakat Pati, melalui cerita-cerita ketoprak.

Melalui Departemen P dan K yang di dalamnya ada Dirjen Kebudayaan pada era 1970-1990-an itu, banyak menggunakan seniman dan pelaku seni yang sudah terpapar sosialis-komunis, untuk mengkreasi cerita-cerita ketoprak yang intinya mengadu-domba antara masyarakat adat (kraton), masyarakat spiritual kebatinan (aliran kepercayaan) dan masyarakat religi.

“Beberapa seniman Jogja juga digunakan untuk menyusun skenario cerita. Karena, di wilayah Jogja juga banyak grup ketoprak. Termasuk wilayah Kabupaten Klaten yang berdekatan. Hampir semua ceritanya dibuat menyimpang dari fakta riil sejarahnya. Baik tokoh, lokasi maupun penilaian terhadap lokasinya, sering dibuat sebaliknya,” tunjuk Dr Purwadi.

INI CONTOHNYA : Dalam penampilan seperti inilah contohnya, KRA Panembahan Didik Gilingwesi (Ketua Pakasa Cabang Kudus) dan sang ibu, adalah beberapa di antara masyarakat adat di Kabupaten Kudus yang selalu konsisten mengenakan busana adat Jawa, terutama saat mengikuti ritual adat, belum lama ini. (foto : iMNews.id/Dok)

Profil berbagai daerah di bekas wilayah “nagari” Mataram Surakarta yang seakan tak ada hubungan dan terkesan tidak punya ciri-ciri sejenis itu, berjalan cukup lama di alam republik ini. Negara melalui tangan panjangnya di tingkat provinsi dan kabupaten, seakan membiarkan suasana hubungan yang semakin saling bersaing dan merasa mandiri berdiri sendiri.

Tetapi, seiring dengan lahirnya kesadaran bersama tentang adanya sebuah lembaga yang pernah menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat peradaban Jawa, telah menjadi titik awal kebangkitan kesadaran yang lebih luas terhadap keberadaan peradaban, Budaya Jawa dan lembaga Kraton Mataram Surakarta. Terlebih, ketika organisasi Pakasa difungsikan kembali.

Organisasi Pakasa yang lahir di Kraton Mataram Surakarta pada 29 November 1931 saat Sinuhun PB X jumeneng nata (1893-1939), mulai difungsikan kembali untuk mendukung jumenengnya KGPH Hangabehi sebagai Sinuhun PB XIII pada tahun 2004. Pelan-pelan, organisasi Pakasa diaktualisasi sesuai kebutuhan di lapangan dan sesuai perkembangan zamannya.

Kini, organisasi Pakasa berkembang di berbagai daerah di provinsi Jateng, Jatim dan Jogja dalam format kepengurusan cabang. Melalui organisasi Pakasa cabang inilah, Kabupaten Kudus yang masih berada di satu kawasan di sekitar Gunung Muria seperti kabupaten Pati, Jepara dan Demak, bisa tersambung kembali tali silaturahminya.

DIALOG SESAMA : Pertemuan antara KRA Bambang S Adiningrat (Ketua Pakasa Cabang Jepara) dan KRA Panembahan Didik Gilingwesi (Ketua Pakasa Cabang Kudus) dalam suasana seperti ini, adalah suasana dialog antar sesama representasi Pakasa cabang yang telah menyatukan semangat melestarikan Budaya Jawa yang bersumber dari kraton. (foto : iMNews.id/Dok)

Tiap-tiap kabupaten yang masih memiliki masyarakat adat dan lokasi makam/petilasan/pesanggrahan para tokoh leluhur Dinasti Mataram, mulai bangkit menjalin ikatan silaturahmi kekerabatan. Baik dengan Pakasa cabang terdekat yang memiliki latar-belakang kesejarahan dan ciri yang sama, maupun dengan Mataram Surakarta sebagai induk peradaban pengayomnya.

Pakasa Punjer menjadi jembatan yang bisa menata kembali hubungan kekerabatan antar Pakasa cabang, dengan Punjer maupun dengan kraton sebagai lembaga pengayomnya (LDA). Terwujudnya ikatan di antara masyarakat adat di bawah bendera Mataram itu akan menjadi sebuah keniscayaan, yang bisa memulihkan suasana kehidupan adat, budaya dan religi Kudus dan lainnya. (Won Poerwono-habis/i1)