Kesempatan “Ngalab Berkah” Ritual Kraton yang Semakin Terbuka Melalui Pintu Pakasa Cabang (seri 2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:July 26, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Kesempatan “Ngalab Berkah” Ritual Kraton yang Semakin Terbuka Melalui Pintu Pakasa Cabang (seri 2-bersambung)
PEMANDANGAN BEDA : Pada ritual "Jenang Suran" 17 Sura Tahun Je 1958 yang digelar Selasa malam (23/7), ruang "gedhong" Sasana Handrawina menampakkan pemandangan yang berbeda dengan tahun-tahun sebelum 2017. Karena, ruang itu nyaris penuh oleh lebih 800-an masyarakat adat yang sowan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tampilnya Putra Mahkota KGPH Hangabehi Menjawab Kerinduan dan Menenteramkan Masyarakat Adat

IMNEWS.ID – BERLANGSUNGNYA upacara adat “pengetan hadeging nagari” Mataram Surakarta ke-288 tahun Jawa Je 1958 pada 17 Sura atau 279 tahun Masehi yang tepat pada Selasa (23/7) lalu dalam suasana yang lebih baik, tentu sangat dirindukan  jajaran “Bebadan Kabinet 2004” dan berbagai elemen masyarakat adatnya, terutama Pakasa cabang yang datang dari jauh.

Kerinduan yang terpenuhi itu terwujud dalam suasana ritual yang di “gedhong” Sasana Handrawina, Selasa malam (23/7) itu. Rasanya seakan mengulang peristiwa ritual dan di tempat yang sama, yang terjadi di tahun-tahun sebelum 2017. Sasana Handrawina selalu penuh oleh semua yang menghadiri pisowanan, walau tak sebanyak Selasa malam lebih 800 orang yang hadir.

Suasana yang lebih menenteramkan dari sisi jumlah abdi-dalem yang datang “ngalab berkah” ritual “Jenang Suran”, adalah sisi baik yang bisa disebut sisi perkembangan yang baik. Bahkan, menjadi tanda-tanda akan datangnya harapan ideal kelak di masa mendatang, yaitu jaminan datangnya potensi legitimasi masyarakat adat yang “ngalab berkah” ritual di kraton.

Seperti sudah diisyaratkan Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA, bahwa legitimasi masyarakat adat yang “ngalab berkah” ritual sekaligus daya dukung lestarinya Budaya Jawa dan kelangsungan Kraton Mataram Surakarta, akan datang melalui jalur elemen-elemen yang hadir pada ritual seperti yang digelar Selasa malam (23/7) itu.

MEMBERIKAN UJUB : Putra mahkota KGPH Hangabehi yang tampak hadir dalam pisowanan ritual “Jenang Suran” 17 Sura Tahun Je 1958 yang digelar Selasa malam (23/7) itu, mendapat tugas memberi “dhawuh ujub” kepada RT Irawan Wijaya Pujodipuro untuk memimpin donga wilujengan di Sasana Handrawina. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sisi positif dan perkembangan yang lebih baik memang selalu menjadi harapan dan tujuan setiap orang, terutama masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, terlebih jajaran “Bebadan Kabinet 2004” dengan semua elemennya. Karena, jajaran “gerbong” yang dipimpin Gusti Moeng ini, sedang berada dalam proses pemulihan “cedera” akibat berbagai insiden yang pernah terjadi.

Insiden yang terjadi sejak 2004 hingga yang terakhir dialami selama 6 tahun (2017-2022), tentu memberi “luka” atau cedera yang luar biasa parah. Luka dan cedera itu menjadi fakta riril yang negatif atau tidak baik, walau ada suasana sebaliknya yang baik dan perkembangan positif dari upaya-upaya “penyembuhan” luka dan “pemulihan” dari cedera tersebut.

Sisi positif dan perkembangan yang lebih baik yang sudah terwujud dalam ritual “Jenang Suran” pada 17 Sura Tahun Je 1958 atau 17 Muharam Tahun 1446 Hijriyah, Selasa (23/7) itu, tentu sangat berpengaruh pada suasana psikis kalangan masyarakat adat yang dipimpin Gusti Moeng itu. Terbebasnya tekanan psikis, akan menumbuhkan sikap optimistik ke depan.

Hal yang serba positif dan lebih baik itu, tentu merupakan hasil sebuah upaya atau perjuangan dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Rentetan peristiwa yang bersifat kausalistik itu nyata, karena pada ritual “jenang Suran” 17 Sura Tahun Jimawal 1957, masyarakat adat jajaran “Bebadan Kabinet 2004” tertekan oleh sebuah peristiwa “kegagalan” di tahun 2023.

MEMBERI SAMBUTAN : Gusti Moeng memberi sambutan sebagai penutup rangkaian ritual “Jenang Suran” 17 Sura Tahun Je 1958 yang digelar di “gedhong” Sasana Handrawina, Selasa malam (23/7). Pisowanan itu, membuat pemandangan yang berbeda sejak sebelum 2017 hingga 2023 lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ritual “Jenang Suran” yang 70 persen didominasi masyarakat adat yang tergabung dalam elemen Pakasa cabang, Putri Narpa Wandawa cabang, Sanggar Pasinaon Pambiwara, Pasipamarta dan elemen lain seperti abdi-dalem prajurit, memang membuat besar hati dan menggembirakan. Terlebih, dari jajaran “wayah-dalem” yang laki-laki, kembali dilengkapi KGPH Hangabehi.

Hadirnya putra mahkota KGPH Hangabehi yang sempat berubah kembali menjadi “KGPH Mangkubumi” pada ritual kirab pusaka (7/7), juga membuat masyarakat adat yang hadir dalam “pisowanan” ritual “Jenang Suran” merasa “ayem” dan menenteramkan. Ini tentu menambah lengkap hadirnya KPH Bimo Djoyo Adilogo, KRMH Suryo Manikmoyo dan KRMH Suryo Kusumo Wibowo.

Ada beberapa figur “wayah-dalem” yang tidak tampak untuk kesekian kali saat kraton menggelar upacara adat, tentu menjadi “rasanan” masyarakat adat yang hadir. Tetapi mungkin saja banyak yang memaklumi, barangkali mereka sedang sibuk di luar kerja-kerja adat di kraton. Atau, mungkin ada lagi kerja adat di luar jangkauan “Bebadan Kabinet 2004”.

Apapun peristiwa atau insiden kecil yang mewarnai ritual “Jenang Suran” 17 Sura Tahun Je 1958 malam itu, secara umum sudah menggembirakan dan membangkitkan optimisme kalangan masyarakat adat. Terlebih mereka datang berombongan dari jauh, seperti Pakasa Cabang Ponorogo, Cabang Pacitan, Cabang Ngawi, Cabang Nganjuk dan beberapa cabang lain dari Jawa Timur.

MELAYANI WAWANCARA : Secara bergantian, KPH Edy Wirabhumi dan beberapa guru besar FIB UNS melayani wawancara dengan beberapa awak media mengenai kehadirannya dalam ritual “Jenang Suran” 17 Sura Tahun Je 1958 yang digelar di “gedhong” Sasana Handrawina, Selasa malam (23/7). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Walau dari wilayah Provinsi Jateng, seperti Pakasa Cabang Jepara, Cabang Pati, Cabang Kudus, Cabang Magelang dan cabang-cabang lain dari wilayah Kabupaten Banyumas misalnya, jelas merupakan sebuah perjuangan yang tulus, ikhlas, bersemangat yang patut dihargai dan dijadikan teladan. Karena, mereka hanya ingin setia “suwita” dan “ngalab berkah” kharomah kraton.

Bahkan tidak hanya itu, semua elemen masyarakat adat yang hadir jauh-jauh dari daerahnya itu, hanya punya satu tujuan untuk ikut melestarikan Budaya Jawa yang bersumber dari kraton, yang pada gilirannya akan ikut menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta. Mereka hanya ingin menghargai perjuangan Sinuhun PB II yang telah membangun Mataram Surakarta.

“Saya hanya ingin urun rembug, bahwa peristiwa deklarasi Surakarta Hadiningrat sebagai Ibu Kota baru Mataram pada 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745 itu, perlu diedukasi seluruh proses terjadinya. Agar kita juga bisa mengedukasi kepada anak-cucu kita, bahwa menghargai sebuah proses lebih penting. Jangan hanya melihat dan menilai hasilnya”.

“Apalagi, proses memindahkan Ibu Kota dengan semua infrastruktur dan suprastrukturnya, dari Kartasura ke Surakarta. Itu merupakan pekerjaan besar, maha karya. Kita bisa membandingkan proses perpindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) ini, dengan ketika Sinuhun PB II membangun Ibu Kota Surakarta, semua jejaknya masih ada lo,” tunjuk Dr Purwadi membeberkan.

SUASANA TAHUN 2023 : Suasana ritual “Jenang Suran” 17 Sura Tahun Jimawal 1957 di tahun 2023, yang diwarnai aksi jajaran “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng, batal bergabung di Sasana Handrawina dan menggelar ritual sendiri di Bangsal Smarakata. Peristiwa itu, jelas membuat suasana psikis tertekan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Peneliti sejarah yang banyak mengkaji sejarah Mataram Surakarta ini, sudah menyusun buku berjudul “Biografi Sinuhun PB II” yang terbit sekitar setahun lalu. Isinya banyak mengisahkan “perjuangan” Raja ke-9 Kraton Mataram di Kartasura, atau Raja pertama Kraton Mataram Islam di Surakarta itu, hingga terwujud sebuah kawasan yang pernah menjadi Ibu Kota Mataram.

Kawasan yang masih berisi sejumlah bangunan penting di kawasan kraton seluas 90 hektare dan banguan serta berbagai infrastruktur Ibu Kota di luar kawasan kraton, masih banyak didapati di Kota Surakarta Hadiningrat ini. Berapa biaya yang dikeluarkan Sinuhun PB II saat itu, dan berapa jumlahnya ketika dikonversi dalam nilai rupiah sekarang ini? (Won Poerwono-bersambung/i1)