Gelar Kekerabatan Bisa Dipersoalkan Dalam Administrasi Kependudukan Jika tak Ada Landasan Hukumnya (seri 3 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:June 16, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Gelar Kekerabatan Bisa Dipersoalkan Dalam Administrasi Kependudukan Jika tak Ada Landasan Hukumnya (seri 3 – bersambung)
MERANGKUL SENIMAN : Di akhir masa-masa jumeneng nata, Sinuhun PB XII pernah menganugerahkan "gelar kekerabatan" kepada seorang dalang muda terkenal. Tetapi, seniman yang dirangkul itu tidak mendatangkan manfaat apapun bagi kraton, karena "praktik komersialisasi" seni wayang yang bersumber dari kraton hanya untuk memperkaya dirinya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Fenomena “Nut jaman Kelakone” yang Sedang Dihadapi Kraton Mataram Surakarta di Abad Milenial

IMNEWS.ID – PARADIGMA kehidupan peradaban dan zaman yang sudah berubah sejak 17 Agustus 1945, pelan-pelan telah merubah tatanan sosial dan cara pandang di internal keluarga besar Kraton Mataram Surakarta. Dan sebenarnya, perubahan di internal keluarga besar kraton, juga sudah terjadi pada periode-periode zaman sebelumnya seabagai langkah penyesuaian.

Karena perubahan dan pergeseran yang terjadi merupakan keniscayaan yang dialami semua kehidupan secara umum di dunia sejak manusia diciptakan kali pertama, maka para cerdik-pandai atau Pujangga Kraton Mataram Surakarta-pun lantas menyebut sebagai (fenomena) yang dikenal dengan kalimat “Nut jaman kelakone” (mengikuti/menyesuaikan zaman yang terjadi/berubah).

“Nut jaman kelakone” menjadi sebuah bentuk pemakluman atau merubah sikap menjadi realistik, terasa sekali ketika Kraton Mataram Surakarta “kehilangan” satuan kerja “Departemen Agama”, karena semua SDM dan perangkat kerja di bidang keagamaan kraton “diambil” pemerintah NKRI di awal kemerdekaan. Tak lama kemudian, satuan kerja “Kepatihan” juga “menyusul”.

MEMPERKUAT SIMBOL : Beberapa waktu lalu Gusti Moeng selaku Ketua LDA menyerahkan gelar kekerabatan kepada sejumlah ulama dan tokoh agama dari Salatiga. Upaya ini dimaksudkan untuk mengembalikan simbol Kraton Mataram Surakarta sebagai Mataram Islam. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Patih-dalem KRMT Sosrodiningrat di antara sejumlah “Patih” yang selamat dari penculikan dan bagian dari sejumlah besar pegawai Kepatihan yang “direkrut” pemerintah NKRI Soekarno-Hatta. Mereka ditempatkan di rumah tangga Istana Presiden, Separtemen Dalam Negeri dan beberapa departemen lain. Bahkan, KRMT Sosrodiningrat ditunjuk memimpin pelatihan pegawai.

Peristiwa “kehilangan” SDM berkualitas dalam jumlah yang besar itu, terjadi di awal-awal kemerdekaan, antara 1945-1946. Tetapi, peristiwa penghancuran kompleks pusat pemerintahan Kepatihan yang hampir bersamaan waktunya dengan perjanjian “KMB” di Kota Den Haag (Belanda) antara September-Desember 1949, seakan membantu proses percepatan “perekrutan” itu.

Cepat atau lambat, keniscayaan fenomena “Nut jaman kelakone” itu jelas sudah terjadi dan jelas akan terjadi lagi sampai kapanpun ketika zaman dan peradaban mengalami perubahan semakin maju. Perubahan yang disertai pergeseran itu sudah banyak contohnya yang terjadi, salah satunya adalah nama pangkat atau jabatan yang disebut “Adipati”.

KANCA KAJI : Menyadari salah satu simbol Kraton Mataram Surakarta sebagai Mataram Islam redup karena “diambilnya” perangkat kerja dan SDM di bidang agama di awal NKRI berdiri, Gusti Moeng berupaya mengembalikan kekuatan simbol itu dengan mengaktifkan abdid-alem “Kanca Kaji”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam pandangan juru penerang budaya dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta, KP Budayaningrat, gelar atau pangkat atau jabatan “Adipati” yang sudah ada sejak Kraton Pajang (abad 15), bahkan Kraton Demak (abad 14-15), seperti yang disandang “Adipati Arya Penangsang” misalnya, karena tokoh yang bersangkutan dipercaya memimpin wilayah.

Pandangan yang diambil dari “Serat Raja Kapa-kapa” dan “Serat Adeg-adeg” itu disebutkan, bahwa gelar “Adipati” itu telah mengalami pergeseran makna dan fungsinya dalam setiap periode waktu berganti. Makna yang semula menunjukkan bahwa gelar itu pemberian Raja sebagai bentuk kepercayaan terhadap seseorang penguasa dan pemimpin wilayah kecil, sudah berubah.

Bahkan, sebelumnya gelar “Adipati” juga mencakup pengertian sebagai pemimpin satuan prajurit atau mirip panglima pasukan pertahanan, yang bisa juga diterjunkan untuk memimpin di medan perang. Tetapi, seiring perjalanan waktu ada perubahan makna dan fungsi sesuai “Nut jaman kelakone” itu. Gelar yang disandang RT Adipati Tjakra Adiningrat-pun juga demikian.

MENGUMPULKAN KERABAT : Menyadari adanya perubahan zaman yang berujung kekurangan SDM pekerja adat, Gusti Moeng berusaha mengumpulkan kalangan kerabat trah darah-dalem leluhur Dinasti Mataram yang sejak lama hidup di tengah masyarakat, misalnya KH Prof Dr Nasyroh dari Tuban (Jatim) yang masih trah Sinuhun PB VI. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Raden Tumenggung (RT) Adipati Tjakradiningrat, adalah Bupati Pamekasan, Madura (kini Provinsi Jatim-Red). Bupati yang berpangkat Adipati itu adalah mertua Sinuhun Paku Buwana (PB) IV (1788-1820). Karena pemaisuri pertama RAy Handaya yang wafat beberapa waktu setelah melahirkan, kemudian permaisuri kedua RAy Sakaptinah adalah kakak-beradik putri Adipati.

Dalam perjalanan waktu setelah Kraton Mataram Surakarta berada di alam republik, belum ada data pejabat kraton yang menyandang gelar itu. Mungkin baru di era “Bebadan Kabinet 2004” yang menganugerahi gelar “Adipati” kepada KPH Sangkaya Mangunkusumo, trah Sinuhun PB XI (1939-1945), sentana-dalem paling sepuh yang kini menjabat Pengageng Karti Praja.

Yang terjadi dalam perubahan makna dan fungsi gelar “Adipati” itu, melukiskan penyesuaian dalam fenomena “Nut jaman kelakone” pada khasanah gelar, pangkat dan sesebutannya saja. Perubahan dan pergeseran sosial yang melibatkan kalangan eksternal masyarakat adat seperti yang sekarang mulai terjadi, adalah bentuk “Nut jaman kelakone” yang berbeda lagi.

MENJADI BUMERANG : Kesenian wayang kulit memang pernah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat “Bangsa Jawa”. Tetapi ketika merekrut para dalang terkenal yang diharapkan membantu kraton dalam pelestarian cabang budaya Jawa itu, yang terjadi malah “bumerang” bagi kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Berbagai sinyalemen yang beberapa kali ditunjukkan Gusti Moeng selaku pemimpin “Bebadan Kabinet 2004”, tentu didasari realitas selama mengelola kehidupan Kraton Mataram Surakarta pra hingga pasca 2004. Periode itu menjadi contoh “Nut jaman kelakone” yang berbeda itu, karena perubahan dan penyesuaian terjadi ketika kraton memasuki zaman berbeda di abad 21.

Kini, kraton benar-benar merasakan sedang memasuki zaman di abad 21 yang disebut zaman Milenium yang ditandai dengan globalisasi, teknologi digital dan kehidupan yang bersifat industrial liberal kapitalistik level tinggi. Suasana kehidupan keluarga kerajaan yang semakin tidak terjamin kebutuhan dasarnya, mendorong mereka memilih keluar dari kraton.

Kalaupun masih ada yang bertahan di dalam kraton, itu adalah pribadi atau kelompok bangsawan dan para pengikutnya yang hanya menggunakan adat, budaya, gelar, pangkat dan sesebutan sebagai “kedok” atau topeng belaka. Padahal otak, naluri dan perilakunya sudah rusak oleh virus politik “pragmatis” akibat keracunan pengaruh industrial liberal kapitalistik. (Won Poerwono-besambung/i1).