Gelar Kekerabatan Bisa Dipersoalkan Dalam Administrasi Kependudukan Jika tak Ada Landasan Hukumnya (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:June 15, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Gelar Kekerabatan Bisa Dipersoalkan Dalam Administrasi Kependudukan Jika tak Ada Landasan Hukumnya (seri 2 – bersambung)
TOKOH ORMAS : “Gelar kekerabatan” diberikan Gusti Moeng kepada salah seorang tokoh ormas unsur PW Muhammadiyah Jateng, beberapa waktu lalu. Ini merupakan bagian dari upaya merangkul kembali bagian keluarga besar yang dulu pernah lahir dari Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

– Norma “Keluarga Berencana” (KB) Menjadi Variabel Berpengaruh Terhadap Paradigma Gelar Kekerabatan

IMNEWS.ID – NORMA keluarga kecil bahagia yang terdiri ayah, ibu (satu isatri-Red) dan dua anak yang didengungkan pemerintah Orde Baru dalam program Keluarga Berencana (KB), memang sangat baik untuk menjaga populasi atau pengendalian laju pertambahan penduduk skala nasional. Atau positif untuk menjaga keseimbangan antara natalitas dan mortalitas.

Program ini ada korelasinya atau tidak dengan eksistensi lembaga masyarakat adat anggota FKIKN dan MAKN yang tersisa, selama ini tidak pernah ada kajian khusus tentang itu. Tetapi, secara tidak langsung norma “Keluarga Kecil Bahagia” atau program KB secara nasional itu punya pengaruh besar (kausalitas) terhadap kelangsungan anggota FKIKN dan MAKN.

Salah satu anggota FKIKN dan MAKN yang terkena “side effect” norma atau program itu, adalah masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta. Bahkan bukan hanya mengenai kelangsungan kelembagaan yang kena “akibat sampingnya”, tetapi pola-pola kerja adat secara struktural dalam kelembagaan harus berubah menyesuaikan, karena “populasi” SDM kraton sangat rendah.

TOKOH PEMERINTAHAN : Gusti Moeng juga memandang perlu merangkul bagian keluarga besarnya yang telah bersuami tokoh pemerintahan di Papua. Elemen-elemen legitimasi ini mutlak diperlukan untuk menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Populasi SDM keluarga kraton atau keluarga “raja” yang sedang jumeneng nata semakin sedikit akibat norma atau program yang “berhasil” itu, tentu akan menyisakan banyak bidang tugas adat yang kosong. Karena populasi putra/putri-dalem, sentana-dalem dan wayah-dalem sangat rendah, belum lagi banyak di antara mereka memilih “hidup” di luar kraton.

Realitas inilah yang sedang menjadi pemikiran serius GKR Wandansari Koes Moertiyah, hingga beberapa kali disinggung dan dibahas dalam sambutannya di berbagai kesempatan/acara di internal kraton. Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Pangarsa LDA itu, tentu memahami sejarah panjang para pemimpin pendahulunya, kemudian membandingkan situasi riil sekarang ini.

Mantan anggota DPR RI dua periode terpisah yang akrab disapa Gusti Moeng itu tentu menatap jauh ke depan, sesudah melihat perjalanan panjang Kraton Mataram Surakarta (1745-1945) dan realitas saat ini, ketika memikirkan cara-cara menjaga kelangsungan kraton ke depan. Karena, tekad dan semangatnya sudah bulat, kraton diharapkan eksis sampai akhir zaman.

KALANGAN KAMPUS : Dalam momentum HUT Pakasa, Bebadan Kabinet 2004 menyerahkan gelar kekerabatan untuk merangkul kalangan intelektual kampus, karena perannya penting menjadi bagian daya dukung legitimasi untuk menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta jauh ke depan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ketika menatap jauh ke depan dan menaruh harapan kraton tetap bisa merawat peradabaan hingga eksis sampai akhir zaman, tetapi Gusti Moeng tetap realistis saat melihat potensi daya dorong yang dimiliki saat ini. Banyak upaya pasti sudah dicoba, dan salah satu solusinya adalah teladan Sinuhun PB XII di tahun 1990-an yang bisa dijadikan pedoman.

Keterkaitan antara variabel perubahan sosial di bidang kependudukan, variabel populasi SDM putra/putri-dalem, sentana-dalem dan wayah-dalem yang rendah, variabel menjaga kelangsungan kraton sampai akhir zaman dan variabel melihat solusi realistis pemberian “gelar kekerabatan”, tentu menjadi semakin jelas urutan rasionalitas segala perjuangan Gusti Moeng.

Perjuangan Gusti Moeng adalah representasi perjuangan jajaran “Bebadan Kabinet 2004”, yang berarti perjuangan semua elemen Lembaga Dewan Adat (LDA) di antaranya organisasi Pakasa sampai di tingkat cabang. Apalagi, LDA sudah memiliki “legal standing” yang kuat, tepat dan rasional sesuai sistem hukum yang berlaku secara nasional, bahkan internasional.

HAMPIR SEMUA : Hampir semua masyarakat di Provinsi Jatim justru memiliki tingkat kesadaran lebih tinggi dalam upaya ikut melestarikan budaya Jawa dan menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta, seperti yang diperlihatkan pengurus Pakasa Cabang Malang Raya saat menerima “gelar kekerabatan”, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“La kados pundi, sakniki para sentana kathah ingkang mboten kersa mlebet sareng-sareng nyambut-damel wonten mriki. Ponakan-ponakan kula nggih mboten saget dipun-jagakaken. Kamangka, sadaya kedah mlampah kangge njagi lestantunipun kraton. Pramila, kula sakmenika kula namung saget njagakaken elemen-elemen LDA kados Pakasa, Putri Narpa lan sanesipun”.

“Sinuhun-sinuhun ingkang rumiyin, kagungan putra/putri-dalem, wayah-dalem lan sentana-dalem kathah sanget. Amargi, garwanipun langkung saking setunggal. Menika, pamrihipun kangge njage sadaya pakaryan adat saget dipun ayahi sadaya, terjaga rutin. Tujuanipun, supados kraton tetap ketingal gesang, amargi terus wonten kegiatan adat ing nglebitipun”.

“Mila, kula setuju kalian pemanggih bilih bab menika ugi dados kawigatosan para putra/putri-dalem ingkang sakmenika. Kula menyarankan supados KGPH Hangabehi kagungan garwa malih. Menawi sampun mboten wonten putra/putri-dalem, wayah-dalem lan sentana-dalem ingkang kersa nyambut damel wonten kraton, lajeng kados pundi malih,” ujar Gusti Moeng mempertanyakan.

UPAYA KONSOLIDASI : Rapat koordinasi kalangan pengurus Pakasa cabang yang diinisiasi Lembaga Dewan Adat dan pengurus Pakasa Punjer, belum lama ini, menjadi salah satu bentuk upaya konsolidasi dan memelihara hubungan kekeluargaan demi tugas menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta jauh ke depan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ungkapan-ungkapan Gusti Moeng sambung-menyambung yang terangkai urut di berbagai kesempatan itu, sudah sangat jelas telah melukiskan situasi dan kondisi riil kraton saat ini. Terutama realitas tugas dan beban kerja adat yang harus berjalan rutin seuai paugeran adat di satu sisi, dan realitas ketersediaan SDM yang menjalankan semua tugas adat di sisi lain.

Dalam beberapa kesempatan lain, Pangarsa Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton yang pernah mendapat sebutan “Putri Mbalela” dari ayahandanya (Sinuhun PB XII) itu pernah menjelaskan, masa periode waktu yang bisa disebut menjadi awal tanda-tanda, yang langsung atau tidak langsung menyebabkan terjadinya situasi dan kondisi di kraton sekarang ini.

Yaitu ketika di awal-awal NKRI ini berdiri, para “abdi-dalem ulama” beserta seluruh kelembagaannya “diambil” pemerintah RI (waktu itu), yang kemudian menjadi modal lahirnya Departemen Agama RI. Ini jelas memotong urat nafas “Islam” sebagai cirikhas Kraton Mataram Surakarta. Setelah itu, banyak pegawai kraton/Kepatihan yang diajak bergabung ke pemerintahan RI. (Won Poerwono – bersambung/i1)