Dilanjutkan Halal-bihalal dan Pentas Wayang Kulit “Setu Kliwonan”
JEPARA, iMNews.id – Pengurus dan warga Pakasa Cabang Kabupaten Jepara “menyeponsori” hidupnya kembali tradisi larungan sedekah nelayan yang sudah lama tidak dijalankan warga pesisir di Desa Teluk Awur, Kecamatan Tahunan. Tradisi larungan dikreasi dengan prosesi kirab mengarak uba-rampe sesaji yang akan dilarung atau dihanyutkan ke tengah laut, yang digelar bersama berbagai pihak, Sabtu pagi (29/4) mulai pukul 08.00 WIB.
Prosesi kirab didukung bragada prajurit Pakasa, termasuk korp musik gamelan dari Sanggar Seni Loka Budaya, yang dipimpin KRA Bambang Setiawan Adiningrat (Ketua Pakasa Cabang) selaku “Manggala “kirab. Dan yang menarik, “Manggala” kirab tampil mengenakan kostum khas warok Ponorogo sebagai ikon kesenian tradisional Reog dari Kabupaten Ponorogo, Jatim.
Seperti kegiatan prosesi kirab menandai berbagai tradisi adat masyarakat Jepara di beberapa desa dan wilayah kecamatan yang sudah berlangsung selama 2-3 tahun ini, jalannya prosesi kirab “Sedekah Nelayan” tentu menarik perhatian warga di sekitar rute kirab. Karena selain suara orkestra Korsik gamelan sudah menarik, juga disertai barisan kirab ratusan orang terdiri dari berbagai unsur yang berarak-arak di jalan sepanjang rute yang dilalui.
Warga dan pengurus Pakasa cabang jelas menjadi basis pesertanya, karena menjadi pihak yang menginisiasi dan “menyeponsori” hidupnya kembali adat tradisi sebagai ungkapan rasa terima kasih masyarakat setempat kepada Tuhan YME atas rezeki yang selama ini diperoleh dari laut. Di dalam barisan juga ada unsur dari Muspika Tahunan, uba-rampe sedekah yang akan dilarung, perangkat Desa Teluk Awur dan perwakilan masyarakat nelayan serta desa setempat.
Sesampai dermaga pelabuhan kecil di pantai Teluk Awur yang jaraknya 1,5 KM, dilakukan upacara untuk pelepasan yang membawa uba-rampe larungan yang dipimpin “Petinggi” (Kepala Desa) Teluk Awur, Rohman. Doa wilujengan dan tahlil juga dikumandangkan pada upacara pelepasan itu yang juga dihadiri dari unsur Dinas Perikanan Kabupaten Jepara. Dan rangkaian upacara itu ditutup dengan pelepasan larungan, menggunakan sebelas perahu nelayan, bergerak ke tengah laut untuk mengantar miniatur perahu berisi berbagai uba-rampe “Sedekah Nelayan”.
Tradisi “Sedekah Laut” secara kecil-kecilan atau sifatnya pribadi, diyakini KRA Bambang Setiawan Adiningrat sudah ada sejak lama, namun tidak melibatkan berbagai pihak dalam sebuah atraksi bernuansa seni-budaya yang direncanakan dan dikreasi seca amenarik. Dan “dihidupkannya” kembali tradisi larungan dengan kemasan menarik yang atraktif penuh sentuhan seni-budaya dan didukung penuh Pakasa cabang, dinilai baru kali ini mulai diadakan.
“Mungkin saja, secara pribadi atau kecil-kecilan, tradisi seperti ini pasti pernah ada atau dilakukan masyarakat pantai di Jepara. Karena, masyarakat Jawa secara keseluruhan memiliki sifat spiritual religius yang kuat. Rasa terima kasih kepada Sang Pencipta, selalu menyertai setiap langkah kehidupan di kalangan masyarakat Jawa, untuk keperluan apa saja. Apalagi, para nelayan itu merasa rezekinya didapat dari laut. Merasa hidupnya dari laut, pasti punya sikap religius dalam mengucapkan rasa terima kasihnya kepada kemurahan “Sang Maha Pencipta”.
“Dan aktivitas penghidupan apapun yang secara umum dilakukan masyarakat Jawa, pasti secara spontan ada ungkapan rasa terima kasih kepada Yang Maha Memberi (rezeki-Red). Sikap religius masyarakat kita seperti itu. Kalau sekarang ada prosesi, itu sebuah kreasi untuk menghidupkan kembali, agar lebih menarik untuk kembali dilakukan. Apalagi, ada sentuhan-sentuhan kreasi yang menyenangkan. Orang lain dari luar wilayahpun pasti akan tertarik untuk menyaksikan. Di situlah, potensi destinasi wisata lahir dan terbentuk,” sebut KRA Bambang.
KRA Bambang Setiawan yang dimintai konfirmasi iMNews.id siang tadi selanjutnya menyebutkan, selesai menggelar prosesi ritual larungan “Sedekah Nelayan” yang perdana di pantai Teluk Awur, Sabtu pagi (29/4), Pakasa Cabang Jepara melanjutkan kegiatannya dengan menggelar acara doa, tahlil dan mujahadah yang dipimpin ustadz MNg Wachid Diprojo. Kegiatan spiritual religius yang intinya “halal-bihalal” digelar di Padepokan Pendopo Joglo Hadipuran rutin tiap “weton Setu Kliwonan” (Sabtu Kliwon-Red) itu, dimulai pukul 18,00 WIB dan berakhir sekitar pukul 20.00 WIB.
Acara “halal-bihalal” itu didominasi warga dan pengurus Pakasa di antara 200-an yang tampak hadir memenuhi halaman Padepokan Joglo Hadipuran, sedangkan sisanya dari kalangan tetangga lingkungan di Desa Sukodono dan tetangga desa di Kecamatan Tahunan. Selesai acara “halal-bihalal”, Pakasa Cabang Jepara melanjutkan acara menggelar pentas wayang kulit sebagai penutup tradisi “Setu Kliwonan”, yang digelar di tempat yang sama, Padepokan Pendopo Joglo Hadipuran.
Pentas wayang kulit “garap padat” sekitar lima jam, dilakukan dalang muda Ki Wahyu Sasongko asal Tuban (Jatim), menyajikan lakon “Wayu Tri Loka Bawono”. Sebelum pentas dimulai, KRA Bambang Setiawan selaku Ketua Pakasa cabang sekaligus tuan-rumah padepokan, menyerahkan “Cempala” kayu Tesek kepada dalang dan memberikan piagam penghargaan kepada MNg Kusnanto Projo Budaya karena profesinya sebagai “tukang pijat tradisional”, telah memberi manfaat di bidang kesehatan kepada banyak orang selama 25 tahun menjalani profesinya.
Selain warga dan pengurus Pakasa cabang, ikut hadir menyaksikan pentas wayang kulit antara lain para pamong lingkungan dan pamong desa serta para sesepuh Desa Sukodono, para pegiat budaya se Kabupaten Jepara, pengurus Pepadi Jepara, para pamong desa dan “Petinggi” (Kepala Desa) tetangga misalnya Desa Pecangaan dan Teluk Awur. Bahkan anggota DPRD Jateng, Anang Wahyu Triyantopun hadir, tetapi “Petinggi” Desa Sukodono sendiri yang memiliki warga tuan rumah yang selama ini “menggerakkan” berbagai acara untuk “membangkitkan” cinta budaya Jawa, “kembali tidak terlihat hadir”.
Dalam pentas wayang kulit sebagai puncak kegiatan Pakasa Cabang Jepara, juga tampak hadir seorang tokoh dari Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang, bernama Tigor, yang selama menjadi instruktur drum band Korsik Bregada Prajurit Sura Praja Pakasa Cabang Jepara. Bahkan, mantan anggota Bakamla Dr Djoko Tjahyo Purnomo-pun juga hadir, ikut berhalal-bihalal sambil menyaksikan jalannya lakon “Wahyu Tri Loka Bawono”.
“Kemarin pagi itu, saya mengenakan stelan busana (kostum) khas Warok Ponorogo. Selain sebagai penghargaan kami kepada Pakasa cabang Ponorogo, kami ingin memperkenalkan busana khas Warok Ponorogo yang simbolik dan berkarakter kuat dan khas. Makna filosifi yaitu, sifat ksatria yang berwibawa, jujur dan amanah. Di lain kesempatan, kami juga akan memperkenalkan cirikhas busana yang berkembang dari adat Jawa dari daerah lainnya. Kekhasan simbol di wilayah eks Mataram Surakarta, memang sangat kaya dan semua berkarakter kuat,” tandas KRA Bambang ketika ditanya soal busananya yang berbeda dari biasanya. (won-i1)