Para Pesertanya Gabungan dari Kalangan Mahasiswa, Pimpinan Kampus dan Warga Pakasa
PACITAN, iMNews.id – Lembaga Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Kabupaten Pacitan menggelar “Seminar Sejarah” bersama pengurus Pakasa Cabang “Bhumi Wengker” (Pacitan), di aula kampus setempat di dalam kota kabupaten di provinsi Jatim ini, Sabtu siang (25/5). Kegiatan kampus yang langka karena melibatkan Pakasa ini, diikuti 100 orang.
Seminar sejarah yang diinisiasi Program Studi Sejarah STKIP PGRI itu, para pesertanya didominasi kalangan mahasiswa, karena jumlah warga dan pengurus Pakasa Cabang Pacitan baru sekitar 30-an orang. Wahyu Dwi Rakasiwi dari Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Pemkab Pacitan dan KRAT Heru Arif Pianto (Ketua Pakasa cabang) menjadi pembicaranya.
“Karena kami dipercaya mengasuh program studi itu (pendidikan sejarah), maka kami ingin memperkenalkan para mahasiswa pada perjalanan sejarah budaya Jawa. Sekaligus bisa mendekatkan dengan organisasi Pakasa, yang isinya para abdi-dalem yang tugas dan tanggungjawabnya ikut melestarikan budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta”.
“Yang jelas, itu karena Pakasa Bhumi Wengker mendapat kehormatan untuk hadir dalam seminar itu. Sebagai lembaga pelestari budaya di Kabupaten Pacitan, kami sangat mendukung kegiatan yang digagas kalangan mahasiswa program studi ini. Untuk menanamkan nili-nilai luhur budaya Jawa, kami memulai dengan memperkenalkan melalui forum seperti ini,” ujar KRAT Heru.
Menurut KRAT Heru Arif Pianto Widyonagoro yang juga Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah dan Humaniora STKIP PGRI, forum seminar sejarah merupakan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi Program Studi Pendidikan Sejarah. Karena, bidang cakupan yang akan ditangani para lulusannya nanti melingkupi bidang kesejarahan, budaya dan kepariwisataan.
Walau kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, lanjutnya, namun dari peran nilai-nilai budaya tidak boleh diabaikan. Karena unsur-unsur yang terkandung dalam budaya (Jawa) inilah, yang mampu membentuk kepribadian manusia, sehingga bisa tahu etika, tata-krama, tata-basa, suba-sita dan unggah-ungguh (basa) yang di dalamnya ada estetika.
“Punya kepandaian setinggi apapun seseorang, tetap masih kalah tinggi dengan orang yang beradab, yaitu punya etika, unggah-ungguh dan bisa menghargai estetika,” tandas KRAT Heru menunjukkan. Dia bahkan memperkenalkan “motto” atau semboyan Pakasa, yaitu “Saraya, Setya dan Rumeksa Budaya” yang menjadi semangat warga Pakasa dalam ikut melestarikan budaya Jawa.
Sementara itu, KRT Samsul Hadi Dwijonagoro (Sekretaris Pakasa cabang) yang juga hadir dalam acara itu, dalam sambutannya menyampaikan terima kasih dan rasa bangganya atas nama Pakasa dan Kraton Mataram Surakarta. Karena, ada sebuah institusi pendidikan yang masih peduli pada pelestaran budaya Jawa, bahkan segenap sivitas akademika ikut hadir pada forum itu.
“Maju-mundurnya sebuah negara, terletak pada bagaimana bisa menjunjung tinggi dan menghargai budayanya sendiri. Rum-Kuncaraning Bangsa, Dumunung Aneng Luhuring Budaya,” tandas KRT Samsul Hadi. Pesan bijak yang dikutip dari sabda-dalem Sinuhun PB X itu, maknanya bahwa “kebesaran dan terkenalnya sebuah bangsa, terletak pada keluhuran budayanya”.
Dalam kesempatan itu, Dr Mukodi selaku Ketua STKIP PGRI Pacitan dalam sambutannya sangat mengapresiasi kegiatan seminar tersebut. Menurutnya, selain selaras dengan visi dan misi program studi, juga sejalan dengan visi dan misi kampus yang humanis dan berbudaya. Mahasiswa merupakan aset bangsa yang akan menentukan nasib bangsanya ke depan.
“Selain profesional di bidang keilmuannya, generasi muda yang lahir dari kampus harus mempunyai etika dan unggah-ungguh (basa), sebagai bagian dari nilai-nilai luhur budaya (Jawa),” tegas Dr Mukodi. Selesai dua pembicara menyampaikan pandangannya, dibuka sesi tanya-jawab dengan semua yang hadir pada seminar siang itu.
Kebanyakan para mahasiswa menanyakan bagaimana cara menanamkan nilai-nilai budaya Jawa, khususnya di kalangan generasi muda?. Terutama ketika dihadapkan pada perkembangan zaman yang ditandai begitu banyak budaya asing yang masuk ke Tanah Air. Di antara para penanya, banyak yang berharap kegiatan seminar dalam upaya pelestarian budaya Jawa perlu berlanjut rutin.
KRAT Heru Arif juga menyebutkan, ada hal yang menarik dalam seminar sejarah itu. Selain semangat edukasi yang bisa berlangsung baik, di forum itu juga disuguhkan rekaman musik gendhing-gendhing Jawa untuk dinikmati bersama. Sajian musik karawitan itu dianggap membuat suasana lebih hidup, karena sudah langka terdengar di lingkungan kampus.
Forum seminar yang digelar STKIP PGRI itu, merupakan kali kedua kegiatan Pakasa cabang setelah keluarnya “maklumat” dalam peringatan “Hari Kebangkitan Nasional”, yang tergolong “ringan”, tetapi “luar biasa impactnya”. Karena, sedikit sekali lembaga kampus yang peduli nasib budaya Jawa, dan itupun dilakukan jika dianggap bisa memberi “keuntungan” bagi “dirinya”. (won-i1).