Pernah Lama Menjadi “Milik” Masyarakat, Tetapi Kini Semakin Kehilangan Seniman Penyajinya
IMNEWS.ID – BERCERMIN dari peristiwa “Konser Karawitan Weton Selasa Legi” yang menjadi “Konser Musik Luar Biasa” di Bangsal Smarakata, Senin Kliwon (13/5), membuka cakrawala pandang bagi masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta untuk semakin bersemangat melanjutkan, menatalaksana lebih baik dan mengembangkan ragam-ragam karya karawitan lebih banyak lagi.
Karena, dari kekayaan karya gendhing yang dimiliki kraton, begitu banyak, yang sangat mungkin menyimpan data informasi peristiwa sejarah dan ketokohan figur-figur penting yang ada dilamnya sama banyaknya. Mengingat, hampir semua karya gendhing dan juga satra, menjadi sumber sejarah karena menyimpan data informasi berbagai peristiwa di masa lalu.
“Konser Musik Luar Biasa”, Senin Kliwon (13/5) itu baru dikeluarkan beberapa judul gendhing saja, dan untuk memperingati
“weton pasaran” hari kelahiran Sinuhun PB XII. Pada kesempatan berikutnya, bisa dikembangkan dengan variasi sajian gendhing-gendhingnya, ragam gamelan pusaka untuk mengiringinya serta untuk peringatan weton kelahiran tokoh besar lainnya.
Komposisi pilihan gendhing, gamelan iringan dan siapa tokoh yang diangkat untuk diperingati weton kelahirannya, bisa ditampung ke dalam tema yang bisa ditentukan dari keunggulan nama besar tokoh pemimpin Mataram, sejak Panembahan Senapati, Sultan Agung, Amangkurat hingga Sinuhun Paku Buwana atau Mataram Surakarta. Dengan tema, sajian akan menjadi lebih menarik.
Dengan begitu banyaknya karya gendhing, jumlah tokoh besar dan peristiwa yang tersimpan dalam “cakepan” (syair) gendhing, konser musik tak akan kehabisan tema walau digelar rutin dalam waktu yang sangat panjang. Karena tema sajian yang akan disuguhkan, bisa disesuaikan dengan situasi kondisi secara umum, misalnya dengan momentum peringatan “Hari Pahlawan”.
Dengan menyesuaikan momentum “Hari Pahlawan”, bisa disajikan tokoh-tokoh Mataram yang sudah atau layak diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. Latar-belakang ketokohan figur-fugur nama besarnya, bisa diambil untuk diangkat, bersama karya-karya gendhing yang isinya “berbicara” atau mengisahkan tentang ketokohannya selama jumeneng nata.
Meski ada tema-tema yang bisa dijadikan pedoman untuk menyusun isi sajian konser, untuk tokoh Sinuhun Paku Buwana (PB) V (1820-1823) atau semasa masih berstatus Pangeran Adipati Anom, karya ketokohannya luar biasa baik jumlah maupun ragamnya. Apalagi kalau terkait peran ayahandanya, Sinuhun PB IV (1788-1820), bisa menjadi tema serial konser yang cukup panjang.
Khusus untuk karya Sinuhun PB V, malah bisa dipisahkan dan masuk dalam kategori karya gendhing religi, misalnya Gendhing “Ladrang Kayun” dan “Ladrang Kaum Dawuk” sebagai materi konser karawitan khusus spiritual religi. Dua judul gendhing ini banyak muncul sebagai tema content YouTube dan menghiasai medsos, produk beberapa channel, akhir-akhir ini.
Dan dua judul gendhing itu yang teridentifikasi oleh sentana trah darah-dalem Sinuhun PB X dan Sinuhun PB V, KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro sebagai karya Sinuhun PB V. Karena, buku berjudul “Sinuhun Sugih” yang ditulis RM Soemantri Soemosapoetro, berisi catatan dokumentasi berbagai jenis karya Raja Mataram Surakarta itu, termasuk karya gendhing.
Oleh sebab itu, “Konser Musik Luar Biasa”, bisa dikembangkan dalam konser khusus gendhing-gendhing spiritual religi, dan yang paling tepat untuk itu adalah konser karawitan Laras Madya atau Santiswaran. Tetapi, karena kekhususan dan ciri-ciri keunikannya, konser khusus untuk gendhing-gendhing bernafaskan religi ini, sudah ada waktu dan tempatnya sendiri.
“Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA), sudah sering menggelar upacara adat haul atau khol para tokoh pemimpin leluhur Dinasti Mataram. Nyaris tiap tahun ritual itu digelar dan dalam setahun sedikitnya ada dua kali event, baik yang digelar di Pendapa Pagelaran maupun Masjid Agung.
Di event-event spiritual religi haul atau khol itu, konser musik Santiswaran atau Laras Madya digelar, masih bersifat sisipan atau selingan untuk melengkapi jalannya acara yang didominasi dengan doa, dzikir, tahlil, dan syahadat Quresh serta shalawat Sultanagungan. Walau bukan “menu utama” acara, tapi konser musik religi itu sangat tepat dalam dari beberapa hal.
Tepat suasana, tempat dan momentumnya. Apalagi, ketika disajikan dalam event upacara adat “Malem Selikuran”. Di sinilah, semua gendhing bernafaskan religi terutama karya Sinuhun PB V, menjadi keharusan untuk ditampilkan dalam konser. Karena, esensi event ritual religi itu adalah syi’ar agama, yang paling efektif disampaikan dengan jenis musik yang tepat.
Ritual terakhir yang digelar Kraton Mataram Surakarta dalam peringatan hari besar keagamaan, yaitu event “Malem Selikuran” pada bulan puasa, menjelang Idhul Fitri 1 Syawal Tahun Jimawal 1957/Tahun 1445 Hijriyah yang baru saja lewat. Di sanalah, musik karawitan Laras Madya atau Santiswaran menjadi sajian musik istimewa dan berada di dalam marwahnya yang tepat.
Dengan spesifikasi event, suasana, tempat dan momentum seperti itu, memang terkesan membatasi ruang gerak penyajian musik Laras Madya atau Santiswaran, apalagi menjadi menu utama sebuah konser musik. Meskipun, pada masa yang termasuk lama pula, jenis musik karawitan ini menjadi milik masyarakat luas, berkembang di berbagai pelosok daerah dengan format yang berbeda.
Misalnya di Balai Kampung Kelurahan Serengan, Kecamatan Serengan, Kota Surakarta, di tahun 1970-an hingga tahun 1990-an sering menjadi ajang latihan seni musik karawitan religi itu. Sajian musiknya yang tanpa peralatan sound system alias akustik murni, bisa terdengar sampai jauh, karena salah satu faktornya mulai disajikan setelah pukul 21.00 WIB.
Tetapi, seiring perubahan yang diwarnai perkembangan trend musik, ragam genre, teknologi hiburan dan industrialisasi seni, musik Laras Madya atau Santiswaran semakin kehilangan SDM pendukung/penyajinya. Para senimannya semakin habis karena faktor usia. Generasi muda penerusnya, tidak ada yang muncul, karena terhalang oleh cirikhas kekhususan jenis musik itu sendiri.
Proses perkembangan negatif musik yang menggunakan “Laras” (nada) “Madya” (tengah/sedang) itu, sebenarnya hanya salah satu contoh dari sejumlah jenis seni tradisioanal yang berasal dari budaya Jawa yang sumbernya dari Kraton Mataram Surakarta. Terlebih, jenis seni “Santi” (doa) “Swara” (suara) ini memang lebih tepat sebagai musik yang mengiringi gendhing religi.
Maka, dengan berbagai keterbatasan yang menjadi keunikannya itu, sajian musik Santiswara pada ritual “Malem Selikuran” lalu, selain dua gendhing “Ladrang Kayun” dan “Ladrang Kaum Dawuk”, sajian gendhing berjudul “Barikan”, “Kidung Panulak”, “Kembang Kapas”, “Soyung” (Dhandhanggula), “Eman-eman”, “Salallahu”, “Megatruh” dan “Tawakal”, jadi tepat diiringinya.
Walau perkembangan seni “Santiswara” di tengah masyarakat negatif alias nyaris hilang, tetapi tidak demikian yang terjadi di kraton. Begitu generasi mbah Darmo (Serengan) satu demi satu meninggal, ternyata “Bebadan Kabinet 2004” mampu melakukan regenerasi. Sekitar 30-an seniman usia muda, tampil memukau saat menyajikan musik Santiswara, saat “Malem Selikuran” itu.
Abdi-dalem Keparak Mandra Budaya KRT Rawang Gumilar dan RT Sularjo (Langensari) menjadi bagian kebangkitan seniman pendukung musik “Santiswara” di kraton. Tiap Kamis malam Jumat, Bangsal Smarakata yang lama “dikosongkan” dari berbagai kegiatan seni, sejak 1 Januari 2023 diisi konser musik “Santiswara”, walau sifatnya hanya latihan rutin, seminggu sekali. (Won Poerwono-i1)