Pertunjukan Seni “Akustik” yang “Ekslusif” dan “Representatif” Dalam Keagungan dan Kemuliaannya
IMNEWS.ID – MUSIK karawitan Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, semula dianggap atau dipandang sebagai musik eksklusif, ketika masyarakat awam pada setiap zaman mulai dari saat diciptakan sampai pada perjalanan peradaban kemudian, “ada jarak” atau kesulitan untuk memahami atau menikmati, langsung atau secara tidak langsung.
Sebenarnya tidak hanya seni musik karawitan saja, produk budaya Jawa lain berupa bahasa, seni tari, pedalangan, tata-busana, tata-susila dan sebagainya juga mengalami perlakuan seperti itu. Tetapi, ketika kehidupan sosial kemasyarakatan terus berubah seiring kemajuan zaman, ada beberapa jenis seni produk budaya Jawa yang ikut berubah menjadi “inklusif”.
Perubahan beberapa jenis kesenian menjadi label “serba rakyat” itu, karena memang ada pergeseran dalam beberapa faktor atau unsur objek keseniannya. Misalnya, instrumen gamelan sudah bisa diproduksi “semi massal” dan bebas diperdagangkan di tengah masyarakat, sehingga “rakyat” bebas untuk memiliki, kemudian bebas untuk “memanfaatkan” bahkan bebas “memperlakukannya”.
Instrumen gamelan dalam seni karawitan sebagai produk seni “inklusif”, tak hanya berdiri sendiri sebagai sajian “klenengan”. Tetapi bisa menjadi satu kesatuan dengan elemen seni lain seperti seni tari, pedalangan, ketoprak, ludruk dan beberapa jenis kesenian format “minimalis” berlabel tradisional seperti campursari, jarandor, jathilan dan lainnya yang bertema “rakyat”.
Kebebasan dalam “memanfaatkan” itu lebih dimaknai sebagai kebebasan atau kemudahan menikmati, karena sebebas apapun semua warna musik yang bersumber dari seni budaya Jawa, pasti tetap membawa kaidah-kaidah etika, estetika dan logika kewajarannya. Maka, ketika kebebasan itu dimaknai sebagai bebas “memperlakukannya”, di situlah ada “inklusivitas” yang “kelewat batas”.
“Inklusivitas kelewat batas” itu misalnya memperlakukan musik karawitan kurang bermartabat, seperti pada proses terjadinya “pemerkosaan” beberapa instrumen gamelan menjadi “nada” campursari. Memperlakukan gamelan pemberian Sinuhun PB XII kepada UNS, tetapi “konon” hanya tertumpuk di dalam salah satu gudangnya, itu juga bentuk inklusivitas yang tak bermartabat.
Walau sudah bisa mengakomodasi semangat “inklusif”, penyajian konser musik karawitan untuk memperingati “weton pasaran” hari kelahiran Sinuhun PB XII yaitu “Selasa Legi”, pada Senin malam (13/5) lalu, tetap memperlihatkan “eksklusivitas” dalam makna keagungan dan kemuliaannya. Karena, semua tersaji di tempat asalnya secara proporsional, walaupun tetap ada sentuhan inovasi.
Sentuhan inovasi teknologi modern itu, terletak pada perangkat sound system yang disertakan dalam konser, walau tetap dalam level sederhana. Begitu pula, ada sentuhan teknologi yang lebih modern lagi, yaitu teknologi digital untuk “merekam” lalu “menyiarkan” langsung secara virtual atau “live streaming” pertunjukan konser seni musik karawitan malam itu.
Selain dua jenis sentuhan perubahan itu, semuanya bisa disebut proporsional pada keagungan dan kemuliaannya. Karena, Bangsal Smarakata yang digunakan adalah bangunan kuno bersejarah bagian dari Kraton Mataram Surakarta, yang memiliki kualitas akustik sangat tinggi. Oleh sebab itu, sangat cocok untuk konser musik karawitan akustik, dengan jumlah penonton yang terbatas.
“Pendapa” Bangsal Smarakata yang cukup representatif untuk konser musik karawitan skala kecil, tentu tetap bisa menjadi tempat representatif untuk menikmati sajian konser itu. Karena, jumlah penontonnya/penikmatnya juga terbatas di lokasi seluas bangsal tersebut. Cara menikmatinya sebenarnya cukup duduk lesehan di atas lantai, tetapi malam itu ada sentuhan “modern”.
Kursi tempat duduk disediakan hanya sekitar 70-an sesuai daya tampung teras bangsal dan lorong penghubung Kori Sri Manganti dengan Kori Kamandungan. Luasnya lokasi konser yang mengakomodasi kehadiran para penikmatnya, pasti sudah diperhitungkan saat tempat itu dibangun. Terutama, jarak jangkau suara akustik yang mudah dan jelas diterima telinga yang ada di situ.
Namun karena perkembangan modernitas, misalnya segala macam teknologi yang melahirkan “kebisingan” sebagai “polusi udara”, maka konser karawitan weton malam itu “terpaksa” menyertakan teknologi sound system. Kehadiran seorang juru pambiwara memang dibutuhkan untuk membacakan urutan acaranya, tetapi sekali lagi, Bangsal Smarakata tetap representatif untuk sajian akustik.
Oleh sebab itu, ketika sajian konser yang dipimpin KPH Raditya Lintang Sasangka selaku “tindhih abdi-dalem” karawitan malam itu memulai dengan suara gesekan (instrumen) Rebab gading Kiai Mangunsih dan Kiai Mangunreja dalam “volume” (akustik) 10-an persen saja, suaranya sudah terdengar jelas dan menyayat, saat gendhing “Ima-ima-Ladrang Kapang-kapang” dimulai.
Suasana hening, apresiatif dan fokus menikmati bahkan menghayati, sudah terbangun sejak sajian pertama, walau Gendhing Sindhenan Srimpi Dhempel sebenarnya merupakan karawitan untuk mengiringi tari Srimpi Dhempel. Tetapi sekali lagi, karena cara menyajikan dan keseluruhan daya dukungnya proporsional, membuat sajian gendhing dengan Laras Slendro Pathet 9 ini “membius”.
Trelebih, ketika Gendhing Ima-ima, Kethuk 4 Kerep Minggah 8, berlanjut Ladrang Kapang-kapang Laras Pelog Pathet 6 menggema di sekitar ruang Bangsal Smarakata yang meluber sampai di teras, halaman dan dua ruang dekat Kori Sri Manganti dan Kori Kamandungan. Dua gending berikutnya, yaitu Gendhing Montro Kendho dan Gendhing Ladrang Rangu Asmara, mudah “melelapkan”.
Sajian “Konser Musik Luar Biasa” itu memang patut dilanjutkan sajiannya secara konsisten tiap weton Selasa Legi itu. Apalagi, 40-an abdi-dalem Keparak Mandra Budaya termasuk pesinden Nyi Behi Cendanilaras, Nyi Behi Puspitalaras, Nyi Behi Sintafuri, Nyi Endang Purwanti SSn, Nyi Sukini dan Ni Dhesanta Anggun Pramesthi, adalah para seniman berkualitas dan berdedikasi.
Konser musik sajian “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta malam itu, jelas “Bukan Kosner Musik Biasa”. Karena salah satu gending yang disajikan, yaitu Gendhing “Ladrang Sriyatna” yang diciptakan pada masa Sinuhun PB X. Walau hanya diambil 4 dari aslinya 40 bait, tetapi mewakili atau menjadi esensi pesan yang disampaikan, yaitu persembahan untuk Sinuhun PB X.
“Gendhing itu mengisahkan peristiwa Sinuhun PB X, setelah menerima anugerah kehormatan pangkat militer Letnan Jenderal (Letjen) dari pemerintah Kerajaan Belanda. Data peristiwa itu tertulis dalam cakepan (syair) gendhing Ladrang Sriyatna. Maka, saya juga sering menyebut, gendhing adalah sumber sejarah (walau bukan satu-satunya-Red),” tandas KRT Dr Joko Daryanto.
Abdi-dalem karawitan Keparak Mandra Budaya yang juga dosen FKIP UNS bahkan menegaskan kepada iMNews.id, masih banyak gendhing-gendhing karya pada saat Raja-raja di Kraton Mataram Surakarta jumeneng, patut menjadi sumber sejarah. Meskipun, masih ada sumber sejarah dalam bentuk dan jenis dokumen lain, selain yang ditulis para Empu dan Pujangga zaman Mataram itu.
Tetapi, justru karya gendhing-gendhing karya Empu, termasuk sebelas jenis tembang “Macapat” karya para Pujangga Surakarta yang di dalamnya ada beberapa Raja Mataram Surakarta, yang lebih meyakinkan sebagai sumber data dan informasi sejarah. Karena, buku-buku karya penulis barat banyak salah interprestasi atau tidak lengkap, karena tidak memahami sumbernya.
Para penulis barat tidak bisa memahami bahasa Jawa atau Kawi yang tertulis dalam aksara Jawa dan tersimpan dalam karya-karya gendhing, di situlah letak kelamahannya. Kelemahan serupa juga dimiliki para penulis dan intelektual kampus di Tanah Air, karena justru meyakini karya penulis barat, tetapi “menyepelekan” sumber sejarah yang lebih meyakinkan, yaitu “gendhing”. (Won Poerwono-bersambung/i1).