Bertanya Soal Konsep “Sapa Sira, Sapa Ingsun”, Dalam Konteks Dulu dan Kini
IMNEWS.ID – SELASA Wage (7/5) kemarin, GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA), menerima kunjungan studi lapangan 5 mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, yang mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 8 Bidang Kemenristekdikbud Tahun 2024.
Bersama Wakil Pengageng Mandra Budaya KPP Wijoyo Adiningrat dan Dr Purwadi (peneliti sejarah Lokantara Pusat di Jogja), pimpinan “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta yang akrab disapa Gusti Moeng itu melayani keperluan lima mahasiswa itu. Mereka melayani wawancara para mahasiswa tersebut di lingkungan kraton.
Mungkin saja karena pertimbangan efektivitas dan efisiensi, wawancara untuk ketiga tokoh tersebut, dilayani di beberapa tempat terpisah di lingkungan kraton dalam waktu yang hampir bersamaan. Dan terakhir Gusti Moeng melayani di ruang eks kantor Sinuhun PB XI, sekaligus mandatangani surat pengantar tugas dan berfoto bersama.
Kedatangan para mahasiswa semester 6 (S1) Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, membawa tema PKM “Pengasuhan Sapa Sira Sapa Ingsun Sebagai Solusi Pengasuhan Positif Pada Era Penormalan Toxic Parenting”. Tema sentral “Sapa Sira, Sapa Ingsun”, dulu tidak asing lagi di panggung ketoprak.
Sebagai ilustrasi, dari kajian sejarah Dr Purwadi menyebutkan, bahwa panggung seni drama ketoprak kesenian rakyat yang “diangkat” pemerintah, terutama selama rezim Orde Baru untuk menjalankan sebuah “misi”. Misi yang ditugaskan kepada seni ketoprak, adalah membelokkan arah perjalanan sejarah, mulai dari Majapahit sampai Mataram.
“Ada orang-orang intelektual yang bertugas memasok data dalam susunan skenarionya. Pelaksananya adalah para seniman ketoprak, yang mengeksekusi skenario cerita/tema/lakon di panggung pertunjukannya. Dulu, di sekitar (Kabupaten) Klaten yang dekat dengan Jogja, banyak sekali grup-grup ketoprak,” ujar Dr Purwadi.
Dari analisis iMNews.id terhadap kajian-kajian sejarah Dr Purwadi yang khusus meneliti tentang Mataram Surakarta dalam 20 tahun terakhir, seni drama ketoprak mulai dikenal setelah tahun 1950-an atau di sekitar peristiwa PKI di tahun 1948 dan G30S/PKI tahun 1965 dan intensitas pertunjukannya meningkat di tahun 1970-an hingga 1990-an.
Bukan hanya pertunjukan “live”nya di tobong-tobong ketoprak yang “mobile” dari kota ke kota, tetapi upaya “membentuk opini publik yang salah” terhadap tokoh-tokoh sejarah masa lalu, sangat efektif dilakukan melalui seni ketoprak ini. Apalagi, teknologi siaran radio yang paling menonjol waktu itu, bisa menjangkau masyarakat pedesaan.
Jadi, urusan “mencuci otak” agar masyarakat kelas menengah ke bawah terutama yang hidup jauh di pelosok pedesaaan meyakini kebenaran sejarah yang disimpangkan atau dibelokkan, adalah tugas panggung seni ketoprak. Sedangkan tugas “mencuci otak” kalangan pelajar sekolah hingga mahasiswa, diserahkan kepada sistem pendidikan nasional.
Dengan demikian tidak aneh, kalau kejayaan Kraton Majapahit yang ditampilkan di panggung ketoprak hanya tokoh Gajah Mada dan Sumpah Palapanya. Kalau sejarah Mataram yang ditonjolkan Panembahan Senapati, dalam rangka membunuh karakter. Karena dilukiskan sebagai “pembunuh” Ki Ageng Mangir, dengan membenturkan kepalanya di “batu Gilang”.
Bila bukan itu, mengangkat tema Sultan Agung yang dilukiskan “kalah perang” melawan Portugis di Pelabuhan Sunda Kelapa. Menurut Dr Purwadi, tokoh pembuat skenario ini termasuk tidak cermat. Karena, untuk sampai di pelabuhan Sunda Kelapa, harus melewati tiga kraton di Cirebon, penguasa wilayah Jawa Barat bagian timur.
“Bagaimana Sultan Agung dan bala-tentaranya melewati tiga kraton di Cirebon? Padahal untuk sampai pelabuhan Sunda Kelapa harus melewati wilayah itu. Kalau diterobos, apa kraton di Cirebon tidak tersinggung dan memicu perang?. Karena faktanya, tidak pernah ada data yang menyebut kraton-kraton di Cirebon perang melawan Sultan Agung”.
“Logikanya terus bagaimana? Sultan Agung kok berperang melawan tentara Portugis di Pelabuhan Sunda Kelapa, padahal yang masuk pelabuhan itu hanya para pedagang. Artinya, semua cerita yang dibangun lewat seni ketoprak itu tidak rasional. Itu ngawur, hoax. Karena punya misi penghancuran terhadap nama besar Mataram,” tunjuk Dr Purwadi.
Itulah bagian-bagian dari upaya “pembelokan” atau “penyimpangan” sejarah, yang bisa terhubung dengan konsep “Sapa Sira, Sapa Ingsun” yang menjadi tema sentral A’ida Faizya Fitrianetha, Dhita Adsa Adani, Mujahidah Syakhsiyyatul Kharimah, Aulia Nuurin Mahfudloh dan Mohamad Abrar Putera Redian, lima mahasiswa PKM di kraton, Selasa (7/5).
Karena adagium itu berkait dengan pengasuhan orang tua yang dikategorikan tidak baik atau “toxic” (beracun), maka Gusti Moeng-pun ketika memberi penjelasan soal itu, juga memberi bandingan makna sesungguhnya “Sapa Sira, sapa Ingsun” dalam tatakelola pemerintahan di kraton di masa lalu, dengan yang sering digunakan dalam pentas tari.
Karena, dalam konteks tatakelola pemerintahan di kraton terutama di masa lalu, makna “Sapa Sira, Sapa Ingsun” adalah sebagai simbol norma yang membatasi antara tugas dan kewajiban seorang Raja yang juga sebagai kepala pemerintahan, dengan tugas dan kewajiban para pejabat, sentana, abdi-dalem dan keluarga Raja di sisi lain lagi.
Norma etika itu juga mengatur bagaimana hubungan satu sama lain, yang tentu harus sesuai dengan posisinya, tetapi semua berada dalam bingkai etika dan estetika dalam budaya Jawa serta paugeran adat yang berlaku. Tetapi, Gusti Moeng juga melukiskan konsep itu hingga kini masih dilakukan di luar kraton, tetapi dalam makna yang menyimpang.
“Coba saya tanya, anda merasakan apa tidak? Yang terjadi selama ini, apalagi yang terakhir ini, terasa apa tidak perilaku ‘Sapa Sira, sapa Ingsun’ itu?. Karena, alasannya mumpung berkuasa. Tak hanya dalam pemerintahan, di DPR-RI-pun demikian. Mereka terang-terangan berkata, mumpung jadi anggota DPR,” tunjuk Gusti Moeng.
Gusti Moeng menunjukkan pemakaian konsep “Sapa Sira, Sapa Ingsun” dalam makna yang salah atau menyimpang, dengan melempar pertanyaan kepada para mahasiswa yang mewawancarainya di eks kantor Sinuhun PB XI, siang itu. Dia bahkan melukiskan, orang-orang yang sedang mempraktikkan “aji mumpung” itu mirip “kethek” yang sedang berebut buah.
Perumpamaan ini juga digunakan Gusti Moeng saat seseorah sebagai nara-sumber di forum sarasehan yang digelar Komunitas Purnaman Bantul, di kompleks situs “Sela Gilanglipuro”, Desa Gilangrejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 25/4). Gusti Moeng melukiskannya dari seni wayang kisah “Goa Kiskendha”.
“Goa Kiskendha” adalah nama tempat yang sering ditampilkan dalam seni wayang kulit atau wayang-wong (orang) dalam serial cerita/lakon Ramayana. Di goa itu, para wadya-bala Prabu Rama yang hampir semunya kera itu, sering berunding, bersekongkol dan berselisih untuk berebut kekuasaan, tingkahnya tidak beda jauh saat berebut buah.
Dalam pandangan Dr Purwadi saat menjawab pertanyaan lima mahasiswa itu, konsep “Sapa Sira, Sapa Ingsun” dalam konteks kerajaan di masa lampau, sebenarnya menempatkan seorang Raja sebagai “ingsun” dalam konteks hubungan egalitarian yang ada batas-batasnya sudah jelas. Salah satu batasnya, adalah kata “Sahandhap Sampeyan-dalem”.
Apa makna kata “Sahandhap Sampeyan-dalem” yang selalu diekspresikan sebagai “ingsun” secara salah itu? Sejatinya Raja itu posisinya “di bawah” (sahandhap) “kaki” (sampeyan) “rakyat” (dalem). Secara utuh, bermakna bahwa seorang Raja sekalipun bermahkota atau diberi (amanah) kekuasaan, tetapi punya tugas dan kewajiban melayani rakyatnya.
“Apalagi, seorang Raja Mataram Islam, yang gelarnya khalifatullah, ngabdurachman, sayidin, panetep dan panatagama. Dia selalu dituntut ‘ber-budi, bawa leksana’ atau murah hati, berwibawa dan bertanggungjawab. Selalu menjadi teladan baik dan mengayomi semuanya secara adil, apalagi terhadap yang lemah,” beber Dr Purwadi. (Won Poerwono-bersambung/i1).