Mungkinkan Segala Bentuk Potensi Ancaman Itu Bisa Diatasi dengan UU Perlindungan Masyarakat Adat?
IMNEWS.ID – DILEMATIKA telah terjadi antara “ambisi” menghapus semua kegiatan produk budaya Jawa dan simbol-simbol kelembagaan Kraton Mataram Surakarta sebagai sumber dan pusat pelestariannya di satu sisi. Di sisi lain, sudah tampak jelas potensi ancaman disintegrasi bangsa akibat ketahanan budaya nasional menjadi sangat lemah.
Yang memprihatinkan, penguasa tidak jeli mengevaluasi segala kebijakan yang menyangkut perlindungan masyarakat adat dan pencegahan atau antisipasi masuknya budaya asing yang membawa anasir-anasir buruk seperti radikalisme dan intoleransi. Negara melalui pemerintahannya di berbagai tingkatan, tampak tidak berusaha mencari solusinya.
Padahal jelas, dilematika itu justru bermuara di dalam kelembagaan di lingkungan kekuasaan sendiri. Karena produk-produk kebijakannya, tidak melindungi aktivitas ekspresi seni, adat, tradisi dan budaya masyarakatnya, termasuk adat. Tetapi, justru membiarkan berkembangnya potensi ancaman terhadap ketahanan budaya itu.
Kraton Mataram Surakarta yang menjadi sumber budaya Jawa dan selama ini telah memeliharanya, menjadi salah satu contoh kasus “korban” ancaman nyata potensi “penghancuran” dan “penghapusan” kelembagaan, simbol-simbol dan aktivitas adat, seni dan budaya oleh berbagai jenis kekuatan, termasuk lembaga kekuasaan.
Karena yang mengalami nasib serupa tidak hanya Kraton Mataram Surakarta tetapi merata secara nasional, maka potensi ancaman itu juga dirasakan di kraton-kraton lain anggota DPP Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) yang dipimpin KPH Edy Wirabhumi (Ketua Umum) dan FKIKN yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah (Sekjen).
Melihat kasus yang dialami Kraton Mataram Surakarta, juga kraton-kraton lain se-Nusantara yang tinggal 50-an dari jumlah 250-an sebelum ada NKRI itu, jelas mengindikasikan bahwa ketahanan budaya nasional kini sangat lemah akibat potensi ancaman dari berbagai penjuru, khususnya melalui kelembagaan pemerintah sendiri.
Karena, sejak lebih lima tahun lalu FKIKN, MAKN dan beberapa elemen bangsa di luar itu telah merintis sebuah instrumen untuk perlindungan masyarakat adat di DPR RI, maka sudah saatnya Rancangan Undang Undang (RUU) Perlindungan Masyarakat Adat yang kabarnya sudah masuk “Prolegnas” segera dibahas dan disyahkan menjadi UU.
Perlindungan negara terhadap keberadaan masyarakat adat dan kebebasan menjalankan aktivitas adat, tradisi, seni dan budaya yang di dalamnya termasuk ekspresi sikap spiritual kebatinan masyarakat adat, sangat urgen dan mendesak dilakukan negara. Agar pemerintah pusat sampai tingkat daerah, memahami dan menghormati sepenuhnya.
Kelembagaan Kraton Mataram Surakarta dan simbol-simbol budaya Jawa, perlu mendapat prioritas perlindungan UU itu. Mengingat, secara konstitusional kraton ini disebut dalam pasal 18 UUD 45, sebagai Daerah Istimewa setingkat provinsi dan satuan masyarakat adat yang seharusnya diwujudkan negara dan dihormati pemerintah.
Bagi kraton-kraton anggota organisasi MAKN dan paguyuban FKIKN, termasuk Kraton Surakarta, UU Perlindungan Masyarakat Adat sangat urgen dan mendesak. Tetapi khusus bagi Kraton Mataram Surakarta, ada beberapa lagi yang urgen dan mendesak dilaksanaan sesuai amanat konstitusi, yaitu UU Keistimewaan dan Perpres No 19/1964.
Selama 10 tahun pemerintahan Presiden SBY (2004-2014), dua undang-undang khususnya UU Keistimewaan Surakarta sudah mulai disuarakan hingga uji materi UU No 10/1950 tentang Provinsi Jateng, tetapi gagal-total. Selama 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi yang hampir habis (2014-2024), juga tak ada perbaikan “nasib” yang berarti.
Janji-janji yang pernah diberikan di hadapan para utusan kraton dari FKIKN di Istana Bogor dan Istana Presiden sekitar tahun 2018 yang akan merehabilitasi kondisi kraton yang rata-rata rusak parah, boleh dikatakan juga tidak ada wujudnya atau tinggal janji, akibat “negara lalai, mengingkari amanat konstitusi”.
Pemkot Surakarta sejak berdiri setelah 17 Agustus 1945, mungkin sama sikapnya dengan pemerintahan tingkat kota/kabupaten atau provinsi pada umumnya, ketika menghadapi keberadaan satuan lembaga pemerintahan adat yang sebelumnya sudah ada. Sikap pemerintahnya boleh disebut “tidak ramah” terhadap kraton dan budaya Jawa.
Terlebih, saat Surakarta menjadi basis kekuatan Tan Malaka, yang berkolaborasi dengan komunis (PKI-Red) dan menjadi oposisi pemerintahan Presiden Soekarno. Nasib kraton benar-benar “ngenes”. Status Daerah Istimewa dibekukan, kompleks kantor Kepatihan dibakar, tanahnya dijarah.
Ketika Oetomo Ramelan menjabat sebagai Wali Kota di saat dilanda G30S/PKI di tahun 1965, kraton juga menjadi “korban”. Di usia 78 tahun ini, Pemkot Surakarta “belum” berubah. Tetapi malah menciptakan event-event ritual tandingan yang “mengadu-domba” dan menambah “ganas” potensi ancaman terhadap kraton dan budaya Jawa. (Won Poerwono-habis/i1).