Juga Dijanjikan “Ganti Rugi” dan Biaya Perawatan Lewat Bantuan Hibah APBD
IMNEWS.ID – BEGITU kedua alun-alun aset Kraton Mataram Surakarta selesai direvitalisasi, kegiatan yang boleh dilakukan di ruang terbuka yang cukup luas itu akan selektif dan terbatas sekali. Tetapi, Bebadan Kabinet 2004 tetap berharap, Alun-alun Lor bisa digunakan untuk pendukung Sekaten dan berbagai upacara adat lainnya.
Ketika mencermati presentasi, diskusi hingga “kesepakatan” yang didapat dalam forum rapat koordinasi membahas proyek revitalisasi bantuan Kemen PUPR melalui APBN sebesar Rp 1,4 T di Hotel Sunan, Selasa (26/3) lalu, Wawali Teguh Prakosa menandaskan bahwa kegiatan layanan parkir harus pindah dari kawasan alun-alun.
Ketika kegiatan layanan parkir dihentikan di sejumlah titik lokasi kawasan Alun-alun Lor, jelas akan menghilangkan pendapatan kraton dari pengelolaan parkir di lokasi yang masuk otoritasnya. Yaitu di dalam alun-alun, juga semua titik lokasi di dalam kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa setelah direvitalisasi.
Masih ada sejumlah banyak titik lokasi layanan parkir di sekitar Alun-alun Lor yang masuk dalam kawasan Kraton Mataram Surakarta, tetapi sudah di luar otoritas kraton. Yaitu lokasi parkir di sayap selatan depan pagar Masjid Agung, depan pintu masjid dan di sayap utara depan masjid.
Titik lokasi layanan parkir lain yang di luar otoritas kraton atau justru dikuasai pihak luar, yaitu di sela-sela ruang Pasar Cinderamata dari barat ke timur sisi utara Alun-alun Lor, dari utara ke selatan sisi timur alun-alun. Di sejumlah titik itu, hampir semua untuk kepentingan Pasar Klewer dan Pasar Cinderamata.
Sedangkan lokasi layanan parkir di dalam kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa yang diisyaratkan harus pindah setelah kompleks bangunan bersejarah itu mendapat giliran proyek revitalisasi lanjutan, terdapat di seluruh halaman depan pendapa dari timur ke barat. Juga ditambah di sisi barat pendapa.
“Kalau kegiatan parkir di kawasan alun-alun, juga di Pendapa Pagelaran kalau nanti sudah direvitalisasi, tentu harus distop semua. Pemkot akan memikirkan tampat penggantinya. Pemkot akan mengganti kerugian itu melalui dana (hibah) APBD seperti yang selama ini diterima (kraton),” ujar Wakil Wali Kota Surakarta.
Menyikapi itu, secara terpisah GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat saat dikonfirmasi iMNews.id, kemarin, mengaku belum pernah diajak berdiskusi soal “ganti rugi” dimaksud, baik sebelum pekerjaan revitalisasi dimulai maupun sesudahnya.
“Tidak tahu, maksud penganti kerugian diberikan melalui APBD itu bagaimana?. Kami belum pernah diajak rembugan (diskusi), baik sebelum maupun sesudah revitalisasi ini dikerjakan. La wong perencanaan revitalisasinya saja kami tidak pernah diajak berembug, apalagi rembugan soal pengganti kerugiannya”.
“Kalau disebut dana hibah melalui APBD yang pernah diterima kraton, dulu pernah, jauh sebelum 2017. Dalam 10 tahun terakhir, Bebadan Kabinet 2004 yang menjalankan tugas-tugas adat sama sekali tidak menerima bantuan dari pemerintah, di tingkat apapun. Kalau disebut sudah diberikan ke kraton, siapa yang menerima?”.
“Kalau nanti mau memberi pengganti kerugian akibat pemasukan dari pengelolaan parkir sudah tidak ada akibat lokasinya dipindah, tidak perlu repot-repot. Laksanakan saja Perpres No 19/1964 sesuai SKB ‘Tiga Menteri’ itu dengan sungguh-sungguh. Itu adalah perintah UUD 45, turunan Pasal 18,” ujar Gusti Moeng menunjukkan.
Perintah konstitusi Pasal 18 UUD 45 itu, antara lain berbunyi pemerintah rezim penguasa siapa saja, wajib menghormati dan memelihara satuan pemerintahan adat yang lebih dulu ada (Kraton mataram Surakarta). Definisi “menghormati” dan “memelihara” tak perlu dijelaskan lagi, karena pemerintah pasti sudah sangat paham.
Gusti Moeng menegaskan, kewajiban pemerintah menjalankan Perpes No 19/1964 itu jelas tidak bisa hanya diwujudkan bantuan hibah melalui APBN hingga APBD yang mirip diberikan kepada ormas atau LSM. Tetapi, sebagai bentuk tanggung-jawab pemerintah untuk mengganti seluruh biaya operasional kraton, selamanya.
Kalau kraton memiliki jajaran lembaga pengelolaan di berbagai otoritas yang ada, juga biaya operasional dan beban-beban pajak di setiap unit kelembagaannya, di sanalah ada beban biaya yang harus dikeluarkan rutin setiap bulan. Beban biaya itulah yang rutin harus ditanggung pemerintah tiap bulan atau tahun, selamanya.
Hal yang ditandaskan Gusti Moeng itu merupakan konsekuensi saat Kraton Mataram Surakarta ikut mendirikan NKRI pada 17 Agustus 1945. Sinuhun PB XII menyatakan “menggabungkan” wilayah kraton ke dalam NKRI dan kraton dinyatakan “berdiri di belakang republik”, salah satu konsekuensinya tertuang dalam Pasal 18 UUD 45.
Dari Pasal 18 UUD 45, lahirlah Perpres No 19/1964 yang menurunkan SKB “Tiga Menteri”. Ketika dianalisis, kewajiban pemerintah menghormati dan memelihara kraton sesuai amanat undang-undang, bisa melalui lembaga kementerian apa saja. Pemerintah harus menjalankan kewajibannya, “bukan sekadar memberi bantuan hibah”.
Dengan konteks kewajiban sesuai amanat konstitusi seperti ini, bantuan proyek revitalisasi dari kemen PUPR melalui APBN senilai Rp 1,4 T itu, tentu jauh sekali dari esensi semangat “menghormati dan memelihara” kraton. Apalagi, ada kesan yang membuat kraton “terpaksa” harus menerima sesuai kemauan/selera pemerintah.
Kesan-kesan itu tampak sekali dari proses perencanaan sampai pelaksanaan yang disebut sudah mencapai 45 persen sampai Selasa (26/3) itu. Apalagi, sebelum Gusti Moeng atas nama kraton menyerahkan risalah berisi usulan dan masukan, rapat koordinasi itu melukiskan proses penentuan untuk memilih pasir atau rumput.
Rapat akhirnya memutuskan rumput menjadi “topping” penutup permukaan tanah baik di Alun-alun Lor maupun Alun-alun Kidul, meskipun disepakati pula ada bagian tertentu yang harus ditutup pasir. Karena, kedua alun-alun itu juga akan berfungsi sebagai ajang pertunjukan musik, kampanye dan berbagai keperluan lain.
Meskipun jenis kegiatannya diseleksi dan terbatas, tetapi perlu memilih jenis rumput tertentu yang tahan tertutup agak lama, dan kalaupun layu atau ada yang kering, bisa cepat tumbuh tunas baru. Itu adalah kesepakatan terakhir soal rumput, padahal risalah masukan dari kraton, banyak yang perlu diperhatikan.
Masukan 8 guru besar/ahli berbagai disiplin ilmu dari beberapa universitas dan Javanologi UNS menyebutkan, ada berbagai aspek fungsi dan makna kedua alun-alun sebagai masukan. Risalah berisi pandangan para ahli itu, diserahkan Gusti Moeng kepada Dinas Kimpraswil Jateng sebagai panduan dan pertimbangan proyek. (Won Poerwono-bersambung/i1).