Fenomena “Makam Ganda” di Beberapa Lokasi Makam Tokoh Leluhur Dinasti Mataram (Seri 3 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 16, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Fenomena “Makam Ganda” di Beberapa Lokasi Makam Tokoh Leluhur Dinasti Mataram (Seri 3 – bersambung)
JUGA ADA : Di Astana Pajimatan Paremono di Desa Paremono, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, juga disebutkan ada makam RAy Kleting Kuning, putri Sinuhun Amangkurat Agung, selain di kompleks Astana Pajimatan Tegalarum, Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Semua Bisa Jadi Sarana Memuliakan, Pamong Makam Harus Berani dan Jujur Menegaskan

IMNEWS.ID – KETIKA mencermati apa yang selalu dilakukan GKR Wandansari Koes Moertiyah (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat), pada setiap berziarah di kompleks makam leluhur Dinasti Mataram di manapun lokasinya, semua keraguan dan kekhawatiran sudah seharusnya dibuang jauh-jauh.

Sikap, cara pandang dan perbuatan nyata pimpinan “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta itu sudah jelas memberi teladan dan kepada masyarakat adat yang tergabung dalam Dinasti Mataram maupun publik secara luas. Bahwa persoalan makam tokoh leluhur yang asli atau petilasan, semua sangat penting dan bermakna.

Semua memiliki manfaat yang sama terutama bagi generasi masyarakat adat yang masih hidup, yaitu bimbingan, petunjuk dan pedoman untuk memberi penghormatan dan memuliakan leluhur. Karena keteladanan itu juga menunjukkan sebuah keniscayaan, bahwa kita bisa ada karena ada kedua orangtua kita yang melahirkan.

Nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan yang sekaligus terkandung dalam tata-cara penghormatan dan pemuliaan para tokoh leluhur seperti yang dicontohkan anak ke-25 Sinuhun PB XII yang akrab disapa Gusti Moeng itu, adalah kesadaran kita terhadap siapa yang telah melahirkan kita ke dunia?

“Nilai-nilai ini yang menjadi hakikat dari nyadran, ziarah dan apapun istilahnya. Sebagai manusia yang sadar dari mana asal-usulnya, wajib memberi penghormatan dan memuliakan. Tatacara itu semua ada dalam budaya Jawa yang disebut nyadran, Ruwahan, tilik kubur, bersih kubur bahkan khol (haul-Red)”.

“Kalau kita sebagai keturunan orang tua kita saja tidak mau berbhakti meskipun tinggal kuburannya, berarti kita mengingkari asal-usul kita sendiri. Apa mungkin manusia ada di dunia ini muncul dari watu atau kayu yang mlethek? Di sinilah gunanya budaya (Jawa),” tunjuk Gusti Moeng kepada iMNews.id, beberapa waktu lalu.

PROSESI NYADRAN : Prosesi tatacara nyadran di Astana Pajimatan Pucanganom, Desa Pucanganom, Kecamatan Srumbung yang dilakukan Pakasa Cabang Magelang yang dipimpin ketuanya, KRT Bagiyono Rumeksonagoro, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/dok)

Kalau dianalisis lebih jauh inti tatacara nyadran, “Ruwahan” atau apapun istilahnya yang pernah disinggung Gusti Moeng dalam beberapa kali kesempatan nyadran atau ritual haul di sejumlah tempat, jelas sekali terkandung nilai-nilai kemanusiaan sekaligus nilai-nilai ketuhanan.

Nilai-nilai kemanusiaan itu ditunjukkan dengan perbuatan fisik menghormati sesama ciptaan Allah SWT, walau sudah tinggal jasad di dalam kuburannya. Sedangkan nilai-nilai ketuhanan, jelas terletak pada sikap dalam tatacara religi memuliakan Sang Maha Pencipta manusia, seperti disebut dalam “Sangkan-Paraning Dumadi”.

Oleh sebab itu, walau yang tampak itu adalah nisan atau kijing di pusara makam yang dijamin asli bahwa jasad tokoh yang “sumare” (bersemayam-Red) di dalamnya adalah benar-benar tokoh yang dimaksud, ataupun tinggal “petilasannya” saja, keduanya sah dan sama nilainya sebagai sarana untuk menghormati dan memuliakan.

Setelah mencermati keteladan yang dicontohkan Gusti Moeng, maka lahirnya “makam ganda” di sejumlah makam yang ada di wilayah kabupaten berbeda, sebenarnya tidak perlu menjadi alasan untuk saling mengeluarkan “klaim” bahwa makam tokoh yang dimuliakan di wilayahnya adalah makam tokoh yang benar atau asli.

Keteladanan Gusti Moeng tak sekadar menunjuk bahwa budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, memiliki kaidah tatacara yang penuh etika dan estika selain unsur rasionalitas. Oleh sebab itu, makam dan petilasan punya nilai yang sah dan sama sebagai sarana penghormatan dan pemuliaan, adalah sangat rasional.

Walaupun cara pandang dan bersikap di kalangan masyarakat adat atau publik secara luas bisa mengakomodasi keteladanan Gusti Moeng, tetapi wajar juga kalau ada di antara masyarakat luas yang punya cara pandang dan sikap berbeda atas lahirnya fenomena “makam ganda”.

TETAP DIMULIAKAN : Walau tinggal petilasan karena jasad Kangjeng Ratu Beruk sudah dipindah jadi satu dengan sang suami, Sinuhun PB III, di Astana Pajimatan Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, bekas makam itu tetap disadran dan dimuliakan Gusti Moeng. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Seperti diperlihatkan pengurus Pakasa Cabang Pati, misalnya, cara pandang dan sikap yang berbeda atas adanya “makam ganda” itu lebih besar karena alasan kekhawatiran terganggunya potensi nilai ekonomis dari pengelolaan makam, akibat ada keragu-raguan yang berkembang di kalangan peziarah atau calon peziarah.

Pandang berbeda dan lebih tajam, bahkan diungkapkan KRA Bambang S Adiningrat selaku Ketua Pakasa Cabang Jepara, saat dihubungi iMNews.id, kemarin. Menurutnya, fenomena itu diakui ada dan di antaranya terselip kesan ada unsur kesengajaan untuk menciptakan “makam ganda”.

Di wilayah Kabupaten Jepara, KRA Bambang menyebut sama sekali tidak ada fenomena itu, tetapi lahirnya fenomena yang dimaksud, juga tidak disebut di wilayah kabupaten mana. Menurutnya, mekanisme untuk mengatasi fenomena itu, hingga kini memang belum ada, karena fenomena ini termasuk sangat jarang terjadi.

“Saya pernah mendengar, ada peristiwa pembongkaran makam yang diduga berisi jasad tokoh palsu, yang dilakukan beberapa elemen masyarakat setempat. Tetapi, saya lupa di kabupaten mana. Kalau sudah begitu, ‘kan memalukan. Sangat tidak beretika. Orang sudah meninggal kok digunakan jadi objek cari duit”.

ADA KEMIRIPAN : Gusti Moeng saat berfoto bersama usai mengikuti haul wafat Pangeran Benawa (Benowo-Red) I di puncak bukit Desa Watesaji, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Pati. Nama tokoh leluhur Dinasti Mataram yang ada di situ, mirip dengan nama tokoh yang ada di Kabupaten Pemalang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Saya memang tidak tahu, apa ada mekanisme aturan untuk mengatasinya. Tetapi, kalau benar-benar ada makam ganda, apalagi sengaja direkayasa dan digunakan untuk hal-hal yang menyesatkan, lama-lama pasti ketahuan dan  akan dibongkar paksa. Kalau sekadar untuk cari duit, tetap bisa merugikan pihak lain,” ujar KRA Bambang.

Meski begitu, KRA Bambang berpendapat, hanya tinggal kejujuran yang bisa mengatasi fenomena “makam ganda”, agar tidak merugikan pengelola makam di satu lokasi/daerah dan menghindari anggapan “kecelik”. Juru kunci atau pamong makam harus berani dan jujur mengatakan makam atau petilasan, dengan memasang tulisan petunjuk. (Won Poerwono-bersambung/i1).