Berbagai Keperluan Mengungkap Perjanjian Giyanti (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:February 13, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read
Perjanjian Giyanti
BERISI 11 KLAUSUL : Lembar halaman buku yang berisi 11 klausul dan tanda tangan sejumlah tokoh pada waktu itu, adalah terjemahan dari aslinya berupa manuskrip berjudul Babad Giyanti, yang kini tersimpan di Museum Arsip Nasional RI (ANRI), Jakarta. Perjanjian itu terjadi di Desa Kerten Jantiharjo (bukan Giyantisari-Red), Kecamatan Matesih (kini), Kabupaten Karanganyar, 13 Februari 1755. (foto : iMNews.Id/dok)

Semangat “Meneruskan Perjuangan” yang Kontraproduktif

iMNews.id – SEGUDANG keberuntungan yang sudah diperoleh Keraton Yogja selama republik (NKRI) ini berdiri, termasuk status DIY-nya, seharusnya sudah cukup. Kemampuan dan keberadaan melimpah yang dimilikinya sekarang ini, tidak elok bila digunakan untuk “memelihara perjuangan”, yang arahnya untuk “meniadakan” eksistensi bagian keluarga lain dari Dinasti Mataram.

Semangat meneruskan perjuangan masa lalu yang termasuk agresif dan tendensius seperti yang dilakukan selama ini, tentu mudah terekam, karena gerakannya sangat mudah diidentifikasi ketika serangkaian aktivitasnya bermunculan satupersatu di permukaan. Sehingga, tidak salah kalau ada dugaan kegiatan “Mengungkap Perjanjian Giyanti, untuk Keperluan Meneruskan Perjuangan” dari yang sudah ada sebelum NKRI lahir, maupun setelah republik ini berdiri pada 17 Agustus 1945.

Namun jangan lupa, masih ada sepasang kata yang belum terakomodasi dalam judul itu, yaitu kata “kontraproduktif”. Sebab, semangat beraktivitas yang dilakukan dan dibiayai secara serius, terutama sejak ada dana keistimewaan, jelas tak akan bisa menghapus fakta-fakta sejarah dan keniscayaan yang ada sepanjang sejarah peradaban.

Ada tiga hal penting yang patut dicatat dari judul itu. Pertama, terkesan ada keterkaitan antara jenis aktivitas yang satu dengan yang lain. Kedua, arahnya seakan-akan ingin meniadakan dan yang ketiga hasilnya bisa kontraproduktif.

Perjanjian Giyanti menjadi objek pokok sekaligus variabel yang dijadikan bungkus ketiga hal penting itu. Sementara, Keraton Mataram Surakarta menjadi variabel lain tetapi penting, karena menjadi target dari berbagai aktivitas yang mengarah kepadanya.

Menyimak “semangat berbagai aktivitas” yang tergolong agresif itu, terkesan meniru pola gerakan penghapusan memori publik atas eksistensi Keraton Mataram Surakarta selama rezim pemerintahan Orde Baru. Upaya yang berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998 itu, benar-benar masif, sistemik/sistematik dan terstruktur.

“Keberhasilan” yang menelan biaya (APBN) sangat besar di masa rezim Orba itu, rupanya ingin ditiru ketika berbagai aktivitas itu muncul ke permukaan. Terlebih sejak UU Keistimewaan Jogja (UU No 13/2012) disahkan di saat Presiden SBY memimpin selama dua periode, yang diikuti dengan dana istimewa yang melimpah.

Salah satu aktivitas itu, di antaranya dalam bentuk sarasehan/diskusi yang sudah terjadi beberapa kali sejak ada UUK No 13/2012, yang salah satunya digelar di Keraton Jogja, 2019. Forum yang sengaja mengangkat tema “Perjanjian Giyanti” sebagai pokok bahasannya itu, sempat mengundang seorang pengamat sejarah dari Komuntas Societeit Surakarta bernama Dani Saptoni SS.

Dalam serangkaian sarasehan/diskusi/seminar bertema Perjanjian Giyanti itu, banyak mengundang kalangan sejarawan dari beberapa perguruan tinggi di Jogja di antaranya UGM, agar berbicara mengenai perjanjian itu “sesuai versi” penyelenggara. Tetapi apa yang terjadi, di forum itu Dani Saptoni tidak mau “digiring” untuk untuk mempertebal dan meyakinkan kebenaran stigma buruk/negatif terhadap Keraton Mataram Surakarta yang selalu dipersepsikan pro Belanda dan anteknya Belanda.

Fakta Perjanjian Giyanti
DOKUMEN FOTO LOKASI : Lembar halaman buku dalam bahasa Indonesia yang berisi suasana bangunan monumental dan wujud asli yang penuh aneka tumbuhan itu, adalah dokumen foto Perjanjian Giyanti pernah terjadi di Desa Kerten Jantiharjo (bukan Giyantisari-Red), Kecamatan Matesih (kini), Kabupaten Karanganyar, 13 Februari 1755. Di halaman itu, juga tertulis tentang ”Fakta Perjanjian Giyanti”. (foto : iMNews.Id/dok)

Semangat Tendensius

Aktivitas tendensius yang terkesan untuk “meniadakan” eksistensi Keraton Mataram Surakarta, yang diharapkan muncul dari statemen (dukungan) Dani Saptoni SS rupanya tidak berhasil. Tetapi di antara penjelasannya, terselip hal-hal baru yang terkesan “membela”‘ Keraton Mataram Surakarta.

Doni Saptoni sendiri mengaku yang diungkapkan hal yang biasa-biasa saja, bahkan menurutnya forum diskusi yang terjadi juga dalam suasana sejuk. Namun temuan baru yang diungkap di forum itu, bisa menjadi bibit-bibit kontraproduktif, walau untuk melawan ”semangat tendensius” melalui youtube dan konten di medsos lainnya dan opini publik yang sudah terbentuk sejak zaman Orba, masih butuh energi dari luar dan dalam lebih besar.

“Kalau kesan yang saya rasakan, diskusi itu biasa-biasa saja. Sejarah ‘kan bagian dari ilmu pengetahuan. Kalau ada temuan baru, bisa merubah mindset yang sebelumnya ada. Dan itu, bisa menjadi bahan telaah lebih luas dan panjang,” ujar Dani mengisahkan sebagian pengalamannya menjadi pembicara sarasehan “Perjanjian Giyanti” di Jogja 2019, menjawab pertanyaan IMNews.Id, kemarin.

Dani Saptoni, adalah salah satu alumnus jurusan sejarah FIB UNS, sama dengan RM Restu. Keduanya aktif di forum-forum diskusi tentang sejarah, bahkan Dani adalah penggerak Komunitas Societeit Surakarta. Saat berlangsung sarasehan ‘Perjanjian Giyanti’ di ndalem Kayonan (iMNews.Id, 11/2), Dani menjadi pembicara bersama Widodo Aribowo sejarawan Asga (kandidat doktor UNS), sementara RM Restu sebagai moderatornya.

Bagian “skenario” berikutnya, adalah “Diskusi Budaya” bertema “Masa Peralihan Mataram Islam”, yang digelar Forum Budaya Mataram bersama Din Dik Wil VII di serambi kagungandalem Masjid Agung Keraton Mataram Surakarta, 7 Maret 2020. Tidak lama kemudian, berlanjut dengan webminar yang digelar jurusan sejarah FIB UNS, tetapi sempat menuai somasi dari lembaga Pusat Studi Daerah Istimwa (Pusadi) Jogja.

Skenario forum diskusi/sarasehan/seminar dan yang menampilkan penggalan tentang isi Perjanjian Giyanti berikut narasi-narasinya di youtube dan konten medsos lainnya, polanya seakan meniru zaman Orba. Meski instrumen yang digunakan jauh lebih modern dan masih samar-samar jika disebut masif, sistemik dan terstruktur.

Kata Perjanjian Giyanti
KATA PERJANJIAN GIYANTI : Balai Pustaka juga menyarikan isi Perjanjian Giyanti dari Babad Giyanti, ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul ”Fakta Perjanjian Giyanti”. Isinya hanya enam klausul. Di situ ditegaskan, perjanjian di Desa Kerten Jantiharjo (bukan Giyantisari-Red), Kecamatan Matesih (kini), Kabupaten Karanganyar, 13 Februari 1755 itu, tidak adapembagian kebudayaan. (foto : iMNews.Id/dok)

Omong Kosong Tanpa Dasar

Berbagai skenario yang bisa disebut tendensius itu,sejatinya sungguh tidak akan mampu merubah fakta dan keniscayaan sejarah, bahwa Perjanjian Giyanti memang begitu adanya. Realitas yang terjadi waktu itu, bagaimana proses terjadinya Keraton Jogja, bagaimana sepakterjang Pangeran Mangkubumi, bagaimana posisi VOC dan apa hubungannya dengan Pangeran Mangkubumi dan Keraton Jogja, lalu bagaimana eksistensi Keraton Mataram Surakarta, ya begitulah adanya.

Singkat kata, Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi raja Keraton Jogja itu, faktanya ya tetap sebagai Sultan Hamengku Buwono I. Karena Kumpeni Belanda di Semarang tidak mengizinkan paman Sinuhun Paku Buwono III itu menggunakan nama dinasti “Sunan”, meski nama depan itu “terlanjur” dibubuhkan dalam “Perjanjian Giyanti”. Dan “perintah” itu harus ditaati, karena faktanya raja Keraton Jogja yang melantik Kumpeni Belanda.

Mengapa harus demikian?. Karena fakta yang tertulis dalam Perjanjian Giyanti” itu menyebut, bahwa Sultan wajib menyetorkan (semacam pajak) atas hasil “bumi” yang dipinjamkan kepadanya. Dengan munculnya kopi utuh Perjanjian Giyanti di ruang publik belakangan ini, banyak hal dari stigma negatif yang selama ini diberikan kepada Keraton Mataram Surakarta, seakan menjadi semacam omong-kosong tanpa dasar dan terkesan mengarah provokatif.

Tetapi, semua yang bermuara di Perjanjian Giyanti itu, memang perlu diuji ulang untuk didapatkan nota akademis serta dipublikasikan secara terbuka, agar publik secara luas menjadi tahu kebenarannya. Karena, kesalahan interpretatif dan ketidaktahuan yang selama ini disandang publik secara luas, sangat besar pengaruh dan dampaknya.

Misalnya terhadap pandangan politik kalangan lembaga tinggi negara macam MPR dan DPR RI khususnya Komisi II DPR RI, yang telah mengeluarkan produk kebijakan politik kurang tepat, bahkan merugikan pihak-pihak tertentu khususnya bagi Keraton Mataram Surakarta atau Keraton Surakarta Hadiningrat.

Memang, tak banyak yang paham bagaimana sebenarnya isi Perjanjian Giyanti?. Bagaimana sejatinya asal-usul Keraton Jogja?, bagaimana kemudian lahir Piagam Kedudukan Ir Soekarno?, bagaimana adanya Maklumat Sinuhun PB XII dan KGPAA MN VIII?, bagaimana bisa ada DIY tetapi DIS (Daerah Istimewa Surakarta) menjadi tidak ada? Seperti lenyap ditelan bumi. (Won Poerwono-bersambung)