Jadi Ajang “Flashback” Berbagai Peristiwa “Perusakan Paugeran Adat” di Kraton
IMNEWS.ID – FORUM kenduri donga wilujengan peringatan genap setahun jajaran “Bebadan Kabinet 2004”, setelah bekerja penuh di dalam kraton yang digelar Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (iMNews.id, 17/12), selain menjadi ajang refleksi mengenang peristiwa 17 Desember 2022 juga menjadi ajang “flashback” berbagai peristiwa yang terjadi.
Flashback mengenang berbagai peristiwa yang hampir semuanya punya kemiripan tujuan “perusakan paugeran adat”, seakan menjadi tema yang sama yang bermuara pada proses alih kepemimpinan atau suksesi tahun 2004. Karena secara langsung ataupun tidak, peristiwa ini yang menjadi alasan, kelanjutan dan buntut terjadinya peristiwa-peristiwa berikutnya hingga 2023.
Tetapi, peristiwa “Insiden Mirip Operasi Militer 2017” itulah yang kemudian melahirkan peristiwa “Insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” pada tanggal 17 Desember 2022, yang setahun kemudian diperingati, tepat pada 17 Desember 2023 yang jatuh hari Minggu lalu. Berbagai rentetan peristiwa itu, temanya adalah rusaknya paugeran adat.
Bertutur tentang flashback pada peristiwa proses suksesi tahun 2004, banyak data dan fakta yang baru terungkap di forum donga wilujengan, Minggu (17/12) siang itu. Atau mungkin di tahun 2004 itu, sudah terungkap ke ranah publik melalui media apapun, tetapi generasi sudah berganti setelah 20 tahun kemudian, yaitu di tahun 2023 ini.
Proses alih kepemimpinan atau suksesi dari Sinuhun PB XII kepada penggantinya, anak lelaki tertua dari garwa-dalem Kangjeng Ratu Ageng Pradapaningrum, yang kemudian jumeneng sebagai Sinuhun Suryo Partono, merupakan lanjutan perjalanan sejarah Kraton Mataram Surakarta dari kali pertama berdiri 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745.
Peristiwa heboh sekitar 2004 itu, menjadi kelanjutan sejarah Mataram Surakarta sebagai penerus Dinasti Mataram yang didirikan Raja Mataram I Panembahan Senapati. Peristiwa itu adalah data dan fakta sejarah Mataram Surakarta, meskipun sudah berada di alam republik, karena Sinuhun PB XII sebagai raja pertama yang menggabungkan kedaulatan dan mendukung Kemerdekaan RI.
Refleksi terhadap peristiwa alih kepemimpinan di Kraton Mataram Surakarta di era yang sama sekali sudah berubah dalam dunia modern, tetap merupakan fakta dan data lanjutan perjalanan sejarah kraton yang seharusnya banyak dimaknai orang-orang modern yang cerdik-pandai dan kaya segala macam teknologi yang diperlukan.
Memaknai fakta dan data peristiwa dalam proses lanjutan perjalanan sejarah Mataram Surakarta, harus mendapat porsi yang layak dan perhatian yang besar, karena lanjutan sejarah ini akan menjadi pelajaran yang baik bagi warga peradaban secara luas, khususnya generasi anak-cucu di abad-abad kelak kemudian, “syukur bage” tetap eksis sampai akhir zaman nanti.
Oleh sebab itu, walau banyak yang tidak diungkap kembali di forum itu, tetapi GKR Wandansari Koes Moertiyah sebagai salah satu tokoh utama pelaku sejarah yang tampil pertama berbicara dan mengawali dengan esesni peringatan setahun “Bebadan Kabinet 2004” kembali bekerja di dalam kraton, memancing ingatan beberapa tokoh pelaku sejarah lainnya.
Dalam refleksi itu, GKR Ayu Koes Indriyah teringat saat dirinya bersama KPH Satryo Hadinagoro (alm) “menghadang” Sinuhun PB XIII versi jumenengan-nata di Sasana Purnomo, yang saat itu memaksakan diri hendak masuk kraton. Anak lelaki kesekian dari urutan di bawah Sinuhun Suryopartono yang tidak punya hak tahta itu, terhenti di Kori Srimanganti Lor.
Sementara itu, GKR Timoer Rumbai yang di tahun 2004 masih sangat muda, merasa ketakutan mendengar ada Sinuhun PB XIII “tandingan” bersama ratusan orang “bayaran” yang dikerahkan untuk bersamanya mendobrak pintu kraton, agar bisa masuk dan menduduki bagian dalam kraton agar bisa menguasai tahta sepenuhnya sebagai pengganti Sinuhun PB XII.
“Keberanian” seperti ini, banyak yang menilai sebagai bukan keberanian heroik positif seperti cerita-cerita tentang kepahlawanan. Karena, makna dan tujuannya justru sebaliknya. Yaitu melanggar dan merusak tatanan paugeran adat yang ada dan bertujuan untuk merebut kekuasaan atau “coup de tat”, akibat sudah dihasut dan tergiur “iming-iming” dari seorang “cukong”.
“Di depan seorang jenderal pejabat militer dan cukong selaku tuan rumah di Jakarta di tahun 2004, KGPH Kusumoyudo (alm) sempat menantang duel adiknya yang berambisi menjadi Sinuhun PB XIII itu. Karena, dirinya sebagai anak lelaki yang lebih tua darinya, tidak seserakah dia. Beliau sangat sadar, bahwa yang paling berhak adalah PB XIII sekarang ini”.
“Padahal, dia (PB XIII tandingan-Red) dan Gusti (KGPH) Hadi Prabowo, yang disepakati bersama (putra/putri Sinuhun PB XII) untuk ditugaskan melakukan sosialisasi di kalangan kerabat di Jakarta, tentang calon Sinuhun PB XIII yang sudah disepakati yang jadi sekarang ini. La kok akhirnya berubah. Tentu saja banyak yang marah. Termasuk Gusti Kusumoyudo,” ujar Gusti Moeng.
Sebagai salah seorang yang total “pasang badan” memegang kuat paugeran adat, Gusti Moeng mengaku rela menjual rumahnya di Jakarta, guna membiayai proses penobatan Sinuhun Suryo Partono sebagai PB XIII. Karena, panitia yang ada sudah tidak punya uang, modal penobatan Rp 275 juta yang terkumpul dari para kerabat, dibawa kabur seorang “pangeran”. (Won Poerwono-bersambung/i1).