Ditandatangani, MoU Kerjasama Universitas Merdeka dengan Kraton
SURAKARTA, iMNews.id – Di depan seratusan mahasiswa, dosen pembimbing dan pimpinan fakultas dan perguruan tinggi Universitas Merdeka Pasuruan (Jatim), Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat dan KPH Edy Wirabhumi selaku Pimpinan Lembaga Hukum Kraton Surakarta (LHKS), memberi bekal sejarah menarik tentang Kraton Mataram Surakarta.
Dalam sebuah forum sarasehan yang digelar sebagai jamuan saat menerima rombongan tamu dari Fakultas Hukum universitas itu di Bangsal Smarakata, Sabtu siang (18/11), keduanya menjadi narasumber pembicaranya, yang mengisahkan sejarah singkat perjalanan kraton terutama di alam republik, sejak 17 Agustus 1945 dan selama 2017-2022 yang disebut sangat “kurang beruntung”.
Tak hanya Gusti Moeng dan KPH Edy Wirabhumi yang menjamu rombongan tamu masyarakat kampus universitas yang sedang melakukan “Praktik Lapangan Kemahiran Hukum Peradilan” di Kraton Mataram Surakarta siang itu, GKR Ayu Koes Indriyah dan Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat) juga ikut menjamu sebagai narasumber sekaligus pembicara.
Untuk kesekian kali, rombongan mahasiswa dari berbagai peguruan tinggi di Tanah Air silih-berganti menjadi tamu di kraton dalam rangka studi lapangan yang dilakukannya, sejak Gusti Moeng kembali bekerja penuh di dalam kraton sebagai Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat, yang efektif mulai 1 Januari 2023.
Rombongan dari berbagai kampus yang mengadakan studi lapangan di kraton, kebanyakan dari fakultas hukum, sastra, pariwisata dan budaya, juga dari beberapa perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan, teknik bangunan, parmasi dan obat herbal. Mereka selalu dijamu tuan rumah dengan forum diskusi/sarasehan yang digelar atas kesepakatan bersama.
“Saya hanya akan berbicara singkat soal sejarah Kraton Mataram Surakarta, terutama sejak kami semua masuk kembali bekerja penuh di dalam kraton Januari 2023. Di depan itu, ada bangunan Bangsal Marcukunda, yang dulu merupakan tempat peradilan bagi kalangan sentana atau keluarga raja yang melanggar hukum adat”.
“Di belakangnya, ada bangunan yang namanya Bangsal Sidikara (sidik-Red), yaitu tempat untuk menyidik perkara yang dilanggar para terdakwa atau tersangka. Itu merupakan bagian awal dari proses hukum sebelum masuk ke peradilan. Jadi, prosesnya mirip proses hukum yang ada sekarang ini,” jelas Gusti Moeng saat mendapat kesempatan pertama berbicara.
Kesempatan berikutnya, KPH Edy Wirabhumi selaku Pimpinan lembaga Hukum Kratosn Surakarta (LHKS) berbicara, yang merangkum perjalanan sejarah kraton mulai dari awal Mataram didirikan, pindah ke Kartasura dan ke Surakarta. Perjalanan di tahun-tahun menjelang lahirnya NKRI 17 Agustus 1945, menjadi penekanan penting.
Menurutnya, pada zaman Sinuhun PB X (1893-1939) merupakan era sangat penting bagi republik ini, karena hampir semua persiapan lahirnya sebuah negara di Nusantara ini, terjadi di zaman itu. Pakasa adalah salah satu organisasi karya PB X, yang sampai sekarang eksis dan terpelihara, tetapi bergerak di bidang pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari kraton.
Sinuhun PB XI (1939-1945) yang meneruskan semua yang sudah disiapkan ayahandanya (PB X), harus menjadi catatan penting bagi semua anak bangsa dan semua elemen di negeri ini. Karena, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK-I) 60 persen isinya adalah para petinggi di kraton, yang benar-benar sudah disiapkan Sinuhun PB XI.
“Tetapi, Sinuhun PB XI wafat di tahun 1945, kira-kira kurang dua bulan dari 17 Agustus 1945. Semua rencana menjadi buyar. Karena para anggota BPUK pulang ke Surakarta untuk melayat, mengurus pemakaman dan persiapan hingga tampilnya Sinuhun XII jumeneng nata, menggantikan ayahandanya.”
“Saat banyak anggota BPUPK sedang berduka di Surakarta, tiba-tiba lahirlah badan penggantinya bernama Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK), dan 60 persen anggota dari Surakarta diisi orang-orang Ir Soekarno. Maka, jadilah NKRI seperti sekarang ini. Padahal, semula disepakati negara kerajaan dan Ir Soekarno sebagai Perdana Manteri”.
“Berbicara soal sejarah hukum ketatanegaraan, kemerdekaan RI yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu, negara satu-satunya yang mengakui hanya India. Tetapi semua menjadi berubah, akibat peristiwa Sinuhun PB XI wafat, dan BPUPK berubah menjadi PPK”.
“Ya sudah, semua sudah berubah. Jadinya, ya seperti yang kita alami sampai sekarang ini. Skenario negara kerajaan tidak jadi, dan Ir Soekarno menjadi Presiden. Itupun, Sinuhun PB XII dan Kraton Surakarta yang menyampaikan dukungan Proklamasi Kemerdekaan RI kali pertama, 18 Agustus 1945. Maka, terbitlah Piagam Kedudukan dari Presiden Soekarno tertanggal 19 Agustus”.
Dari rangkaian fakta peristiwa di hari-hari kemerdekaan RI itu, KPH Edy Wirabhumi lalu menyebut Naklumat Sinuhun PB XII dan Maklumat Mangkunagara VIII tanggal 1 September. Isi maklumat itu menyebut, merupakan bentuk dukungan resmi tertulis dan berkekuatan hukum dari Kraton Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten Mangkunegaran.
Atas dasar itu, konstitusi RI yaitu UUD 45 dalam pasal 18 dengan tegas menyebut, NKRI terdiri dari dua provinsi daerah istimewa yaitu Surakarta dan Jogja, serta 8 provinsi di luar Jawa. UUD itu diamandemen beberapa kali, tetapi tidak bisa menghapus fakta hukum dari isi pasal UUD aslinya.
“Artinya, sampai kapanpun, selama NKRI menggunakan UUD 45 atau tidak diganti dengan UUD yang lain, isi pasal 18 bahwa Surakarta sebagai daerah istimewa setingkat provinsi itu akan tetap berlaku. Tetapi, kita semua tahu, bagaimana dinamika politik di negeri kita ini yang begitu tinggi”.
“Yang jalan terus Jogja, hingga kini menikmati statusnya sebagai Daerah Istimewa. Sementara, status Surakarta, sejak dititipkan, hingga kini tidak ada tanda-tanda dikembalikan. Bahkan sudah pernah kami uji materi, tetapi gagal. Jadi, Mahkamah Konstitusi mempermainkan hukum, bukan hanya sekarang. Tahun 2012 sudah diinjak-injak,” tunjuk KPH Edy.
Keputusan yang dimaksud KPH Edy, yaitu ketika beberapa tokoh dari kraton yaitu GKR Retno Dumilah dan GKR Ayu Koes Indriyah bersama LHKS dan tim pengacara dari UIN Sunan Kalijaga Jogja menggugat uji materi di MK, keputusannya tidak dikabulkan karena legal standingnya dinyatakan tidak sesuai atau tidak tepat.
“Padahal, legal standing itu ‘kan kali pertama atau persyaratan yang harus dipenuhi dan sudah dinyatakan memenuhi syarat secara hukum. La kok belakangan keputusannya dianggap tidak memenuhi yang membuat permohonan uji materi UU No 10/1950 tentang pembentukan Provinsi Jateng itu tidak dikabulkan. Aneh ‘kan?,” jelasnya mempertanyakan.
Seperti diketahui, UU No 10/1950 tentang pembentukan Provinsi Jateng, dari sisi hukum tatanegara banyak dipandang cacat hukum atau berlawanan dengan konstitusi, seperti diamanatkan dalam pasal 18 UUD 45. Karena, saat Surakarta ketika dimasukkan dalam provinsi itu, statusnya masih Daerah Istimewa setingkat provinsi.
Berbicara tentang nasib kraton penerus Mataram di Surakarta, kalau diurutkan banyak sekali kejadian yang dialami, baik oleh kekuatan dari kekuasaan secara langsung, maupun melalui “tangan-tangan” lain. Semua kajadian itu, disebutnya sebagai upaya ingin “menenggelamkan” Kraton Mataram Surakarta.
Disebut, peristiwa alih kepemimpinan di tahun 2004, semua kerabat trah darah-dalem dari Sinuhun PB II hingga PB XIII, telah bersepakat mendukung GPH Suryo Partono jumeneng nata (PB XIII-Red). Tapi, ada anak lelaki urutan ke-5 yang beranam GPH Tedjowulan, melampiaskan ambisinya menjadi PB XIII dan sudah berhasil jumeneng di luar kraton.
Meskipun urusan suksesi adalah urusan aturan adat internal kraton, tetapi pemerintah waktu itu malah mendukung yang jumeneng di luar kraton. Dan di tahun 2017, puncak upacaya “menenggelamkan perahu” Kraton Surakarta itu terjadi, ada 2 ribu personel Brimbob dan 400 personel TNI, menyerbu dan menduduki kraton. Semua upaya buruk itu, disebut hanya dilawan dengan proses hukum. (won-i1).