Doa Wilujengan Nagari 100 Hari, Setelah Peristiwa Deklarasi 20 Februari 1745
IMNEWS.ID – DALAM dunia seni pedalangan, ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung juga diangkat menjadi tema lakon yang sering disebut dengan “Sesaji Rajasuya” atau “Sesaji Kalalodra”. Seorang guru dalang PDMN bernama MDm Edy Sulistiono pernah menjelaskan hal ini dalam sarasehan di sela-sela pameran Wayang Beber di TBJT (TBS-Red), tahun 2017.
Esensi yang dijelaskan guru dalang itu adalah, bahwa ritual “Sesaji Rajasuya” atau Sesaji Kalalodra” menjadi bagian perjalanan sejarah wayang beber, selain esensi ritualnya yang tetap dilaksanakan dengan uba-rampe wilujengan yang sangat beragam dan lengkap sekali, meskipun Kraton Demak adalah kraton Islam (abad 15).
Dalam lakon seni pedalangan, yang akan dijadikan syarat adalah kepala manusia yang jumlahnya disebut “ratu sewu nagara”. Sementara, dalam “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung yang dijadikan syarat adalah “kepala kerbau”. Esensi dari dua versi upacara adat itu bukan soal apa syaratnya, melainkan nilai-nilai edukasi bagaimana manusia berupaya dengan cara teologis.
Doa permohonan kepada Tuhan YME diwujudkan dalam wilujengan Sesaji Mahesa Lawung, agar Kraton Mataram Surakarta dan seisinya yang berhasil didirikan pada 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745 sebagai kraton penerus Mataram Islam ini, bisa berumur panjang, hingga akhir zaman.
Jadi, doa wilujengan Sesaji Mahesa Lawung yang digelar Sinuhun PB II (1727-1749) waktu itu dilakukan tepat 100 hari yang dihitung dari deklarasi nama Surakarta Hadiningrat untuk “menghapus” (mengganti) nama Desa Sala, yang sekaligus dideklarasikan berdirinya “nagari” Mataram Surakarta, pada 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745 itu.
Konteks peristiwa doa wilujengan itu diadakan karena dalam hitungan 100 hari, kraton yang didirikan Sinuhun PB II berhasil melewatinya dengan selamat. Hitungan dalam kalender Jawa, saat 17 Sura tahun Je 1670 itu jatuh pada hari Rabu, tetapi upacara adat Sesaji Mahesa Lawung yang digelar 100 hari kemudian, sesudahnya dipilih antara Senin atau Kamis.
Nilai-nilai kebhinekaan dan pluralistik yang sudah diperlihatkan Raja I Kraton Demak, Raden Patah atau Sultan Syah Alam Akbar (1485-1519) melalui ritual Sesaji Mahesa Lawung, ternyata dipelihara dengan baik saat kraton pindah di Pajang, Mataram Panembahan Senapati, Mataram Islam Sultan Agung, Mataram Kartasura (1645-1745) dan Mataram Surakarta hingga kini.
Beberapa hal dari fakta sejarah itu, ternyata masih banyak warga peradaban masa kini yang menggunakannya sebagai pedoman dengan harapan, apa yang menjadi isi doa permohonannya dikabulkan Allah SWT. Misalnya, sering terdengar ada upaya mengevaluasi progres kerjanya dalam 100 hari, pengambilan keputusan dan publikasinya di hari Rabu dan sebagainya.
Hal lain yang menarik dari upacara adat wilujengan nagari Sesaji Mahesa Lawung, adalah lokasi pemusatan puncak upacaranya yang berada di sebuah “punden berundak” di tengah hutan lindung atau “wanalela” Krendawahana itu. Hutan lindung yang nyaris habis wilayahnya itu, berada di Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar.
Hutan yang di tahun 1745 sangat lebat dan menjadi salah satu tempat berburu para keluarga kraton, satwa liar seperti kijang misalnya, diyakini para ahli spiritual saat itu sebagai batas spiritual kraton di ujung utara. Dalam babad dan lakon seni pedalangan, sering diidentifikasi sebagai hutan Krendawahana yang menjadi wilayah Bethari Kalayuwati.
Sebab itu, sejak kali pertama ritual Sesaji Mahesa Lawung diadakan kraton pada 100 hari setelah 17 Sura tahun Je 1670 itu, seterusnya hingga kini, upacara doa wulujengan permohonan untuk keselamatan kraton dan seisinya, kemudian bagi bangsa Indonesia dalam konteks NKRI setelah 17 Agustus 1945, selalu digelar dengan sejumlah syarat uba-rampe.
Salah satu syarat itu, adalah kepala kerbau dan berbagai jenis organnya yang tidak layak dimakan manusia, disertai pelepasan berbagai jenis satwa yang dalam seni pedalangan disebut “kutu, walang ataga”. Juru penerang budaya kraton KPA Winarno Kusumo (2004-2018), selalu menyebut secara lengkap ritual Sesaji Mahesa Lawung dengan peringatan “adeging nagari Surakarta”.
Sesaji Mahesa lawung, menurut Wakil Pengageng Sasana Wilapa, waktu itu, tak bisa dipisahkan dengan sejarah berdirinya “nagari” Mataram Surakarta yang berIbu Kota di Surakarta Hadiningrat (1745-1945). Semua peristiwa di sekitar itu, tersaji dalam tembang Macapat “Dandanggula” dari Babad Boyong Kraton-dalem, di sela-sela ritual “adeging nagari”, tiap 17 Sura.
Kisah pindahnya kraton Mataram dari Kartasura hingga deklarasi berdirinya “nagari” Mataram Surakarta, selalu disajikan dalam tembang Macapat yang liriknya mengisahkan peristiwa-peristiwa itu. Dan berpedoman dari itu, KPA Winarno juga selalu menyebutkan hal-hal penting dalam ritual Sesaji Mahesa Lawung di hutan Krendawahana.
Dalam catatan iMNews.id (harian Suara Merdeka-Red), saat GPH Sudjiwo Kusumo hendak dinobatkan menjadi Pengageng Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar KGPAA Mangkunagoro IX pada tahun 1988, juga mengadakan upacara adat Sesaji Mahesa Lawung atas seizin Sinuhun PB XII.
Batas spiritual Kraton Mataram Surakarta di sisi utara ada di hutan Krendawahana yang dijaga Bethari Kalayuwati, sedangkan batas spiritual di selatan adalah “segara kidul” atau laut selatan yang dijaga Kangjeng Ratu Kencanasari. Gunung Merapi dan Merbabu, menjadi batas spiritual kraton di wilayah barat, dan Gunung Lawu menjadi batas di timur yang dijaga Sunan Lawu.
Selain nilai-nilai ketuhanan dan kebhinekaan atau pluralistik, ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung juga mengirim pesan tentag nilai-nilai keseimbangan dalam kehidupan di jagad raya ini. Hutan lindung “wanalela” Krendawahana, menjadi simbol pesan pelestarian lingkungan dan ekologi yang harus tetap dipehatikan untuk dijaga dan dilestarikan.
Wilayah desa di Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar itu, menjadi bagian penting dan lokasi yang dpilih para leluhur Dinasti Mataram menjadi batas spiritual di sisi utara, yang sebisa mungkin tetap dijaga dan dilestarikan sebagai hutan yang bisa menjadi paru-paru wilayah di sekitarnya, karena perubahan dan kemajuan industri.
Para leluhur Mataram Surakarta mungkin tidak pernah membayangkan hutan Krendawahana dan sekitarnya menjadi pemukiman dan aneka macam industri penyangga Kota Surakarta. Masyarakat peradaban masa kini dan mendatang, seharusnya arif dan bijak untuk tetap menjaga hutan lindung itu, sebagai penyeimbang aneka kegiatan di kota yang memproduksi “pencemaran udara”.
Masih banyak nilai edukasi yang bisa diteladani dari ritual Sesaji Mahesa Lawung, yang bermanfaat bagi kehidupan warga peradaban masa kini dan mendatang. Karena Krendawahana dekat dengan Kalioso, tempat Sinuhun PB IV (1788-1820) belajar agama dan tempat berunding Sinuhun PB VI (1823-1830) dengan Pangeran Diponegoro. (Won Poerwono – bersambung/i1).