Keteladanan Menghargai Kebhinekaan dan Hak Sesama Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
IMNEWS.ID – DI antara sejumlah upacara adat yang disebut GKR Wandansari Koes Moertiyah ada 9 jenis upacara kategori besar yang masih dijalankan Kraton Mataram Surakarta walau sudah lebih dari 278 tahun, ada sebuah upacara adat yang cukup unik dan terkesan kurang menarik minat atau perhatian publik secara luas, bahkan dari kalangan masyarakat adat itu sendiri.
Upacara adat itu adalah “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung yang digelar rutin terutama selama “Bebadan Kabinet 2004” memgang kendali kraton, dengan mengambil pedoman jarak 100 hari setelah tanggal 17 Sura, yang bisa memilih antara hari Senin atau Kamis.
KPA Winarno Kusumo (alm) selaku Wakil Pengageng Sasana Wilapa sekaligus juru penerang budaya di kraton (2004-2018), pernah beberapa kali menjelaskan baik kepada iMNews.id (harian Suara Merdeka-Red) maupun kepada berbagai awak media, waktu itu, bahwa upacara adat Sesaji Mahesa Lawung berpedoman dari saat berdirinya kraton pada 17 Sura Tahun Je 1670.
Upacara adat ini digelar dalam beberapa tahap dan rangkaiannya mengambil beberapa tempat sebagai pusat upacara, yaitu dimulai dari “Pawon Gandarasan”, kemudian topengan Maligi Pendapa Sasana Sewaka, kemudian ada prosesi berjalan Pendapa Sitinggil Lor dan berakhir di “punden berundak” hutan Krendawahana di Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar.
Bila dilihat sekilas, upacara adat ini kurang lebih sama dengan upacara-upacara adat penting lain di kraton, terutama bila tampak ada kerumunan yang duduk lesehan dengan teratur, di tempat luas yang tertata, semua pesertanya mengenakan busana adat Jawa. Dan yang tidak selalu ketinggalan, ada sesuatu atau objek yang didoakan namanya uba-rampe wilujengan.
Ciri-ciri umum lainnya, sebagian besar upacara adat di kraton selalu menggunakan prosesi jalan dari satu tempat ke tempat lain. Prosesi itu sering dipandu oleh musik drumband prajurit kraton, atau biasanya melibatkan beberapa bregada prajurit untuk mengawal. Busana dan kostumnya sangat khas, yang membedakan ciri bregada (bregade-Red) atau gelar kepangkatan.
Pemandangan ciri-ciri yang khas seperti ini, juga ada pada ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung, sehingga nyaris tidak ada bedanya atau dianggap sama oleh publik secara luas. Bahkan mungkin, dianggap kurang menarik karena tidak memiliki daya tarik sebanyak dan seheboh, misalnya pemandangan ritual Sekaten Garebeg Mulud yang sampai berhar-hari.
Tetapi, tidak demikian sepele atau kalah menarik ketika melihat ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung. Bahkan kalau benar-benar dicermati dan digali informasinya sampai jauh ke dalam, banyak hal menarik melebihi beberapa jenis upacara yang ada, karena perspektif cakupan tujuan idealnya berskala dunia atau kehidupan di jagad raya.
Cirikhas yang menonjol dari upacara adat Sesaji Mahesa Lawung ini, adalah jenis doa yang bisa diidentifikasi dari lafalnya terdiri dari bernuansa Hindu, Jawa dan Islam yang yang harus dikuasai seorang abdi-dalem jurusuranata. RT Irawan Wijaya Pujodipuro, adalah contoh generasi muda abdi-dalem masa kini yang memenuhi spesifikasi itu.
Melihat dari lafal doa yang disajikan pada ritual Sesaji Mahesa Lawung seperti yang dilakukan RT Irawan Wijaya Pujodipuro, Senin Pon (13/11) lalu, sangat jelas memperlihatkan contoh-contoh positif bahwa Kraton Mataram Surakarta menjunjung tinggi realitas kebhinekaan. Sebagai kraton penerus Mataram Islam, dalil “rahmatan lil ‘alamin” benar-benar dipegang teguh.
Ini sudah sangat jelas bahwa kraton memberi teladan yang sangat ideal terhadap sebuah harmoni kehidupan, yaitu kesatuan dan persatuan dari kebhinekaan yang diupayakan selalu terwujud. Ini bukan teori dan hanya gagasan, tetapi kerja adat yang sudah dilakukan sejak Kraton Demak (abad 15) sebagai awal masuknya Islam ke tanah Jawa.
Sumber-sumber data sejarah tentang ini mungkin masih banyak bisa didapat, tetapi iklim kehidupan sosial-politik di Tanah Air sepertinya kurang mendukung langkah-langkah penggalian ilmiah soal itu untuk kepentingan kehidupan peradaban secara luas. Namun dalam momentum pameran lukisan Wayang Beber di TBJT (TBS-Red) beberapa tahun lalu, sisi kebhinekaan ini sempat dibahas.
Pembahasan sisi kebhinekaan dalam sebuah diskusi untuk mengurai perjalanan sejarah karya seni rupa Wayang Beber itu, sampai kepada data sejarah bahwa Raden Patah atau Sultan Syah Alam Akbar sebagai Raja Kraton Demak I (1485-1519) atau kraton Islam pertama di Jawa itu, masih memerlukan upacara adat dengan lafal doa Hindu dan Jawa (Kalinga/Saka-Red).
Ekspresi sifat-sifat terbuka terhadap pluralistik seperti inilah, yang sebenarnya sudah terjadi di Nusantara, lebih 500 tahun silam. Dan ekspresi kehidupan Jawa seperti inilah yang dikagumi KH Muwafiq (Sleman, DIY), bahwa peradaban Jawa ketika itu sudah sangat tinggi saat Islam masuk ke Jawa.
Menurut Gus Muwafiq saat memberi tausyiyah di tengah upacara adat khol Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma di Pendapa Pagelaran, beberapa bulan lalu, tingginya peradaban Jawa saat Islam masuk, melahirkan (iMNews.id, 20/8/2023), telah melahirkan “kesepakatan” akulturatif di tangan para “Wali Sanga”.
Oleh sebab itu, keteladanan para leluhur dalam menerima dan merawat kebhinekaan melalui ritual Sesaji Mahesa Lawung, adalah karya yang sangat genius dan bijak. Para leluhur Dinasti Mataram terutama Mataram Surakarta, tak hanya mengurus harmoni kehidupan orang-orang di sekitarnya pada masanya saja, melainkan kehidupan di jagad raya, waktu itu, kini dan sepanjang masa.
Oleh sebab itu, mencermati ritual Sesaji Mahesa Lawung yang hingga kini dipelihara baik Kraton Mataram Surakarta, tentu sangat bermanfaat bukan hanya bagi masyarakat adat Diansti Mataram dan untuk saat ini. Tetapi menjadi sebuah ekspresi semangat untuk harmoni kehidupan peradaban secara luas, kini dan di masa mendatang, bahkan sampai akhir zaman.
Manfaat keteladanan yang sangat baik dan untuk cakupan ruang dan waktu yang sangat luas, diajarkan para leluhur Dinasti Mataram melalui Kraton Mataram Surakarta. Semangat hidup dalam kebhinekaan dan menerima realitas yang plural, harus terus dipedomani.
Tak hanya wujud perilaku dalam ekspresi doa tiga unsur/nuansa yang memiliki makna edukasi tentang nilai-nilai ketuhanan dan keseimbangan itu, ritual Sesaji Mahesa Lawung juga mengajarkan tentang nilai-nilai yang hakiki bahwa sesama makhluk hidup cipataan Tuhan Yang Maha Esa, sama-sama punya hak untuk hidup dan hak mendapat kesempatan hidup di alam jagad raya ini.
Ekspresi itu dilukiskan saat GKR Timoer Rumbai dan GRAy Devi melepas-liarkan sejumlah satwa seperti beberapa spesies burung, ular, ulat dan ayam di hutan lindung Krendawahana itu. Meskipun, ketahanan hidup beberapa satwa itu sudah sulit dijamin, mengingat hutan lindung itu semakin sempit arealnya karena dikikis secara “ilegal” oleh warga sekitarnya. (Won Poerwono-bersambung/i1).