Banyak yang “Mencathut” Nama Gusti Moeng, Agar Bebas Berziarah di Astana Imogiri
IMNEWS.ID – BEBERAPA penggal kata berisi pesan dan harapan dalam sambutan GKR Wandansari Koes Moertiyah saat melantik KRMH Bimo Rantas Djoyo Adilogo (46) sebagai “Bupati Juru-Kunci Astana Imogiri”, Minggu (15/10), ternyata merupakan ekspresi sikap Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat itu untuk “membersihkan” dari segala bentuk pelanggaran tata-tertib paugeran adat di Astana Pajimatan Imogiri dan beberapa makam di sekitarnya yang dipercayakan kepadanya. Laporan atas pelanggaran itu terjadi selama 2017-2022, atau bahkan bisa lebih dari itu, datang dari luar kraton.
“Kalau laporan yang saya terima, dari pihak yang sangat meyakinkan. Dan bentuk pelanggarannya, nyata terjadi dan sudah beberapa kali. Terutama menyangkut tatacara perziarahan yang sudah ditetapkan dalam paugeran adat, khususnya dalam berbusana. Tetapi, dengan mencathut nama Gusti Wandan, ini patut ditelusuri dan perlu cepat ada tindakan penertiban. Sebab, pencatutan itu berindikasi mencemarkan nama baik dan merusak citra, karena jelas tidak mungkin Gusti Wandan memberi izin seperti itu. Karena beliaulah yang kokoh dan kuat menjadi pemimpin penegakan paugeran adat,” tandas KP Budayaningrat.
Dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara yang juga anggota sebuah paguyuban “pambiwara” berskala nasional itu, banyak bercerita kepada iMNews.id, kemarin, soal pengalamannya saat dimintai komentar dan harapannya dengan tampilnya KRMH Bimo Rantas Djoyo Adilogo yang kini ditugaskan menjadi “Bupati Juru-Kunci Astana Imogiri” dan beberapa makam di sekitarnya. Ia banyak bertemu para praktisi budaya Jawa dalam berbagai forum, misalnya di Jogja, selain mengajar para siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta, tentang pengetahuan sejarah dan tatacara adat perzirahan di Astana Imogiri dalam “kursus” selama 6 bulan itu.
Menurutnya, berbagai bentuk pelanggaran itu banyak diberitahukan oleh pihak lain di luar kraton, mengingat pengelolaan Astana Pajimatan Imogiri yang masuk zona makam raja-raja Kraton Jogja, ada sistem pengelolaan tersendiri yang bisa dipantau atau memantau melalui satu pintu masuk yang diawasi kedua pihak. Pelanggaran itu lama berlangsung sejak “Bebadan kabinet 2004” piminan Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat tidak berfungsi efektif, akibat ada “insiden mirip operasi militer” 2017 yang menyebabkan Gusti Moeng bersama para pengikutnya disisihkan ke luar kraton hingga 2022.
“Tetapi, dengan dilantiknya KRMH Bimo ini, kekosongan sudah terisi. Kami juga berharap, agar semua bentuk pelanggaran dan penyimpangan, baik di internal abdi-dalem kadipaten maupun para peziarahnya, segera bisa ditertibkan. Agar aturan paugeran adat bisa ditegakkan kembali. Kami juga berharap, wisata luhur pawiyatan di astana pajimatan tetap berjalan, karena ini berkaitan dengan proses pendidikan di sanggar, baik pada siang maupun malam hari dalam format ziarah,” ujar KP Budayaningrat yang juga selaku Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng itu.
Dugaan pelanggaran tata-tertib paugeran adat perziarahan di astana pajimatan yang banyak mencatut nama Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat dalam kurun waktu 2017-2022, dibenarkan pemilik nama Gusti Moeng atau Gusti Wandan yang dimintai konfirmasi iMNews.id, siang tadi. Menurut GKR Wandansari Koes Moertiyah, selain masukan dan laporan ia juga melihat rekaman yang ditayangkan di medsos yang memeprlihatkan sekelompok orang yang tidak dikenalnya, berziarah di Astana Pajimatan Imogiri dan Kutha Gedhe tidak mematuhi aturan paugeran adat berziarah khususnya dalam hal berbusana.
“Saya beberapa kali mengingatkan lewat telepon kepada para abdi-dalem juru-kunci, bahwa peziarah yang datang di Astana Imogiri dan Kutha Gedhe, adalah makam raja-raja di tanah Jawa bukan objek wisata. Tempat itu adalah makam keluarga kraton, bukan tempot tontonan. Tempat itu tidak boleh dijadikan ajang berfoto dan membuat konten medsos seenaknya. Saya berpesan, kalau ada peziarah yang nekat berlaku seperti itu, harus ditegur dan dicegah. Kalau alasannya mau mendoakan, bisa dari luar, kalau tidak mau memenuhi persyaratan adatnya,” jelas Gusti Moeng.
Menurutnya, perilaku peziarah yang terkesan tidak menghargai dan mengenakan busana serta berlaku seenaknya, bisa memberi dampak negatif terhadap Kraton Mataram Surakarta. Tetapi memang sangat dimaklumi, selama lebih lima tahun sejak 2017, Astana Pajimatan Imogiri, Kutha Gedhe dan beberapa makam leluhur di sekitarnya sempat tidak terurus, sehingga terkesan longgar dan kosong karena tidak ada figur pejabat “Tindhih” abdi-dalem. Karena Bupati Astana (lama) KPH Suryonagoro meninggal di tahun 2019, sistem pengawasan jadi kendor dan dimanfaatkan para peziarah untuk bertingkah di luar tatacara adat perziarahan yang berlaku.
“Dengan melantik KRMH Bimo untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati Astana Pajimatan, saya berharap bisa menertibkan bentuk-bentuk pelanggaran itu. Jangan lagi pating-selinthut, jag-jagan seenaknya,” tandas Gusti Moeng mengulang pernyataan tegasnya ketika memberi sambutan pelantikan, Minggu siang (15/10). Pernyataan tegas itu juga didukung GKR Timoer Rumbai dan GRAy Devi, yang juga berharap agar KRMH Bimo bisa menjalankan tugas, dan dengan tegas menertibkan tatalaksana kerja para abdi-dalem juru-kunci dan tatalaksana pemberlakuan aturan paugeran adat perziarahan di Imogiri, Kutha Gedhe dan sebagainya.
“Saya setuju, proses regenerasi mulai berjalan di kraton, termasuk pengisian kekosongan jabatan Bupati Juru-Kunci Astana Pajimatan Imogiri. Dan secara umum, proses regenerasi mutlak dan mendesak perlu dilakukan. Karena banyak tokoh-tokoh generasi ‘gusti-gusti’ (putra-/putri Sinuhun PB XII-Red) yang mendahului wafat. Saya termasuk yang rugi, karena tinggal Gusti Wandan tempat kami belajar. Padahal, kami-kami generasi muda ini, sudah saatnya tampil menggantikan beliau yang rata-rata sudah sepuh. Mudah-mudahan, ini menjadi momentum menggugah kesadaran saudara-saudara kami untuk menyusul,” tandas Gusti Devi yang dihubungi iMNews.id secara terpisah, siang tad. (Won Poerwono-habis/i1).